IKHWANUL KIRAM MASHURI | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Negara Demokrasi? Terserah Presiden AS Sajalah..

Negara demokrasi atau tidak tampaknya sama saja bagi Biden dan pemimpin AS lainnya.

Oleh IKHWANUL KIRAM MASHURI

OLEH IKHWANUL KIRAM MASHURI

Inilah negara yang dikatagorikan Presiden Amerika Serikat Joe Biden, demokratis. Jumlahnya sekitar 110 dari 195 negara di dunia yang diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Kepala negara atau pemerintahan dari negara tadi, diundang Presiden AS untuk berpartisipasi dalam konferensi tingkat tinggi (KTT) tentang demokrasi, pada 9-10 Desember mendatang. Pertemuan digelar virtual karena Covid-19.

KTT tentang demokrasi ini realisasi salah satu janji kampanye Joe Biden, yang dilantik sebagai Presiden AS pada 20 Januari lalu. Tujuannya, mengonsolidasi negara demokratis atau seperti dikatakan juru bicara Gedung Putih, KTT ini fokus pada tiga agenda utama: melawan tirani, memerangi korupsi, dan mempromosikan penghormatan terhadap HAM.

Indonesia diundang, bersama Korea Selatan, Jepang, Afrika Selatan, Kongo, Nigeria, Niger, Kenya, Ghana, Zambia, Uruguay, dan lainnya. Namun, sejumlah pengamat mengkritik, tema dan tujuan KTT hanyalah bungkus di balik tujuan sebenarnya: mencegah lebih banyak negara jatuh dalam pelukan Cina dan Rusia, rival utama AS dalam percaturan politik global.

 
KTT ini fokus pada tiga agenda utama: melawan tirani, memerangi korupsi, dan mempromosikan penghormatan terhadap HAM.
 
 

Karena itu, daftar negara yang dirilis Kemenlu AS, Selasa lalu mengundang kritik. Misalnya, Cina dan Rusia tidak diundang, justru Taiwan yang diminta berpartisipasi, ini tentu membuat marah Beijing. Cina menganggap Taiwan bukan negara, tetapi provinsinya.

Moskow menuduh Washington berusaha ‘memprivatisasi’ demokrasi dengan mempersiapkan KTT dan tak mengundang Rusia dan Cina. Menurut juru bicara Kremlin Dmitry Peskov, AS membuat garis pemisah baru untuk membedakan negara baik dan buruk.

Yang diundang pula dalam KTT tentang demokrasi itu, selain dari sekutu negara Barat, juga India dan Pakistan. India, meski berjuluk ‘negara demokrasi terbesar dunia’ tetapi PM-nya, Narendra Modi, sering dituduh sebagai ekstremis nasionalis India.

Demokrasi di Pakistan dikritik karena sering diwarnai kekerasan. Turki tak diundang lantaran Presiden Recep Tayyip Erdogan dianggap membawa agenda Islam politik, meskipun negara itu sudah lama menempuh jalan demokrasi.

 
Yang diundang pula dalam KTT tentang demokrasi itu, selain dari sekutu negara Barat, juga India dan Pakistan.
 
 

Yang juga memunculkan kritik adalah undangan kepada Polandia, yang dianggap Uni Eropa (UE) sering menabrak UU. Partai Hukum dan Keadilan yang berkuasa dinilai mengintervensi sistem peradilan di negara itu, hal yang menimbulkan perselilihan dengan UE.

Presiden Meksiko Andreas Manuel Lopez Obrador yang juga diundang, tak sepi dari kritik para pendukung demokrasi. Obrador yang populis ini dianggap menurunkan kualitas demokrasi dengan mengembalikan Meksiko ke era pemerintahan satu partai.

Dari Asia Tenggara, undangan untuk Filipina pun menuai kritik. Undangan datang beberapa pekan setelah jurnalis Maria Ressa dianugerahi Nobel Perdamaian.

Ia menuduh Presiden Rodrigo Duterte menggunakan ‘kebebasan berekspresi untuk mengekspos penyalahgunaan kekuasaan, penggunaan kekerasan, dan kebangkitan otoritarianisme di negara asalnya, Filipina’. Duterte dianggap ‘melumpuhkan’ peradilan negara.

Dari kawasan Timur Tengah, demokrasi di negara-negara Arab (22 negara anggota Liga Arab) tampaknya dicuekin saja oleh Presiden Joe Biden. Bahkan sekutu tradisional AS seperti Mesir, Arab Saudi, Yordania, Qatar, dan Uni Emirat Arab (UEA) pun tidak diundang.

Negara Arab berbentuk monarki (kerajaan,kesultanan, atau keemiratan) — Arab Saudi, UEA, Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Yordania, dan Maroko — bisa dipahami bila tak diundang karena penguasanya yang memilih keluarga penguasa itu sendiri.

Namun, negara seperti Mesir, Aljazair, bahkan Turki, Suriah, serta Iran tak diundang menjadi pertanyaan besar, yang secara periodik menggelar pemilu untuk memilih presiden. Bahkan di Iran, jabatan presiden dibatasi hanya dua periode per empat tahun.

 
Justru mengherankan, yang diundang hanya Irak dan Israel.
 
 

Justru mengherankan, yang diundang hanya Irak dan Israel. Irak yang setiap pemilu diwarnai kekerasan, kini  bersengketa mengenai hasil pemilu 10 Oktober lalu. Menurut beberapa pengamat di Timur Tengah, Irak diundang lantaran demokrasinya diciptakan AS sendiri.

Pada 2003, AS menginvasi Irak dengan dalih ‘melucuti senjata pemusnah massal Irak’ yang terbukti tak pernah ada. Ternyata, senjata pemusnah massal hanya alibi, tujuan utamanya menggulingkan rezim kuat di Irak Presiden Saddam Husein.

Israel negara demokratis? Versi AS dan beberapa negara Barat mungkin. Namun, bagi warga Arab dan komunitas internasional, kali ini saya mengutip pandangan Moncef Marzouki. Menurutnya, Israel negara demokrasi aparteid.

Maarzouki, mantan presiden Tunisia (13 Desember 2011 – 31 Desember2014). Ia presiden keempat Tunisia dan presiden pertama yang terpilih secara demokratis di era pascarevolusi (The Arab Spring).

Demokrasi apartheid Israel memosisikan Arab/Palestina sebagai warga kelas kambing, orang Yahudi warga kelas singa, berikut undang-undang yang mengikat. Apalagi demokrasi Israel didirikan di atas penderitaan bangsa Palestina, di atas penjajahan.

Jadi, Presiden Joe Biden mengundang siapa, ya terserah dia sajalah. Toh, negara demokrasi atau tidak demokrasi tampaknya sama saja bagi dia dan pemimpin AS lainnya. Kalau ada tokoh lain ingin mengundang siapa, juga silakan saja.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat