Kapal tongkang pengangkut batu bara melintas di Sungai Musi, Palembang, Sumatra Selatan, Rabu (15/1/2020). India didukung Cina dan negara-negara berkembang menolak klausul penghapusan batu bara. | NOVA WAHYUDI/ANTARA FOTO

Internasional

COP26 Bidik Batu Bara

India didukung Cina dan negara-negara berkembang menolak klausul penghapusan batu bara.

GLASGOW -- Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-26 atau COP26 yang dihelat di Glasgow, Skotlandia, berakhir pada Sabtu (13/11). Untuk pertama kalinya, konferensi tersebut membidik bahan bakar fosil sebagai pemicu utama pemanasan global.

Hampir 200 negara menerima kesepakatan kompromi COP26 yang bertujuan membatasi pemanasan global tak melampaui 1,5 derajat celcius di atas tingkat pra-industri. Para ilmuwan telah memperingatkan, saat suhu bumi melebihi titik itu, akan ada dampak iklim yang tak terkendali dan tak dapat diubah.

Kesepakatan COP26 secara efektif mengakui bahwa komitmen negara-negara untuk mengurangi emisi karbon belum memadai. Mereka, terutama negara penghasil karbon terbesar, diminta menetapkan target yang lebih ketat tahun depan. Pembicaraan juga menghasilkan terobosan dalam menyelesaikan aturan untuk mencakup pasar yang dipimpin pemerintah guna penyeimbangan karbon.

Dalam COP26, muncul klausul yang menyerukan "penghapusan" pembangkit listrik tenaga batu bara. Namun, drama muncul di menit-menit akhir. India, didukung Cina dan negara-negara berkembang lainnya yang bergantung pada batu bara, menolak klausul tersebut.

Setelah utusan Cina, India, Amerika Serikat (AS), dan Uni Eropa melakukan pertemuan, redaksional klausul itu diganti "menghentikan secara bertahap" penggunaan pembangkit listrik tenaga batu bara. Menteri Lingkungan Hidup India Bhupender Yadav mengatakan, revisi itu mencerminkan "keadaan nasional" negara-negara berkembang.

Dia mengisyaratkan adanya diskriminasi dalam klausul yang seolah menutup mata terhadap minyak dan gas alam. "Kami melakukan upaya kami untuk membuat konsensus yang masuk akal bagi negara-negara berkembang dan masuk akal untuk keadaan iklim," ujar Yadav mengacu pada fakta bahwa negara-negara kaya, secara historis, penyumbang terbesar dari gas rumah kaca.

Perubahan redaksional dalam klausul itu menuai kekecewaan dari banyak negara, termasuk negara-negara kaya di Eropa. "Saya minta maaf atas cara proses ini berlangsung. Saya sangat menyesal," kata Presiden COP26 Inggris, Alok Sharma, merespons kemarahan berbagai negara atas perubahan di menit-menit akhir.

Utusan Meksiko, Camila Isabel Zepeda Lizama, mengatakan, dia yakin banyak negara yang telah dikesampingkan dari pertemuan utusan Cina, AS, India, dan Uni Eropa. Menurutnya, proses itu tak transparan dan tak inklusif.

Kendati menyesalkan, Lizama mengatakan negaranya akan membiarkan teks yang direvisi perihal pembangkit listrik tenaga batu bara tetap berlaku. Menteri Lingkungan Swiss Simonetta Sommaruga mengatakan, perubahan klausul akan mempersulit pembatasan pemanasan hingga 1,5 derajat celcius.

Utusan iklim AS, John Kerry, mengatakan, pemerintah yang menghadiri COP26 tidak punya pilihan selain menerima perubahan klausul. Namun, Kerry meyakinkan bahwa kesepakatan itu adalah kabar baik bagi dunia.

"Kita sebenarnya lebih dekat daripada sebelumnya untuk menghindari kekacauan iklim dan mengamankan udara bersih, air yang lebih aman, dan planet yang lebih sehat," ujar Kerry.

Ilmuwan iklim Australia, Bill Hare, mengkritik langkah yang diambil India. "Perubahan oleh India di menit-menit akhir untuk mengurangi dan bukan menghapus (penggunaan pembangkit listrik tenaga batu bara) sangat mengejutkan," ucapnya.

Menurut dia, India telah lama menjadi penghambat aksi iklim. "Tapi saya belum pernah melihatnya dilakukan secara terbuka," kata Hare.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Greenpeace Jennifer Morgan mengatakan, perubahan redaksional dalam klausul tidak dapat mengubah pesan dari  COP26. "Bahwa era batu bara telah berakhir. Jika Anda seorang eksekutif perusahaan batu bara, COP26 ini menunjukkan hasil yang buruk," ujarnya.

Mengapa batu bara?

COP26 memusatkan perhatian pada batu bara. Di antara tiga jenis bahan bakar berbasis fosil --batu bara, minyak bumi, dan gas alam— batu bara adalah penyebab terbesar perubahan iklim. Batu bara bertanggung jawab atas 20 persen emisi gas rumah kaca.

Sisi baiknya, batu bara adalah bahan bakar yang relatif mudah digantikan. Bahkan, sumber energi alternatif bagi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara sebetulnya sudah ada sejak puluhan tahun lalu.

Pembakaran batu bara juga memiliki dampak pada lingkungan. Di antara dampak itu adalah polusi udara yang menyebabkan kabut asap, hujan asam, dan penyakit saluran pernapasan. 

Namun, batu bara juga menyajikan “godaan” tersendiri. Salah satu alasannya, batu bara murah dan banyak tersedia di bumi. Pengguna terbanyak batu bara di dunia adalah Cina, India, dan Amerika Serikat. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat