Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memberikan sambutan pada acara Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ke-VII di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa (7/11/2021). | Republika/Putra M. Akbar

Opini

Pasukan Siber MUI, Perlukah?

Apakah perlu MUI membentuk pasukan siber untuk menangkal serangan?

IDING ROSYIDIN, Ketua Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 

Belakangan muncul wacana terkait rencana pembentukan pasukan siber Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ini digagas MUI DKI Jakarta, seperti disampaikan ketuanya, KH Munahar Muchtar, dalam sejumlah kesempatan.

Menurut dia, gagasan itu salah satu implementasi amar ma’ruf dan nahi munkar. Wacana pembentukan siber MUI dalam pandangan MUI DKI Jakarta didasarkan pada adanya sejumlah serangan terhadap alim ulama.

Misalnya, dengan melancarkan berita bohong (hoaks), fitnah, dan sejenisnya. Bahkan, disebut-sebut juga sebagai upaya menangkal serangan terhadap sejumlah tokoh di Ibu Kota, di antaranya Gubernur Anies Baswedan.

Pertanyaannya, apakah perlu MUI membentuk pasukan siber untuk menangkal serangan tersebut? Mungkinkah, jika rencana terbentuk akan dipandang politis sejumlah pihak sehingga menyulitkan MUI sendiri sebagai sebuah lembaga?

Melihat urgensi

Menangkal pemberitaan atau informasi menyesatkan, bahkan kadang mengandung fitnah jelas sangat diperlukan. Betapa bahayanya pemberitaan atau informasi seperti itu jika sudah dilancarkan pada seseorang atau lembaga.

 
Mungkinkah, jika rencana terbentuk akan dipandang politis sejumlah pihak sehingga menyulitkan MUI sendiri sebagai sebuah lembaga?
 
 

Jika itu diamini khalayak tanpa verifikasi, kredibilitas orang atau lembaga itu bisa turun. Dalam perspektif propaganda, hal seperti itu termasuk teknik propaganda name calling.

Teknik ini biasanya menggunakan julukan atau label buruk pada sesuatu gagasan, seseorang, atau lembaga dengan tujuan menjatuhkannya. Ketika teknik ini berhasil, kredibilitas sasaran atau target bisa langsung merosot.

Dari sudut pandang inilah, mungkin MUI DKI mengkhawatirkan serangan terhadap ulama dan sejumlah tokoh di Ibu Kota. Masalahnya, bagaimanakah cara yang tepat dan elegan untuk menangkal serangan tersebut.

Apakah pembentukan pasukan siber MUI termasuk ke dalam cara seperti itu? Menurut hemat penulis, pembentukan pasukan siber MUI atau apa pun namanya, kurang tepat dilakukan, setidaknya karena dua alasan.

Pertama, pasukan siber sebenarnya bagian dari apa yang kita kenal selama ini dengan sebutan buzzer (pendengung). Keberadaan buzzer di dunia politik, khususnya Indonesia, menjadi problem tersendiri dalam demokrasi.

Tak dimungkiri, buzzer dalam sejumlah kasus, kerap dimanfaatkan untuk menyerang lawan politik dengan bermacam cara, misalnya, dengan informasi tak valid. Buzzer membuat media sosial semakin gaduh, terkadang untuk sesuatu yang tak perlu.

MUI pernah mengeluarkan fatwa haram tentang buzzer jika perilakunya cenderung menyebarkan berita bohong, fitnah, dan sejenisnya, yakni Fatwa Nomor 24 Tahun 2017.

 
Tentu sah-sah saja membela Anies dari serangan tak berbasis fakta. Tetapi, karena MUI bukan organisasi politik, besar kemungkinan itu jadi bumerang bagi MUI sebagai lembaga.
 
 

Kalau MUI DKI membentuk pasukan siber yang notabene buzzer, mungkin menjadi kontraproduktif. Kedua, di tengah suasana politik yang mulai memanas terkait Pemilu 2024, segala sesuatu akan dianggap rawan atau sensitif secara politik.

Cap politis, misalnya, akan mudah disematkan pada seseorang atau lembaga. Termasuk rencana pembentukan siber MUI tersebut. Ini terkait ungkapan ketua MUI yang menyebut Anies Baswedan sebagai salah seorang --bukan satu-satunya-- tokoh yang akan dibelanya.

Tentu sah-sah saja membela Anies dari serangan tak berbasis fakta. Tetapi, karena MUI bukan organisasi politik, besar kemungkinan itu jadi bumerang bagi MUI sebagai lembaga.

Pada gilirannya, akan ada pertanyaan kritis bahkan tuduhan dari sebagian publik tentang otoritas MUI dalam konteks ini. Kalau itu terjadi, energi MUI DKI bisa habis untuk membantah tuduhan tersebut.

Cara elegan

Berdasarkan paparan di atas, hemat penulis, ada cara lebih elegan bagi MUI DKI Jakarta mengonter serangan terhadap kaum alim ulama. Pertama, MUI sebaiknya lebih fokus pada alim ulama, sesuai kesejatian wadah ini sebagai tempat berkumpulnya para ulama.

 
Cara mengonter pun sebaiknya, menghindari kalimat yang menyalahkan lebih-lebih menyudutkan. Cukup klarifikasi sejelas mungkin ketika, misalnya, ada informasi yang tidak benar.
 
 

Ketimbang, membentuk pasukan siber yang besar kemungkinan menjadi sasaran serangan, lebih baik pokja (kelompok kerja) di Divisi Informasi dan Komunikasi MUI. Merekalah yang bertugas mengonter serangan berbentuk informasi atau pemberitaan yang tidak benar.

Cara mengonter pun sebaiknya, menghindari kalimat yang menyalahkan lebih-lebih menyudutkan. Cukup klarifikasi sejelas mungkin ketika, misalnya, ada informasi yang tidak benar.

Bahkan, saat ada ajakan provokatif dari sebagian pihak, seperti tagar pembubaran MUI yang ramai di media sosial baru-baru ini, pokja cukup menjelaskan sejarah, keberadaan, dan sumbangsih MUI bagi bangsa dan negara.

Terkait upaya mengonter serangan terhadap Anies Baswedan, sebaiknya MUI DKI Jakarta tidak melakukannya secara langsung. Sebagai mitra kerja, mereka cukup memberikan informasi kepada Humas Pemprov DKI Jakarta atau tim di sekitar gubernur.

Selanjutnya, biar mereka yang menyampaikannya ke publik. Cara seperti ini lebih aman bagi MUI, khususnya DKI Jakarta. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat