Presiden Joko Widodo bersama Ibu Negara Iriana Joko Widodo (tengah) meninjau pasar khusus Mama Papua di Distrik Anggi, Kabupaten Pegunungan Arfak, Papua Barat, Minggu (27/10/2019). | ANTARA

News

Kontras di Pasar-Pasar Wamena

Kerusuhan yang terjadi di ujung aksi menolak rasialisme di Wamena, Jayawijaya, sebulan lalu meninggalkan impak yang tak sederhana di wilayah Pegunungan Tengah, Papua. Bagaimana mulanya kejadian itu? Apa dampaknya terhadap relasi sosiologis di wilayah itu? Bagaimana rekonsiliasi semestinya dilakukan? Wartawan Republika, Bambang Noroyono, menyambangi Sentani dan Jayawijaya untuk mencari tahu. Berikut tulisan bagian keempat.

Pagi hari pada Ahad (13/10) itu tampak seorang perempuan Papua mendatangi pasangan dua lelaki, Heriansyah dan Yusman, saat keduanya sedang berbincang dengan Republika di Pasar Jibama, Wamena, Jayawijaya. Bersama anak-anaknya yang masih kecil-kecil, sang mama hendak membeli bahan makanan di toko pedagang asal Wajo, Sulawesi Selatan, tersebut.

"Maaf, Mama, tidak jualan," kata Heriansyah menjawab."Tra (tidak) jualan eh?" kata perempuan itu sambil tersenyum sampai tampak giginya. Ia lantas pergi. Anak-anaknya yang bertelanjang dada mengikuti di belakang.

Di Wamena, toko, ruko, dan kios wajib tutup saban Ahad hingga pukul 15.00 WIT. Aktivitas perdagangan boleh saja, asal selepas ibadah Mingguan umat Kristiani. Namun, penolakan Yusman dan Heriansyah bertransaksi hari itu tidak saja karena adanya larangan tersebut.

Hari itu masa berkabung. Sehari sebelumnya, Sabtu (12/10), seorang warga pendatang asal Toraja tewas ditikam di kawasan Wouma. ?Solidaritas saja toh. Tutup karena kita sama-sama pendatang toh di sini,? kata Heriansyah. Yusman mengatakan, setelah insiden penikaman itu ada seruan kepada pedagang pendatang di Wamena untuk tutup serempak selama sepekan sebagai aksi boikot.

Namun, pada akhirnya akal sehat yang menang. Paguyuban pendatang menyepakati agar aksi embargo tak jadi dilakukan selain di hari berkabung itu. ?Karena menurut saya memang kasihan juga dengan mama-mama di sini. Mereka butuh makanan toh? Mereka juga ke pasar. Ada yang jualan di pasar,? kata Yusman. Aksi boikot, menurut dia, sama saja menggiring Wamena ke dalam persoalan baru yang membuat situasi kian buruk.

Pasar-pasar di Wamena memang sedianya titik temu berbagai kelompok di Wamena, terutama kelompok penduduk asli Wamena dan pendatang dari berbagai daerah lain di luar Papua. Ia juga bisa menggambarkan relasi dua kelompok yang terkoyak relasinya seturut kerusuhan 23 September lalu.

Heriansyah dan Yusman, misalnya, adalah dua dari sekitar 430 pedagang pendatang di Pasar Jibama. Di pasar itu, warna kulit dan gelombang rambut memang juga menjadi indikasi dagangan yang dijual.

Heriansyah mengatakan, kebanyakan pedagang pendatang di Pasar Jibama menjual bahan-bahan pokok hingga bumbu dapur. Sedangkan, pedagang warga asli berjualan komoditas lokal, seperti sayur-mayur, cabai, umbi-umbian, dan daging mentah atau hidup serta bahan baku kebiasaan lokal mengunyah pinang.

Pedagang dan warga asli membutuhkan komoditas dagangan para saudagar pendatang. Begitu sebaliknya ketika warga pendatang membutuhkan sayuran dan bahan-bahan mentah untuk mengisi meja makan, adanya di kalangan pedagang asli. Tak jarang, pedagang pendatang menjadi agen komoditas lokal yang disediakan para pedagang maupun warga asli.

Di Pasar Jibama, para pedagang pendatang mengisi semua bagian dalam sisi tembok berbentuk huruf U dengan menempati kios-kios permanen. Kios-kios tersebut, biasanya berlantai dua. Lantai bawah untuk berjualan. Di lantai atas mereka bertempat tinggal. Sedangkan, pedagang warga asli berjualan di emperan, lapak-lapak terbuka, dan aula beratap tinggi yang disulap menjadi lantai jual beli.

