Mohamad Habibi, Ketua PCI-NU Korsel yang kini mahasiswa S-2 Kongju National University Chungcheongnam. | DOK IST

Hiwar

Dorong Syiar Islam di Negeri Ginseng

Mohamad Habibi mengatakan tantangan dakwah di Korea Selatan adalah islamofobia

Dakwah berarti menyeru, mengajak, dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada Allah SWT sesuai dengan akidah Islam. Dalil perihal itu terdapat dalam Alquran, misal surah Ali Imran ayat 104. Dalam Tafsir al-Misbah, Prof Quraish Shihab menjelaskan, kata minkum (“di antara kamu”) dalam ayat tersebut dapat dimaknai dengan arti ‘sebagian'.

Maka, perintah berdakwah tidak tertuju kepada setiap orang, melainkan sebagian kaum Muslimin. Kelompok demikian, dengan bekal keilmuan agama, seyogianya mampu mengimbau orang-orang untuk beriman, berbuat kebajikan, dan mencegah mereka dari berbuat kemungkaran.

Sebagai sebuah organisasi masyarakat (ormas) Islam terbesar, Nahdlatul Ulama (NU) telah dan akan selalu menggiatkan dakwah. Cakupannya tidak hanya di Indonesia, tetapi juga dunia internasional, terutama melalui segenap pengurus cabang istimewa (PCI) NU pada masing-masing negara.

Menurut Mohamad Habibi, kalangan Nahdliyin pun aktif menjalankan dakwah di Korea Selatan (Korsel). Ketua PCINU Korsel itu menuturkan, ada pelbagai tantangan dalam mendorong syiar Islam di Negeri Gingseng. Terlebih lagi, penerimaan masyarakat setempat terhadap agama tauhid terasa cukup signifikan belakangan ini.

“Banyak juga orang Korea yang mulai memeluk Islam atau menjadi mualaf,” kata alumnus Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur, itu.

Apa saja tantangan berdakwah di Korsel? Bagaimana peran Muslim Indonesia, termasuk kaum NU di sana? Berikut wawancara lengkap wartawan Republika, Muhyiddin, beberapa waktu lalu dengan peraih gelar master dari Fakultas Biologi UGM Yogyakarta itu.

Dalam pengamatan Anda, bagaimana syiar Islam di Korea Selatan (Korsel)?

Perkembangan Islam di Korsel sekarang meningkat cukup pesat. Tidak hanya warga Muslim dari luar yang datang ke Korea. Banyak juga orang Korea yang mulai memeluk Islam atau menjadi mualaf. Sebab, di sini banyak juga yang melakukan mixed marriage. Misalnya, orang Korea menikah dengan Muslimah asal Indonesia. Atau sebaliknya, perempuan Korea menikah dengan Muslim Indonesia.

Apa saja indikator peningkatan dakwah di Negeri Gingseng?

Indikator yang pertama ialah maraknya masjid di Korea Selatan. Sekarang, ada banyak sekali. Masjid yang dibangun orang Indonesia di Koresel saja ada sekitar 90 unit. Itu belum lagi masjid-masjid yang dibangun umat Islam dari berbagai negara, semisal Bangladesh, Pakistan, atau negara-negara kawasan Timur Tengah.

Ada peran orang Indonesia juga dalam menghidupkan Islam di Korsel?

Teman-teman Muslim Indonesia di sini mayoritasnya adalah pekerja migran Indonesia (PMI). Karena sangat ingin beribadah, mereka bahkan sampai iuran untuk menyewa ruko. Bangunan itu kemudian diubahnya menjadi masjid. Bahkan, sudah ada beberapa ruko yang dibeli oleh mereka secara permanen.

Mereka biasanya berkumpul di masjid tiap hari Sabtu dan Ahad. Sebab, Senin sampai Jumat mereka harus bekerja. Adapun yang mahasiswa, kuliah. Jadi, saat kumpul bareng di akhir pekan itu. Di masjid, mereka melakukan sejumlah amaliah, seperti tahlilan, yasinan, dan barzanji. Sehabis itu, biasanya ada kegiatan lain, semisal masak dan makan bersama.

Bagaimana interaksi para perantau Indonesia dengan sesama Muslimin yang beda negara asal di Korsel?

Umat Islam dari berbagai negara itu biasanya berkumpul di masjid permanen di daerah Ansan, Korsel. Ansan itu memang daerah yang terkenal dengan banyaknya warga negara asing. Masjid Ansan itu menjadi pusat ibadah kaum Muslimin dari berbagai negara. Bahkan, imam masjid itu berasal dari beberapa negara, termasuk Indonesia, Bangladesh, dan Pakistan

Jadi, interaksi yang akrab terus terjalin, seperti di Masjid Ansan itu. Kalau dengan sesama warga Indonesia, sebenarnya kumpul-kumpul seperti itu saja sudah cukup mengobati rasa rindu (terhadap Tanah Air –Red). Kegiatan kumpul-kumpul di masjid juga bisa membentengi mereka dari gaya hidup yang menghambur-hamburkan uang.

photo
Ketua Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCI-NU) Korea Selatan, Mohamad Habibi - (DOK IST)

Bagaimana orang Korsel pada umumnya memaknai agama, menurut penilaian Anda?

Kebanyakan orang Korea itu tidak memercayai adanya Tuhan. Dengan kata lain, agnostik. Alasan utamanya, mereka itu lebih percaya fakta empiris atau logika ilmu pengetahuan.

Awalnya, saya juga berpikir bahwa Konghucu itu agama bagi banyak orang Korea. Namun, ternyata Konghucu di sini dipandang bukan sebagai sebuah agama, tapi lebih sebagai nilai-nilai hidup. Jadi, ajaran itu diperkenalkan mulai dari sekolah dasar sampai SMA.

Karena itu, bagi orang Korsel yang melakukan mixed marriage dengan orang Islam, sebelum menikah ia harus memeluk agama Islam terlebih dahulu. Nah, dengan banyaknya mixed marriage ini, perkembangan Islam pun menjadi sangat pesat.

Dalam kaitannya dengan itu, kami Nahdliyin di Korsel berupaya mencari cara, kira-kira dakwah yang pas seperti apa, yakni melalui kebudayaan setempat. Kebetulan, saya baru mendapatkan amanah sebagai ketua //tanfidziyah// Pengurus Cabang Istimewa Nahlatul Ulama (PCINU) Korsel. Jadi, kami masih formulasikan bersama, kira-kira dakwah seperti apa yang menarik bagi umumnya orang Korea.

Pandangan umumnya orang Korsel terhadap Islam?

Korsel itu pada awalnya banyak sekali dibantu Amerika Serikat (AS). Sebab, dahulu sekitar tahun 1950-1953 terjadi perang saudara, antara Korsel dan Korea Utara. Korut dibantu dengan negara-negara besar komunis, yaitu Uni Soviet (Rusia) dan Cina. Karena itu, biasanya orang Korsel akan mengikuti apa-apa yang orang Amerika lakukan.

Sementara, kita mengetahui bahwa selama ini Amerika-lah yang kerap mengembuskan yang namanya Islamofobia. Maka, secara otomatis orang Korsep juga seperti itu, pandangannya terhadap umat Islam.

Adakah Islamofobia menggejala di negara ini?

Buktinya, belakangan ini saya diksusi cukup intens dengan teman-teman mahasiswa Korea. Mereka menyatakan, sebagian besar orang Korea itu masih memandang, Islam itu menakutkan, dianggap teroris dan lain-lain.

Dari situlah kemudian saya memberikan penjelasan kepada mereka. Umat Islam tidak semuanya seperti yang distigmakan itu. Saya bilang kepada mereka, Indonesia—contohnya. Di sana, Muslimin bisa hidup berdampingan dengan banyak umat agama lain. Tidak ada kekerasan, bom-boman, dan lain sebagainya. Akhirnya, mereka pun mengetahui bahwa di dalam umat Islam pun ada macam-macam golongan.

Apakah adanya Islamofobia di sana menjadi tantangan tersendiri bagi dakwah?

Islamofobia di Korsel memang masih kencang. Dan itu tentu menjadi tantangan tersendiri bagi dakwah Islam di sini. Karena itu, kami dari PCINU mau mengubah mindset mereka yang masih fobia itu. Misalnya, dengan cara menunjukkan akhlak kita.

Kita berada di luar negeri. Kemudian, kita Muslimin juga menjadi golongan minoritas di sini. Tentu, pendekatannya (dalam berdakwah –Red) menjadi berbeda jauh dengan saat kita berada di Indonesia. Nah, yang dilihat orang Korea pertama kali itu sebenarnya bukan ibadah kita; bukan shalat atau puasa kita. Namun, yang diamati mereka ialah bagaimana kita bersikap. Karena itu, akhlak menjadi sesuatu yang sangat penting.

Selama pandemi Covid-19, masjid-masjid yang dibangun orang Indonesia di Korsel juga selalu koperatif dengan pihak kepolisian. Alhamdulillah, sampai saat ini belum ada kasus positif Covid-19 yang penularannya dari masjid-masjid Indonesia.

Bagaimana Anda melihat toleransi beragama di Korsel?

Bagi orang Korea, sebenarnya masalah agama tidak terlalu menjadi perhatian. Jadi, kalau teman-teman mau shalat di tempat kerja, ya dipersilakan. Yang penting, tidak menganggu pekerjaan. Kalau teman-teman saya yang kuliah atau praktikum, mau shalat juga dipersilakan. Setelah selesai, kemudian kembali lagi ke kelas atau laboratorium. Jadi, dalam konteks itu masih ada toleransi dalam beragama.

Memang, secara umum hampir 80 persen tidak ada masalah dalam hal beribadah. Adapun yang—katakanlah—20 persennya itu karena ada beberapa atasan yang mempermasalahkan teman-teman untuk shalat. Hal itu terjadi karena terkadang teman-teman sendiri yang sering memanfaatkan momentum shalat itu untuk bersantai. Padahal, waktu shalat sebenarnya hanya membutuhkan ya kira-kira lima atau 10 menit.

Karena itu, saya sering mengingatkan kepada teman-teman untuk selalu menjaga integritas. Kita tunjukkan bahwa kita profesional. Shalat tidak menjadi penghalang kita untuk tetap produktif. Justru, shalat itu merupakan pengingat waktu bagi kita untuk disiplin, profesional, dan produktif.

Apa saja tantangan bagi seorang Muslim yang mau tinggal di Korsel menurut Anda?

Tantangannya yang jelas di Korea Selatan adalah melawan islamofobia itu tadi, terutama bagi teman-teman Muslimah yang berhijab. Sebab, saat memakai hijab di musim panas, misalnya, teman-teman pasti menjadi pusat perhatian. Namun, kita mencoba pelan-pelan untuk memberikan penjelasan kepada orang Korea soal itu.

Kita perlu memberikan penjelasan yang rasional kepada mereka. Sebab, dasar pemikiran mereka adalah rasional. Misalnya, mengapa umat Islam tidak memakan daging babi? Mengapa tidak meminum alkohol? Kita mencoba menjelaskan itu semua dengan pelan-pelan.

 

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by PCINU Korea Selatan (pcinukoreaselatan)

Mengenal Nakhoda Baru PCINU Korsel

Baru-baru ini, Mohamad Habibi terpilih menjadi ketua Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Korea Selatan (Korsel) untuk periode 2021-2023. Mahasiswa S-2 Kongju National University Chungcheongnam itu mengatakan, dirinya akan meneruskan dan memperkuat kerja-kerja yang telah dilakukan oleh pengurus sebelumnya. Di antaranya ialah meneguhkan peran NU dalam syiar Islam di Negeri Gingseng.

Misalnya, pengajian keliling pada Sabtu dan Ahad. Habibi menuturkan, dalam program tersebut para aktivis NU akan menyambangi sejumlah masjid tiap akhir pekan untuk mengadakan kajian kitab-kitab kuning yang standar. Di samping itu, PCINU Korsel juga siap menjembatani komunikasi antara pihak Kedutaan Besar RI dan para pekerja migran Indonesia (PMI) di sana. Untuk diketahui, unsur terbanyak warga Indonesia yang merantau di Korsel ialah PMI.

“Di sini juga berperan melalui NU Peduli atau Lazis NU, yang dengannya kita bisa memberikan bantuan atau santunan kepada mereka yang membutuhkan. Misal, ketika ada warga Indonesia yang wafat di Korsel, kita juga berusaha membantu mengurus pemulangan jenazahnya ke Tanah Air,” ujar M Habibi kepada Republika beberapa waktu lalu.

Keaktifannya di NU merupakan wujud impiannya untuk menjadi santri yang akademisi sekaligus akademisi yang santri. Sejak masih belia, dirinya sudah akrab dengan dunia kaum sarungan. Ia pernah nyantri di Pondok Pesantren Assunniyah Jember, Pesantren al-Falah Ploso Kediri, dan Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo. Pada 2007, Habibi dinobatkan sebagai Santri Teladan di sana. Setahun kemudian, ia meneruskan studi ke Universitas Negeri Malang dengan jurusan Ilmu Biologi.

Sukses meraih titel sarjana, perjalanan akademiknya dilanjutkan ke Fakultas Biologi Universitas Gajah Mada. Gelar //master of science// pun berhasil didapatkannya. Sejak 2016 sampai sekarang, ia berprofesi sebagai peneliti pada Balai Konservasi Borobudur, salah satu Unit Pelaksana Teknis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Untuk menambah wawasan dalam bidang riset, Habibi pun menempuh studi S-2 ilmu konservasi warisan kultural di Kongju National University. Statusnya sebagai salah satu penerima beasiswa Global Korea Scholarship (GKS) dari Pemerintah Korsel.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat