Azyumardi Azra | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Riset dan Inovasi: Posisi Indonesia

Indonesia masih terbelakang dalam riset, iptek, dan ilmu sosial dan humaniora, seperti terlihat dalam beberapa indikator.

Oleh AZYUMARDI AZRA

OLEH AZYUMARDI AZRA

Dengan pembentukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), apakah riset, inovasi, dan invensi Indonesia bisa maju—melesat mengatasi ketertinggalan selama ini?

Di tengah konstruksi BRIN dan dekonstruksi LPNK dalam beberapa bulan terakhir, skeptisisme tetap menggantung dalam pemikiran dan imajinasi banyak peneliti, yang masih ada di lembaga penelitian pemerintah (kementerian, lembaga, dan perguruan tinggi negeri).

Skeptisisme mereka cukup beralasan kuat. Meski berbagai upaya telah dilakukan untuk memajukan negara-bangsa ini yang banyak tergantung pada invensi dan inovasi, Indonesia masih terbelakang dalam riset, iptek, dan ilmu sosial dan humaniora, seperti terlihat dalam beberapa indikator.

Dalam bidang iptek, Indonesia (2017) berada pada posisi 160 dari 163 negara dalam indeks kontribusi global kemajuan sains dan teknologi, peringkat 111 dalam budaya, 19 dalam kedamaian dan sekuriti, 62 dalam tata dunia, 138 dalam iklim planet, 35 dalam kemakmuran dan kesetaraan, 70 dalam kesehatan dan kesejahteraan—rata-rata peringkat 77.

Dalam Indeks Inovasi Global (IIG) Indonesia ada di peringkat 85 dari 131 negara (2020)—peringkat 14 dari 17 negara Asia Tenggara. Pada 2021, belum ada perkembangan signifikan menuju ke arah peningkatan peringkat di antara negara-negara ASEAN.

Sedangkan IIG 2021, Indonesia berada di peringkat 87 dari 132 negara; dalam hal kelembagaan sangat memprihatinkan—berada di papan bawah, peringkat 107.

 
Banyak faktor penyebab rendahnya riset dan inovasi Indonesia sejak dulu sampai sekarang—dan agaknya juga ke depan.
 
 

Banyak faktor penyebab rendahnya riset dan inovasi Indonesia sejak dulu sampai sekarang—dan agaknya juga ke depan. Penyebab pertama, rendahnya anggaran. Padahal jelas, riset, inovasi dan iptek bisa maju hanya dengan pendanaan memadai dari sumber keuangan pemerintah (APBN/APBD) dan dana swasta (industri dan filantropi).

Minimnya rasio anggaran penelitian—hanya 0,25 persen (sekitar Rp 38,6 triliun pada 2020) dari Pendapatan Domestik Bruto. Anggaran ini terpencar ke berbagai lembaga penelitian. Dana Rp 25 triliun itu, 30 persen untuk biaya operasional dan 44 persen untuk litbang.

Rasio anggaran penelitian Indonesia yang rendah itu bisa dibandingkan dengan Thailand 1,0 persen; Malaysia 1,3 persen; Singapura 2,2 persen; RRC 2,3 persen; AS 3,1 persen; Jepang 3,2 persen; Taiwan 3,5 persen; dan Korsel 4,6 persen.

Dengan anggaran kecil, sementara tak ada tanda atau isyarat kenaikan pendanaan signifikan tahun mendatang karena ekonomi yang masih sulit akibat pandemi Covid-19, menjadi tanya tanya besar apakah BRIN dapat melaksanakan riset dan invovasi dengan baik.

 
Dengan anggaran kecil, menjadi tanya tanya besar apakah BRIN dapat melaksanakan riset dan invovasi dengan baik.
 
 

Sedangkan BRIN secara kelembagaan juga masih berjuang untuk terkonsolidasi dalam berbagai aspek eksistensinya.

Prediksi terwujudnya riset penting dan berkualitas; serta invensi dan inovasi signifikan dan kontributif untuk kemajuan Indonesia juga menjadi tanya besar dengan ketersediaan sumber daya manusia dalam bidang ini.

Rasio peneliti Indonesa masih sangat rendah, hanya 1,070 dari 1 juta penduduk. Rasio ini jauh ketinggalan jika dibandingkan Malaysia 2,590; Jepang 5,570; Singapura 7,115; Korsel 8,105.

Peneliti Indonesia terbanyak berada di lembaga penelitian LPNK (LIPI, BPPT, BATAN dan LPAN) yang telah dilebur ke dalam BRIN dan balitbang kementerian dan lembaga pemerintah lain.

Sedangkan fungsi ristek (dari Kemenristek yang telah dibubarkan) dialihkan ke Ditjen Dikti, tidak jelas apakah peneliti yang dulu ada di Kemenristek juga diintegrasikan ke dalam BRIN atau dialihkan ke Ditjen Dikti.

Pengalihan fungsi ristek ke Ditjen Dikti terkait tugas pokok dan fungsi (tupoksi)-nya mengkoordinasikan perguruan tinggi negeri dan swasta (PTN dan PTS).

Namun, PTN (dan juga PTS) umumnya tidak memiliki tenaga fungsional peneliti dengan tugas pokok melakukan penelitian, bukan mengajar. Riset di PT lazimnya dilakukan dosen yang tugas pokoknya mengajar, bukan meneliti.

Selama ini—dan bisa diduga juga setelah adanya BRIN—penelitian yang dilakukan di LPNK, PTN, dan PTS, litbang kementerian/lembaga, dan juga  balitbangda dilakukan terutama sebagai kegiatan rutin belaka. Selain itu, untuk kepentingan praktis institusi masing-masing.

Sedangkan bagi peneliti, penelitian mereka lakukan lebih untuk kepentingan kepangkatan dan tunjangan. Riset murni untuk kepentingan pengembangan iptek, invensi, dan inovasi relatif sedikit.

 
Sulit dielakkan terjadinya politisasi dan ideologisasi riset, invensi dan inovasi iptek dan ilmu lain untuk kemajuan Indonesia.
 
 

Apakah keadaan tidak kondusif ini bisa diubah secara keseluruhan oleh BRIN? Menghadapi berbagai tantangan internal dan eksternal yang sangat berat, wajar kalau banyak kalangan merasa pesimistis.

Apalagi, kemunculan BRIN tak memperbaiki ekosistem riset dan inovasi. Ekosistem riset, invensi, dan inovasi Indonesia selama ini tidak kondusif karena kurangnya otonomi, birokratisasi, dan administrasi membelenggu di lembaga penelitian manapun, termasuk di PTN/PTS.

Ekosistem dengan BRIN, diperkirakan semakin tidak kondusif dengan adanya Dewan Pengarah yang dipimpin ketua umum partai. Malah sebaliknya, sulit dielakkan terjadinya politisasi dan ideologisasi riset, invensi dan inovasi iptek dan ilmu lain untuk kemajuan Indonesia.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat