KH Amin Sepuh, salah seorang ulama legendaris dalam sejarah Cirebon. | DOK Nahdlatul Ulama

Mujadid

KH Amin Sepuh, Ulama Legendaris dari Kota Wali

Mubaligh kelahiran Cirebon ini turut berjuang dalam Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya.

OLEH MUHYIDDIN

Cirebon merupakan salah satu pusat peradaban Islam di Indonesia. Syiar agama tauhid memancar dari daerah yang kini bagian dari Provinsi Jawa Barat itu setidaknya sejak abad ke-15.

Kala itu, Kesultanan Cirebon berdiri dan mulai menyebarkan pengaruhnya ke seluruh Jawa. Pemimpin terbesarnya ialah Sultan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, yang juga salah seorang Wali Songo. Tak mengherankan bila kawasan di pesisir utara Jawa itu kemudian berjulukan Kota Wali.

Pada abad ke-20, Cirebon juga memunculkan seorang alim yang disebut-sebut sebagai waliyullah. Dialah KH Amin Sepuh. Ulama itu tidak hanya berkiprah dalam dunia pendidikan, tetapi juga turut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Pertempuran pada 10 November 1945 di Surabaya menjadi salah satu tonggak heroismenya.

Pengasuh Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin itu lahir dengan nama Muhammad Amin di Mijahan Plumbon, Cirebon, Jawa Barat, pada 24 Dzulhijjah 1300 Hijriah atau 1879 Masehi. Ia adalah putra dari KH Irsyad, seorang kiai Cirebon. Secara nasab, dirinya masih keturunan Sunan Gunung Jati.

Sejak berusia anak-anak, dirinya telah rajin belajar ilmu-ilmu keislaman. Amin kecil pertama-tama menimba ilmu dari ayahnya. Setelah itu, putra kiai itu menjadi seorang santri kelana. Berbagai pesantren disambanginya.

Berdasarkan literatur yang ada, Amin muda mengawali rihlah intelektualnya di Pondok Pesantren Sukasari, Plered, Cirebon. Lembaga itu diasuh oleh KH Nasuha. Selanjutnya, ia berangkat ke pondok pesantren asuhan KH Hasan yang berlokasi di daerah Jatisari.

Setelah itu, ia bertolak ke Pondok Pesantren Kaliwungu Kendal dan Pondok Pesantren Mangkang Semarang. Perjalanannya juga sampai ke Tegal, Jawa Tengah, yakni pada sebuah pesantren yang dipimpin KH Ubaidah.

Tidak berhenti di situ, Amin muda juga sempat belajar kepada seorang ulama besar, Syaikhona Kholil Bangkalan. Setelah beberapa lama menimba ilmu di Pulau Madura, dia menuju ke Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Di sanalah dirinya memetik ilmu dan hikmah dari Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari.

 
Amin muda kemudian memperdalam ilmunya hingga ke Makkah. Di Masjidil Haram, putra daerah Cirebon itu sempat belajar pada seorang ulama masyhur asal Nusantara, KH Mahfudz Termas.
 
 

Masih haus akan ilmu pengetahuan, Amin kemudian memperdalam ilmunya hingga ke Makkah. Di Masjidil Haram, putra daerah Cirebon itu sempat belajar pada seorang ulama masyhur asal Nusantara, KH Mahfudz Termas. Sambil memperdalam ilmu agamanya, Amin juga banyak mendapatkan tugas dari gurunya itu untuk mengajar para santri Indonesia yang tinggal di Kota Suci.

Setelah pulang ke Tanah Air, Amin mengabdi pada Kiai Ismail bin Nawawi di Pesantren Babakan, Ciwaringin, Cirebon. Di sana, reputasinya kian terkenal sebagai seorang santri dengan kecerdasan di atas rata-rata.

Ia kemudian dijodohkan dengan seorang keponakan Kiai Ismail yang bernama Nyai Hj Shofiyah. Setelah pengasuh Pesantren Babakan itu wafat pada 1916 M, dirinya ditetapkan sebagai penerus almarhum. Sejak itulah, masyarakat menjulukinya sebagai Kiai Amin Sepuh. Sebab, silsilah keluarganya sampai kepada Kiai Jatira, yang dianggap selaku pendahulu atau sesepuh pendiri Pesantren Babakan.

Turut berjuang

Dalam tulisannya di laman resmi Nahdlatul Ulama (NU), Wakil Sekretaris Lembaga Ta'lif wan Nasyr (LTN) PBNU Munawir Aziz menuturkan sekilas tentang sisi kepahlawanan KH Amin Sepuh. Satu contoh perjuangan tokoh itu ialah menjelang Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya.

Waktu itu, Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaan sejak 17 Agustus 1945. Namun, Belanda—yang beraliansi dengan Sekutu—kemudian datang dengan tujuan ingin menjajah lagi Nusantara.

Menjelang November 1945, tutur Munawir, Kiai Amin bertolak ke Surabaya. Dia didampingi, antara lain, oleh Kiai Abbas Buntet (1879-1946), Kiai Bisri Musthofa (1914-1977), Kiai Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971), dan Kiai Bisri Syansuri (1886-1980). Semua alim ulama tersebut hendak membantu perjuangan rakyat di ibu kota Jawa Timur itu dalam menghadapi ancaman Sekutu.

Mulanya, Sekutu datang ke Indonesia dengan dalih untuk melucuti senjata Jepang serta memulangkan sejumlah orang yang sebelumnya ditawan Dai Nippon. Namun, ada pihak Pemerintahan Sipil Hindia Belanda (Netherlands-Indies Civil Administration, NICA) menyulut kecurigaan para pejuang. Sejak September 1945, orang-orang NICA kerap membuat kerusuhan di berbagai kota di Indonesia.

Maka, para ulama merespons situasi demikian dengan penuh waspada. Hingga akhirnya, Mbah Hasyim Asy’ari menggelorakan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Melalui pernyataan itu, umat Islam—khususnya kaum santri dan kiai—diajak untuk bersiap melakukan perlawanan terhadap pihak manapun yang hendak menjajah lagi Tanah Air.

 
Dipilihnya perjalanan darat dengan kereta api menuju Leteh, Rembang, Jawa Tengah. Bersama rombongan, Kiai Amin bertemu Kiai Bisri Musthofa untuk menyusun strategi menuju Surabaya.
 
 

Menyambut resolusi itu, Kiai Amin tidak tinggal diam. Begitu mendengar kabar tentang situasi Surabaya yang kian genting, ia bersama beberapa santri lantas berupaya ke sana. Dipilihnya perjalanan darat dengan kereta api menuju Leteh, Rembang, Jawa Tengah. Bersama rombongan, ulama tersebut bertemu dengan Kiai Bisri Musthofa untuk menyusun strategi menuju Surabaya.

Peran Kiai Amin cukup signifikan dalam menyusun strategi peperangan. Reputasinya bahkan membuat Mbah Hasyim bersedia menunggu kedatangannya, baru kemudian menetapkan tanggal rencana serangan umum terhadap pasukan NICA di Surabaya.

Munawir menukil kesaksian dari Kiai Abdul Mujib, seorang putra KH Ridlwan Abdullah yang juga pencipta lambang jagat NU. Dalam sebuah majelis, ada yang bertanya, “Mengapa perlawanan rakyat Surabaya itu terjadi pada 10 November 1945? Mengapa tidak sehari atau dua hari sebelumnya, padahal waktu itu rakyat dan pemuda sudah siap?”

Kiai Abdul Mujib menceritakan, saat itu Mbah Hasyim memang belum mengizinkan para santri untuk memulai bertempur. Sebab, pendiri organisasi NU itu dikatakan masih menunggu “sang kekasih Allah” datang dari Cirebon. Sosok itu disebutnya akan berdoa, memohon agar Allah menjaga langit Surabaya. Tokoh yang ditunggu-tunggu kedatangannya itu ialah Kiai Amin dan Kiai Abbas Abdul Jamil.

Pada saat mendengar pasukan Inggris akan mendarat di Surabaya, Kiai Amin kemudian menggelar rapat dengan kiai-kiai lain di kawasan Cirebon. Pertemuan ini diselenggarakan di daerah Mijahan, Plumbon, Cirebon. Di antara para kiai yang hadir kala itu adalah Kiai Abbas Abdul Jamil Buntet, KH Anshory Plered, Kiai Fathoni dan beberapa ulama lainnya.

 
Mbah Hasyim masih menunggu “sang kekasih Allah” datang dari Cirebon. Sosok itu disebutnya akan berdoa, memohon agar Allah menjaga langit Surabaya. Tokoh yang ditunggu-tunggu kedatangannya itu ialah Kiai Amin dan Kiai Abbas Abdul Jamil.
 
 

Pada pertemuan ini, dibahas beberapa poin penting tentang posisi pesantren menghadapi penjajah dan strategi barisan santri pada masa awal kemerdekaan. Pertemuan ini akhirnya berhasil membuat kesepakatan, yang di antaranya mewajibkan pesantren untuk terlibat dalam perjuangan kemerdekaan.

Selepas pertemuan ini, barulah ditindaklanjuti dengan pengiriman laskar santri ke Surabaya untuk mengadang 6.000 personel pasukan Brigade 49, Divisi 23. Pasukan NICA ini dipimpin oleh Brigadir Jenderal AWS Mallaby.

Tidak ketinggalan, Kiai Amin juga ikut berangkat ke Surabaya serta turut mengusahakan pendanaan untuk biaya keberangkatan. Kiai Fathoni mengatakan bahwa untuk pendanaan, Kiai Amin menyerahkan 100 gram emas yang terdiri dari kalung, gelang, dan cincin.

Mengasuh pesantren

Sesudah Belanda mengakui kedaulatan RI, situasi di Tanah Air berangsur-angsur kondusif. Kiai Amin Sepuh kembali dapat berfokus pada tugasnya, mengasuh Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon. Waktu perjuangan masih bergelora, lembaga ini menjadi salah satu target tentara NICA. Banyak bangunan setempat yang rusak parah lantaran dibombardir musuh.

Pada 1954, salah seorang murid Kiai Amin yang bernama KH Sanusi menjadi orang pertama yang kembali dari pengungsian untuk melihat kondisi pesantren Babakan. Sisa-sisa kitab suci saat itu telah berantakan, termasuk kitab-kitab karya Kiai Amin Sepuh habis terbakar, dan beberapa bangunan hancur.

Pada 1955, Kiai Amin Sepuh akhirnya kembali juga ke Babakan, yang kemudian disusul oleh para santrinya yang datang dari berbagai daerah. Usai fisik bangunan Ponpes Babakan dibenahi, ia kembali memberikan pelajaran-pelajaran agama kepada para santrinya.

Dalam perkembangannya, santri terus bertambah banyak hingga Pesantren Babakan tidak dapat menampung para santri. Kemudian, beberapa santrinya dititipkan di rumah-rumah ustaz, seperti di KH Hanan, di rumah KH Sanusi, hingga kelak anak cucunya membentuk dan mengembangkan pesantren-pesantren seperti sekarang ini.

Awalnya, di Ponpes Babakan hanya terdapat satu bangunan, yakni Raudlotut Tholibin. Tapi, sekarang pondok di sana telah menjadi banyak. Pada 2012 tercatat ada sekitar 40 pondok di lingkungan Ponpes tersebut.

photo
ILUSTRASI Para santri di Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat. Pada masa revolusi, Kiai Amin Sepuh pernah memimpin para santrinya ke medan jihad Surabaya, 10 November 1945. - (DOK Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin.)

Sukses Terapkan Kaderisasi Ulama

 

Riwayat KH Amin Sepuh berkaitan erat dengan Pondok Pesantren (Ponpes) Raudlatut Thalibin. Dahulu, lembaga yang berlokasi di Cirebon, Jawa Barat, itu lebih dikenal dengan nama Ponpes Gede atau Babakan Ciwaringin. Ulama yang menekuni dunia tasawuf itu memimpin Ponpes Babakan Ciwaring sejak 1916 hingga 1972. Pada masa kepemimpinannya, institusi itu mengalami perkembangan yang pesat.

Ia pun terbilang sukses dalam melakukan kaderisasi ulama. Di Ponpes Babakan Ciwaringin, Kiai Amin kerap mengingatkan tentang pentingnya belajar ilmu-ilmu agama. Di kemudian hari, banyak muridnya yang menjadi ulama besar.

Di antara santri-santrinya yang berhasil adalah KH Ayip Muh (Cirebon), KH Syakur Yassin, KH Abdullah Abbas (Buntet), KH Syukron Makmun, KH Hannan, KH Sanusi, KH Machsuni (Kwitang), serta KH Hassanudin (Makassar). Di Babakan sendiri, murid-muridnya juga mendirikan pesantren, seperti KH Muhtar, KH Syaerozi, KH Amin Halim, KH Muhlas, KH Syarif Hud Yahya, dan lain-lain.

Sementara, karya-karya Kiai Amin tidak begitu banyak dan belum ditemukan dalam bentuk tulisan. Karena, pihak tentara NICA dikabarkan telah membakar karya-karyanya. Legasinya yang sampai pada generasi muda berbentuk amalan-amalan atau ijazah bisa diamalkan para santri.

Selain dikenal sebagai kiai pesantren, Kiai Amin Sepuh juga merupakan salah ulama yang menganut ajaran tarekat Qadariyah wa Naqsyabandiyah. Bahkan, ia menjadi mursyid di jalan salik itu.

 
Kiai Amin Sepuh juga merupakan salah ulama yang menganut ajaran tarekat Qadariyah wa Naqsyabandiyah. Bahkan, ia menjadi mursyid di jalan salik itu.
 
 

Kiai Amin Sepuh telah memimpin dan membina Pondok Pesantren Babakan kurang lebih 56 tahun. Selama itu, sang alim selalu mengutamakan keikhlasan, ketekunan dan istikamah.

Hingga akhirnya, ia berpulang ke Rahmatullah dalam usia 84 tahun. Tokoh ini wafat pada 20 Mei 1972 M. Jenazahnya dikebumikan di Kompleks Pesarean, depan Masjid Raudlatut Thalibin.

Selama hidupnya, Kiai Amin Sepuh menikah tiga kali. Dari pernikahannya dengan Nyai Hj Shofiyah, ia dikaruniai 18 anak, tetapi yang hidup mendewasa “hanya” 11 orang.

Kemudian, ia menikah lagi dengan Nyai Hj Aliyah yang berasal dari Majalengka. Delapan anak lahir dari pernikahan itu. Selanjutnya, Kiai Amin menikah lagi dengan Nyai Hj Sujinah dan dikaruniai enam orang anak.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat