
Khazanah
Muhammadiyah: Permendikbudristek Bermasalah
Menteri Dikbudristek Nadiem Makarim disarankan untuk mencabut peraturan ini.
JAKARTA – Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mengkritik Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) PP Muhammadiyah menilai, beleid itu mengandung persoalan dalam dua aspek sekaligus.
“Peraturan tersebut (Permendikbudristek No 30/2021) memiliki masalah formal dan materiel,” kata Ketua Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah Prof Lincolin Arsyad dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Senin (8/11).
Menurut dia, proses pembentukan regulasi itu tidak memenuhi asas keterbukaan publik. Sebab, pihak-pihak yang terkait dengan materi kebijakan tersebut tidak dilibatkan secara luas dan utuh. Kemendikbudristek terkesan kurang menyampaikan informasi tentang semua tahapan perancangan Permendikbudristek No 30/2021.
“Hal ini bertentangan dengan Pasal 5 huruf g UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” kata Lincolin.
Masih dalam aspek formal, regulasi yang dikeluarkan Menteri Nadiem A Makarim itu dinilai mengatur hal yang seharusnya diatur dalam level undang-undang, yakni norma pelanggaran seksual. Pasal 23 Permendikbudristek No 30/2021 juga dipandang berpotensi mengurangi otonomi perguruan tinggi.
Menurut beleid itu, pihak rektor diminta untuk membentuk satuan tugas (satgas) pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus. Peran pimpinan kampus dalam satgas tersebut menjadi pertanyaan karena terkesan bisa mengambil tugas polisi dalam penindakan terjadinya kekerasan seksual di perguruan tinggi.
View this post on Instagram
Dalam aspek materiil Permendikbudristek No 30/2021, sambung Lincolin, pihaknya menemukan sejumlah persoalan yang krusial. Di antara ialah rumusan norma kekerasan seksual, yang diatur dalam Pasal 5 peraturan tersebut. Menurut guru besar FEB UGM itu, pasal tersebut justru menimbulkan makna legalisasi perbuatan asusila dan seks bebas dengan dalih adanya persetujuan (consent) korban.
“Hal ini berimplikasi bahwa selama tidak ada pemaksaan, penyimpangan tersebut (perbuatan asusila dan seks bebas–Red) menjadi benar dan dibenarkan meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah,” katanya.
Berdasarkan temuan itu, Lincolin mengatakan, pihaknya merekomendasikan Permendikbudristek No 30/2021 agar dicabut sama sekali. Jikalau Kemendikbudristek tetap ingin mengatur penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di lingkungan kampus, kebijakan terkait itu harus dibuat secara lebih akomodatif terhadap publik. “Sebaiknya mencabut atau melakukan perubahan terhadap Permendikbudristek No 30/2021,” katanya.
Sebelumnya, Rektor Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta Prof Dr Purwo Santoso mengkritik adanya prakondisi consent dalam Permendikbudristek No 30/2021, yakni saat aturan itu menjelaskan tentang definisi kekerasan seksual. Menurutnya, logika yang dibangun dalam kebijakan Menteri Nadiem itu cenderung liberal sehingga menjadi kontroversial.
“Itu logika liberal, yang jadi acuan itu perasaan dipaksa dan tidak dipaksa. Consent, persetujuan,” ucap Purwo Santoso kepada Republika, Jumat (5/11).
Rektor Unusa Surabaya Prof Achmad Jazidie juga meminta peraturan menteri itu ditunda. Sebab, Rancangan Undang-Undang tentang Kekerasan Seksual masih menjadi pembahasan di DPR. “Khawatirnya nanti ada persoalan yuridisnya (cantolan hukumnya) dan atau konsiderans filosofisnya,” ujar dia, Jumat (5/11).
View this post on Instagram
Jamin hak warga
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Riset dan Teknologi Kemendikbudristek Prof Nizam mengatakan, tujuan utama Permendikbudristek No 30/2021 ialah memastikan hak setiap warga negara. Selain itu, kata dia, regulasi itu juga dibuat untuk merespons keresahan umum tentang meningkatnya kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus.
“Tujuan utama peraturan ini adalah memastikan terjaganya hak warga negara atas pendidikan, melalui pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi,” kata Nizam dalam keterangan tertulis, kemarin.
Ia mengeklaim, Permendikbudristek No 30/2021 tidak bermaksud melegalkan zina atau hubungan seks bebas. Menurut dia, definisi dan norma yang ada di dalam peraturan tersebut khusus untuk persoalan mencegah dan mengatasi kekerasan seksual.
“Tidak ada satu pun kata dalam Permendikbudristek PPKS ini yang menunjukkan bahwa Kemendikbudristek memperbolehkan perzinaan. Moral dan akhlak mulia menjadi tujuan utama pendidikan kita,” kata Nizam.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.