Nasional
PK Ditolak MA, Luthfi Hasan Ishaaq Tetap Dipenjara 18 Tahun
Lutfhi Hasan Ishaaq kini tengah menjalani hukuman di Lapas Sukamiskin, Bandung.
JAKARTA -- Langkah permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diupayakan mantan presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) ditolak Mahkamah Agung (MA). Putusan MA dengan nomor registrasi 385 PK/Pid.Sus/2021 diputus tertanggal, Senin 15 November 2021.
Perkara upaya hukum PK ini diputus oleh Ketua Majelis Suhadi, dengan anggota Eddy Armi dan Ansori. Pembacaan putusan ini dilakukan pada Senin, (15/11). Dalam status amar putusan tertulis "Tolak," tulis halaman laman kepaniteraan MA di direktori putusan, Selasa (16/11).
Dengan ditolaknya PK Luthfi Hasan Ishaaq oleh MA, maka Termohon dalam hal ini yang juga sebagai Terpidana tetap akan menjalani hukuman selama 18 tahun. Luthfi Hasan Ishaaq telah diputus bersalah atas kasus korupsi kuota impor sapi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Pada September 2014, pada putusan kasasinya MA justru memperberat hukuman Luhtfi yang sebelumnya dihukum 16 tahun penjara menjadi 18 tahun penjara. Dalam putusan kasasi itu juga mencabut hak politik dari Luthfi, sehingga yang bersangkutan tidak lagi dapat memilih atau dipilih dalam jabatan publik.
Mantan petinggi PKS itu kini tengah menjalani hukuman yang membelitnya di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Dalam permohonannya, pengacara Luthfi, Sugiyono menilai ada kekeliruan atas vonis 18 tahun penjara yang dijatuhkan MA pada tingkat kasasi.
"Setelah mempelajari putusan pada tingkat kasasi, pemohon temukan alasan-alasan untuk mengajukan PK, adapun alasan-alasan yang sangat menentukan adalah kekeliruan hakim sangat nyata," kata kuasa hukum Luthfi, Sugiyono.
Dalam permohonan PK, Luthfi membandingkan kasusnya dengan kasus korupsi yang dilakukan mantan Ketua DPD Irman Gusman dan mantan Menteri Sosial (Mensos) Idrus Marham. Dia memandang, perkara korupsi yang membelitnya tidak jauh berbeda dengan kedua politikus itu.
Kekeliruan mendasar hakim kasasi terhadap Luthfi, sambung Sugiyono, terkait penerapan pasal putusan yang tidak berubah yaitu pasal 12 huruf a UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
"Terpidana selaku penyelenggara negara sama-sama menerima uang dari pihak swasta, namun penerimaan uang tidak masuk dalam ranahnya. Pemohon tidak dilakukan secara adil oleh karena itu pemohon mengajukan PK," ungkap Sugiyono.
Sementara itu, terkait perkara tindak pidana pencucian uang (TPPU), kata Sugiyono, perbuatan pencucian uang yang dituduhkan terhadap kliennya tidak sesuai dengan waktu penerapan UU TPPU.
"Wajib bagi penuntut umum untuk merinci detail tindak pidana yang diduga menjadi predicate crime pencucian uang. Pemohon menilai pertimbangan hakim pengadilan negeri dan pengadilan tinggi tidak memenuhi unsur tempus delicti tindak pidana asal sehingga hanya menjadi dugaan saja," terangnya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.