Pedagang warga asli yang tak kebagian tempat berjualan di pasar rakyat memilih menggelar dagangan di trotoar-trotoar jalan. Umumnya, mama-mama menjual pinang, buah sirih, dan kapur juga umbi-umbian. Mereka menggelar tikar. Meletakkan tumpukan pinang di atas tampah yang ditinggikan dengan ember besar atau kaleng. ?Siang //tra// apa-apa di sini. Malam banyak tentara, //bikin// takut,? kata Mama Yaruba, salah satu pedagang di pasar itu.

Di Pasar Potikelek, sebaran dan penguasaan lapak dagangan pun serupa seperti di Pasar Jibama. Di bagian tembok juga diisi sepenuhnya para pedagang pendatang dengan bangunan permanen berlantai dua. Sedangkan, pedagang warga asli ditempatkan di emperan yang terbagi menjadi delapan sampai sepuluh baris memanjang. Di pasar rakyat di Jalan SD Percobaan itu, mama-mama tak hanya berdagang pinang, dan sayuran. Buah-buahan lokal juga mereka jajakan.

Saat Republika ke pasar itu, sedikitnya enam personel Brimob bersenjata lengkap tampak berjaga-jaga. Mama-mama yang berjualan meneriakkan protes agar personel keamanan tak dekat-dekat dengan para pedagang. "Takut perang toh," kata Mama Lince Wenda (60 tahun), seorang pedagang pinang. Selepas kerusuhan lalu, para pedagang tak berani menggelar lapak selepas senja.

Di kawasan pusat perekonomian utama Wamena, di Jalan Irian dan Jalan Sulawesi, gambarannya lebih kontras. Kawasan itu hampir 100 persen dikuasai pedagang dari kalangan warga pendatang. Pangan, sandang, beras, telur, sampai jarum pentul, dan peniti, juga perlengkapan bayi, alat mandi, sampai busi motor juga pulsa elektronik, semuanya dijual pendatang di kawasan itu. Sulit menemukan pedagang dari warga asli Papua, di kawasan tersebut yang membuka ruko ataupun kios dagangan.

Setelah kerusuhan 23 September sampai hari ini, kawasan di Jalan Irian dan Jalan Sulawesi menjadi prioritas utama pengamanan satuan keamanan kepolisian dan militer. Tak ada satu pun toko yang dibakar sepanjang ruas jalan tersebut.

Kepala Dinas Tenaga Kerja Perindustrian dan Perdagangan Pemkab Jayawijaya Samuel Munua menerangkan, meski pendatang menguasai perekonomian di lembah Pegunungan Tengah, mayoritas saudagar non-Papua tak memiliki aset tetap di kota tersebut. "Banyak memang warga pendatang yang berdagang. Tetapi kebanyakan dari mereka mengontrak ruko atau kios milik pemerintah atau milik warga asli di sini," ujar dia.

Samuel mencontohkan, di pasar-pasar rakyat di Jibama, Potikelek, maupun Wouma juga Sinakma, mayoritas kepemilikan ruko dan kios di pasar-pasar itu dikuasai pemerintah dan warga lokal yang dikontrakkan ke pedagang pendatang.

Di Pasar Wouma, kepemilikan ruko dan kios oleh warga lokal membuat pelik situasi saat ini. Di pasar rakyat tersebut ada lebih dari 500 pedagang warga asli dan pendatang yang kehilangan nafkah hidupnya akibat aksi pembakaran dan penjarahan saat kerusuhan 23 September lalu.

Ruko dan kios di pasar tersebut diisi para pedagang pendatang dengan status mengontrak. Pemilik ratusan ruko dan kios di pasar tersebut merupakan warga asli dan tokoh masyarakat setempat.

Pasar Wouma adalah deretan kios-kios dan ruko warga pendatang. Di belakang deretan ruko itu ada pasar tradisional yang menjadi tempat warga asli menjual dagangan dari hasil kebunnya. Ada sekitar 150-an kios pendatang yang menjadi gerbang masuk sebelum menjumpai pedagang asli Papua di Pasar Wouma.

Dalam kerusuhan 23 September, kios pendatang seluruhnya habis dibakar massa. Sejak itu pula Wouma menjadi zona bebahaya. Setelah kasus penikaman, seorang tentara dari Kodim 1702 menemani //Republika// kembali mengunjungi Pasar Wouma saat siang. Dengan catatan, kata dia, tidak sampai melewati batas ujung jembatan. ?Masih berbahaya di situ (Wouma). Belum aman,? kata prajurit tersebut.

Bagaimanapun, perjalanan Republika di Wamena menemukan ada sejenis kontras secara ekonomi antara warga pendatang dan warga asli Wamena. Hal itu tergambar jelas dari pembagian lapak di pasar-pasar maupun jalur perdagangan di Wamena. Ia adalah kenyataan sehari-hari di wilayah tersebut yang sudah berlangsung lama. n ed: fitriyan zamzami

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat