Santri melaksanakan apel sebelum pembentangan bendera Merah Putih di Pondok Pesantren Asshiddiqiyah, Kebon Jeruk, Jakarta, Jumat (22/10/2021). | Republika/Putra M. Akbar

Opini

Sintesis Model Pesantren

Perlu sintesis model pesantren sehingga menghasilkan model pesantren unggul dan modern sesuai perkembangan zaman.

MUHAMMAD SYAFI'IE EL-BANTANIE, Pendiri dan Pengasuh Ekselensia Tahfizh School Dompet Dhuafa

Berapa banyak pesantren yang dikelola dengan sistem manajemen mutu modern, semisal ISO 9001:2015? Setiap programnya dilisensi Standar Nasional Indonesia (SNI) dan keuangannya diaudit oleh kantor akuntan publik?

Di sisi lain, pesantren itu mempertahankan kesederhanaan, kemandirian, dan tradisi keilmuan model pesantren salafiyah.

Pada konteks inilah penting mendiskusikan sintesis model pesantren antara model pesantren salafiyah (tradisional) dan pesantren ‘ashiriyah (modern). Membenturkan kedua model ini dan mengeklaim salah satunya lebih baik bukanlah cara berpikir tepat.

Karena, keduanya memiliki kekuatan dan keterbatasan masing-masing. Model pesantren salafiyah, dikenal sejak zaman sebelum negara Indonesia lahir. Pesantren salafiyah turut memberikan kontribusi besar pada masa perjuangan kemerdekaan.

Di antara ciri khas pesantren salafiyah adalah kesederhanaan, kemandirian, dan kekuatan tradisi keilmuan turats (kitab kuning). Kesederhanaan tampak sekali dari bangunan pesantren. Tidak ada ruangan kelas khusus untuk belajar mengajar, apalagi laboratorium.

 
Di antara ciri khas pesantren salafiyah adalah kesederhanaan, kemandirian, dan kekuatan tradisi keilmuan turats (kitab kuning).
 
 

Kemandirian, dilihat dari makan sehari-hari. Santri harus memasak secara mandiri. Tidak ada iuran khusus yang dipungut pesantren. Umumnya, kiai pengasuh pesantren punya sawah dan ladang sebagai mata pencaharian. Pada musim tanam dan panen santri terlibat.

Selain itu, pesantren salafiyah juga terkenal dengan kekuatan tradisi keilmuan turats-nya. Kitab-kitab nahwu sharaf (tata bahasa Arab) mulai yang dasar, seperti Ajurumiyah sampai level tinggi, Alfiyah ibnu Malik, pasti dipelajari para santri.

Pola belajarnya urut. Mulai membaca dan menerjemahkan sampai meng-i’rab kedudukan kata per kata. Sehingga, santri menguasai tata bahasa Arab dengan baik. Dengan kemampuan ini, santri mengakses khazanah ilmu pengetahuan Islam di bawah bimbingan kiai.

Kelebihan model pesantren salafiyah di atas tidak ditemukan di pesantren ‘ashiriyah. Pembentukan mentalitas kesederhanaan dan kemandirian santri pesantren ‘ashiriyah, tidak sealami yang dilakukan pesantren salafiyah.

Selain itu, pesantren ‘ashiriyah juga biasanya lebih menekankan pada kemampuan berbicara dalam bahasa Arab dan bahasa Inggris. Pembelajaran dan penguasaan terhadap nahwu sharaf dan turats tidak sekuat pesantren salafiyah.

 
Namun, pesantren ‘ashiriyah memiliki keunggulan tata kelola kelembagaan, umumnya mengadaptasi sistem manajemen modern.
 
 

Namun, pesantren ‘ashiriyah memiliki keunggulan tata kelola kelembagaan, umumnya mengadaptasi sistem manajemen modern. Bahkan, sebagiannya sampai melakukan sertifikasi sistem manajemen mutu ISO 9001:2015.

Dengan begitu, pesantren berjalan by system, bukan semata by figure. Varian ilmu yang diajarkan juga bukan hanya ilmu agama, melainkan berkembang ke ilmu umum.

Perencanaan, proses, dan evaluasi pembelajaran mengadaptasi metodologi dan evaluasi pembelajaran modern. Demikian juga, sarana prasarana pembelajaran modern, seperti laboratorium, juga diadaptasi.  

Pertanyaan pentingnya, bagaimana menyintesiskan dua model pesantren ini sehingga menghasilkan model pesantren unggul dan modern sesuai perkembangan zaman, tetapi tidak lepas dari ciri khas keunggulan model pesantren salafiyah.

Pada proses sintesis model pesantren, setidaknya ada tiga ranah utama yang perlu dirancang dan diimplementasikan dengan baik. Pertama, kesederhanaan dan kemandirian model pesantren salafiyah penting dipertahankan.

Hanya, perlu dilakukan modifikasi proses pembentukannya pada diri santri. Perlu dirancang rekayasa proses pembinaan dengan output terinternalisasi nilai kesederhanaan dan kemandirian pada diri santri.

Kedua, mentalitas pemelajar dan penguasaan khazanah keilmuan turats juga harus dipertahankan. Bahkan, poin ini mesti menjadi keunggulan model sintesis pesantren. Maka itu, perlu rekayasa dan modifikasi kurikulum pesantren.

 
Pertanyaan pentingnya, bagaimana menyintesiskan dua model pesantren ini sehingga menghasilkan model pesantren unggul dan modern sesuai perkembangan zaman, tetapi tidak lepas dari ciri khas keunggulan model pesantren salafiyah.
 
 

Ketiga, tata kelola kelembagaan pesantren dengan mengadaptasi sistem manajemen mutu modern, seperti ISO 9001:2015. Tujuannya agar semua bisnis proses pesantren berjalan by system. Tidak hanya bergantung pada figur kiai pengasuh pesantren.

Sosok dan figur kiai pengasuh pesantren sangat penting, tetapi memastikan kelangsungan pesantren setelah wafatnya kiai, menjadi lebih penting lagi. Berapa banyak pesantren turun pamornya seiring wafatnya kiai pengasuhnya karena tidak ada kaderisasi.  

Dengan menggarap serius tiga ranah utama di atas diharapkan, pesantren menjadi lembaga pendidikan Islam yang mandiri, unggul, dan modern, serta mampu menjawab tantangan zaman. Para lulusan pesantren mampu berkiprah di berbagai sektor strategis kehidupan.

Meminjam istilah Gay Hendricks dan Kate Ludeman, dalam The Corporate Mystic, mereka itu para sufi corporate. Alumni pesantren menguasai khazanah keilmuan Islam, sekaligus kepemimpinan dan manajerial.

Kemudian, menginternalisasikan nilai-nilai Islam dalam ruang lingkup pekerjaan dan kepemimpinannya di berbagai sektor kehidupan. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat