Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Kota Palu saat berunjuk rasa di Depan Kantor BPJS Kesehatan Cabang Palu di Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (13/11/2019). | MOHAMAD HAMZAH/ANTARA FOTO

Tajuk

Tantangan Setelah Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Kenaikan iuran BPJS ini tentu akan memiliki sejumlah dampak dan konsekuensi.

Meski mendapat penolakan dari berbagai kalangan, pemerintah berkukuh menaikkan besaran iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Aturan kenaikan iuran BPJS Kesehatan itu ditetapkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Berdasarkan perpres yang ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 24 Oktober 2019 itu, kenaikan iuran BPJS akan berlaku mulai 1 Januari 2020.

Iuran bagi Peserta Bukan Penerima Upah dan Peserta BP (Bukan Pekerja) dipatok sebesar Rp 42 ribu per orang setiap bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas III. Sementara itu, iuran bagi penerima manfaat pelayanan ruang perawatan kelas II naik menjadi Rp 110 ribu per orang setiap bulan. Sedangkan iuran bagi penerima manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas I melonjak sehingga menjadi Rp 160 ribu per orang setiap bulan.

Selain itu, perpres tersebut juga mengatur perubahan iuran kategori peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) tingkat pusat yang merupakan pejabat negara, pimpinan, dan anggota DPR, PNS, prajurit, anggota Polri mulai 1 Oktober 2019. Selain itu, PPU tingkat daerah dan PPU yang merupakan pekerja swasta iurannya diubah berlaku mulai 1 Januari 2020. Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menyatakan, kenaikan iuran ini akan mampu menutup defisit anggaran yang selalu dialami BPJS Kesehatan. Menurut dia, ke depannya, tidak akan terjadi lagi defisit yang dapat merugikan masyarakat.

Kenaikan iuran BPJS ini tentu akan memiliki sejumlah dampak dan konsekuensi. Pertama, pemerintah harus memastikan dan menjamin dengan kenaikan iuran yang hampir 100 persen ini, BPJS Kesehatan tak lagi mengalami defisit anggaran sehingga tidak boleh ada lagi alasan BPJS Kesehatan menunggak pembayaran klaim kepada rumah sakit karena mengalami defisit. Kenaikan iuran yang diberlakukan saat ini saja sangat memberatkan sebagian besar masyarakat.

Kedua, kenaikan iuran ini tentu harus berdampak pada meningkatnya pelayanan kesehatan terhadap para peserta BPJS Kesehatan. Pemerintah dan BPJS Kesehatan harus terus memperbaiki layanan mulai dari tingkat fasilitas kesehatan (faskes) tingkat I. Klinik atau puskesmas yang ditunjuk sebagai mitra faskes tingkat I harus benar-benar memiliki fasilitas yang memadai untuk melayani para peserta BPJS Kesehatan. Pastikan pula, faskes tersebut menyediakan obat-obatan yang lengkap.

Jika pelayanan dan fasilitas di tingkat faskes tingkat I sudah baik, seharusnya para peserta tak perlu harus dirujuk ke rumah sakit, terkecuali untuk penyakit-penyakit berat dan membutuhkan penanganan yang cepat. BPJS Kesehatan jangan sampai asal menunjuk mitra faskes tingkat I. Tak jarang muncul keluhan dari para peserta BPJS, mereka diharuskan membeli sendiri obat-obatan karena kadang obat yang dibutuhkan tak tersedia di faskes tingkat I. Hal itu tentu akan sangat membebani masyarakat.

Selain itu, pelayanan di tingkat rumah sakit juga harus ditingkatkan. Selama ini, para peserta yang berobat ke rumah sakit harus dihadapkan pada panjangnya antrean. Bahkan, ada pula peserta BPJS Kesehatan yang harus menunggu selama satu pekan hingga satu bulan untuk mendapatkan tindakan atau layanan medis. Belum lagi masih harus membeli obat-obatan. Kenaikan iuran sudah seharusnya diikuti dengan penambahan jumlah rumah sakit sebagai mitra BPJS Kesehatan. Dengan begitu, masyarakat memiliki banyak pilihan dan panjangnya antrean bisa dikurangi. Peserta BPJS Kesehatan tak boleh dianaktirikan.

Ketiga, kenaikan iuran ini juga bisa berdampak pada meningkatnya jumlah peserta yang menunggak pembayaran akibat tak mampu membayar. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan BPJS Watch telah mengingatkan akan dampak ini. Saat ini saja, menurut YLKI, tunggakan dari kelompok peserta mandiri mencapai 46 persen. Belum lagi jika kemudian banyak buruh atau karyawan yang mengalami pemutusan hubungan kerja yang terancam tak lagi bisa membayar BPJS.

Keempat, kenaikan iuran juga dikhawatirkan berdampak pada banyaknya masyarakat yang turun kelas. Jika ini terjadi, tentu juga akan sangat membebani keuangan BPJS. Kedua dampak itu harus diwaspadai oleh BPJS Kesehatan dan pemerintah. Alih-alih menutup defisit, kenaikan iuran justru bisa berdampak lebih parah.

photo
Warga menunggu antrean pelayanan di Kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Jakarta Pusat Nova Wahyudi Antara(source: )

Untuk mencegah terjadinya defisit yang terus terjadi, sudah seharusnya pemerintah memikirkan pentingnya dana abadi BPJS Kesehatan. Dana itu bisa diputar dalam bentuk investasi. Hasil keuntungannya dapat digunakan untuk membiayai operasional BPJS Kesehatan. Keuntungan dari dana abadi ini tentu juga akan mengurangi beban jangka panjang berupa subsidi yang harus terus dibayar negara untuk menutup defisit anggaran BPJS Kesehatan.

Pemerintah juga sudah seharusnya melakukan penyisiran dan pembersihan data bagi peserta golongan PBI. Sebab, YLKI menyinyalir banyak peserta PBI yang salah sasaran. Artinya, banyak orang mampu yang menjadi anggota PBI. Pemerintah juga harus bersikap tegas terhadap peserta PBI yang merokok. Peserta PBI yang merokok harusnya dihapus. Membeli rokok saja mampu, mengapa iuran BPJS Kesehatannya ditanggung pemerintah?

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat