Ucapan selamat atas berdirinya Universiti Muhammadiyah Malaysia. | muhammadiyah.or.id

Opini

Muhammadiyah dan Disrupsi

Muhammadiyah dinilai mulai tersandera rutinitas pekerjaan di sekitar amal usahanya.

SYAMSUL ARIFIN; Wakil Rektor I dan Guru Besar Universitas Muhammadiyah Malang

Pada 18 November tahun ini merupakan milad ke-109 Muhammadiyah. Bagi Muhammadiyah, memasuki usia satu abad lebih dan menapaki abad kedua merupakan prestasi karena tak banyak organisasi berbasis keagamaan termasuk dari kalangan Islam mampu bertahan apalagi terus berkembang.

Perkembangan Muhammadiyah meliputi banyak aspek. Basis massa yang semula terbatas di perkotaan, kini merambah ke pedesaan. Ini disertai bertumbuhnya amal usaha bahkan pada unit terkecil organisasi Muhammadiyah, yaitu ranting.

Muhammadiyah tak hanya ke wilayah bahkan pelosok tetapi juga mulai ke level mondial. Di samping ditandai keberadaan warga Muhammadiyah yang menjadi Muslim diaspora di beberapa negara,  amal usaha di bidang pendidikan mulai merambah hingga luar negeri seperti pendirian Universitas Muhammadiyah Malaysia.

Deskripsi singkat perkembangan Muhammadiyah, tak lengkap jika tak disertai ulasan persoalan di dalamnya yang berpotensi menghambat dinamika internal Muhammadiyah dan perwujudan etos berkemajuan pada konteks eksternal.

 
Muhammadiyah tak hanya ke wilayah bahkan pelosok tetapi juga mulai ke level mondial
 
 

Mengikuti hukum alam pada semua organisasi yang berawal dari fase kelahiran, pertumbuhan, perkembangan, organisasi manapun termasuk Muhammadiyah, menurut Rhenald Kasali dalam Re-Code Your Change DNA: Membebaskan Belenggu-belenggu untuk Meraih Keberanian dan Keberhasilan dalam Pembaharuan (2007), berpotensi terancam tak sehat yang berlanjut pada kematian jika tak mampu merawat dinamika internalnya melalui sikap terbuka terhadap perubahan.

Maka, pada setiap fase perkembangannya, Muhammadiyah menghadapi masalah internal terutama menyangkut etos seperti mengelola organisasi secara biasa-biasa, yang rentan disrupsi perubahan eksternal.

Adanya disrupsi sehingga Muhammadiyah sebagai pejawat pembaharu bisa terancam, sudah disadari seperti terekam dalam publikasi lama "Muhammadiyah dalam Kritik dan Komentar" yang terbit pada 1986.

Salah satu yang menjadi komentar dan sasaran kritik adalah meredupnya etos pembaharuan sejalan bertumbuhnya amal usaha. Setelah amal usaha bertumbuh dan berkembang, Muhammadiyah dinilai mulai tersandera rutinitas pekerjaan di sekitar amal usahanya.

Sementara, bermunculan aktivitas dari organisasi keagamaan lainnya, membuat yang dikerjakan Muhammadiyah terkesan biasa saja. Lalu, muncul pertanyaan tentang distingsi dan keunggulan Muhammadiyah dengan organisasi keagamaan lainnya.

 
Bermunculan aktivitas dari organisasi keagamaan lainnya, membuat yang dikerjakan Muhammadiyah terkesan biasa saja.
 
 

Pendidikan tinggi dan rumah sakit, misalnya, juga menjadi perhatian organisasi keagamaan lainnya. Perkembangan, setidaknya pada kedua bidang itu, membentuk lanskap kompetisi dan kontestasi yang tak cukup disikapi dengan pendekatan business as usual, yang hanya mencukupkan pengulangan terhadap yang biasa dilakukan.

Apalagi sekadar iterasi, bahkan berinovasi, kata Rhenald Kasali dalam Disruption  (2017), belum cukup karena perkembangan saat ini mengarah ke disrupsi, yakni membuat banyak hal baru sehingga yang lama menjadi ketinggalan zaman dan tidak terpakai.

Bagi Muhammadiyah yang telanjur menyandang nama besar sebagai gerakan pembaharuan, tak ada pilihan kecuali berperan mengembangkan inovasi-disruptif pada semua amal usahanya.

Namun justru, beberapa amal usaha Muhammadiyah belum keluar dari zona nyaman dengan melakukan aktivitas yang biasa dilakukan.

Di beberapa kota, misalnya, bermunculan lembaga pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi bukan saja berpotensi bahkan mulai menggeser Muhammadiyah. Fenomena kurang lebih sama terjadi di bidang kesehatan dan kegiatan lainnya.

 
Di beberapa kota, misalnya, bermunculan lembaga pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi bukan saja berpotensi bahkan mulai menggeser Muhammadiyah.
 
 

Menghadapi kondisi kian menantang, disruptif atau terkadang menggunakan konsep VUCA ciptaan dua pakar ilmu bisnis, Warren Bennis dan Burt Nanus, yakni volatility (perubahan yang begitu cepat), uncertainty (ketidakpastian), complexity (kompleksitas), dan ambiguity (ketidakjelasan), menuntut Muhammadiyah berpegang pada semangat zaman pada awal pendiriannya dan etos tajdid.

Pemenuhan keniscayaan ini tergantung kualitas SDM utamanya di posisi pemimpin pada berbagai level organisasi dan kelembagaan amal usaha. Penyebutan tanggung jawab kepada unsur pimpinan berdasarkan pelajaran dari kepemimpinan Ahmad Dahlan.

Ahmad Dahlan, aktor yang mampu menjalankan kepemimpinan intelektual dengan visi pembaharuan dan perubahan terbukti menjadikan Islam sebagai bagian modernitas, di sisi lain tak tercerabut dari akar keagamaan.

Kapasitas Ahmad Dahlan menginspirasi Charles Kurzman dalam Liberal Islam: A Sourcebook (1998) memosisikan Ahmad Dahlan dalam klaster pemikiran Islam liberal, yang dikenal juga modernisme Islam.

Dengan pemikiran demikian, Ahmad Dahlan melakukan pembaharuan sebagaimana terlihat di bidang pendidikan dengan cara memperkenalkan pelajaran Barat dan tema-tema khas Barat terhadap kurikulum tradisional.

Kepemimpinan Muhammadiyah pada saat ini perlu belajar dari karakter kepemimpinan Ahmad Dahlan yang demikian.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat