ILUSTRASI Manuskrip dari abad pertengahan yang menunjukkan sosok Alp Arslan. Sultan Bani Seljuk itu berhasil memulihkan kekuasaan Suni di Abbasiyah. | DOK WIKIPEDIA

Tema Utama

Alp Arslan: Sang Singa Pemberani

Alp Arslan merupakan putra bangsawan Turki Oghuz dari Bani Seljuk.

OLEH HASANUL RIZQA 

Sejak pertengahan abad kedelapan, Bani Abbasiyah memperluas wilayah Islam hingga ke Asia Tengah. Memasuki abad ke-10, suku-suku nomaden yang menghuni kawasan tersebut mulai menerima syiar agama tauhid. Di antara bangsa-bangsa setempat ialah Turki.

Nama Turki tidak identik dengan negara yang sekarang beribu kota di Ankara. Sebutan demikian merujuk pada sekelompok bangsa yang bernenek moyang suku-suku Turkic atau Turks, penghuni stepa Asia Tengah. Konon, mereka berasal dari Pegunungan Altai yang membentang sepanjang 2.000 kilometer (km) di perbatasan empat negara modern: Mongolia, Republik Rakyat Cina (RRC), Kazakhstan, dan Rusia.

Suku bangsa Turki pada masa itu tidak hanya mengalami islamisasi, tetapi juga mobilitas sosial. Awalnya, mereka didatangkan ke Baghdad dengan status tawanan perang atau budak belian. Lambat laun, kalangan bangsawan Arab mengakui kecakapan orang-orang Turki sebagai pengawal pribadi atau prajurit. Tidak sedikit dari mereka menempuh pelatihan kemiliteran. Bahkan, di kemudian hari—terutama sejak era Khalifah al-Mu’tashim Billah—sejumlah perwira Abbasiyah yang berdarah Turki muncul ke permukaan.

Tidak hanya menempati berbagai kedudukan penting. Pada akhirnya, beberapa panglima Turki turut campur dalam urusan politik pemerintahan. Sementara itu, para khalifah Arab dari periode ke periode cenderung lemah atau tidak memiliki jiwa pemimpin. Maka, sering kali istana Abbasiyah diisi konflik politik antara orang-orang Turki di satu sisi dan Persia di sisi lain.

Sejak pertengahan hingga akhir abad kesembilan, orang-orang Turki tampak begitu mendominasi perpolitikan kekhalifahan. Hal itu dimulai ketika ibu kota Abbasiyah berpindah dari Baghdad ke Samarra pada 836 M. Kaum sejarawan menamakan periode antara tahun 861 dan 870 M itu sebagai “Anarki di Samarra.” Sebab, pada waktu itu kubu-kubu militer Turki mengontrol para khalifah untuk tujuan politisnya masing-masing. Mulai dari Khalifah al-Muntasir, al-Musta’in, al-Mu’tazz, hingga al-Muhtadi, semuanya hanyalah “boneka”, sedangkan para jenderal Turki menjadi dalangnya.

Berbeda dengan sebelumnya, sejak pertengahan abad ke-10 pengaruh Turki kian surut di jantung kekuasaan Abbasiyah. Pada 940 M, Kota Samarra mulai ditinggalkan sama sekali. Baghdad pun kembali dikukuhkan menjadi ibu kota kekhalifahan.

Antara tahun 945 dan 1055 M, Daulah Abbasiyah berada di tangan Bani Buwaihi. Kaum ini berhaluan Syiah sehingga vis-à-vis terhadap ahlus sunnah waljama’ah (aswaja), termasuk orang-orang Turki. Bagaimanapun, nasib para khalifah tidak banyak berubah. Kalau dahulu dikendalikan oleh para jenderal Turki, kini mereka adalah “boneka” bagi sebuah dinasti bermazhab Syiah yang berpusat di Shiraz, Iran.

Bani Seljuk

Bersamaan dengan perebutan kekuasaan oleh kaum Buawihi, perubahan geopolitik terjadi di pesisir timur Laut Kaspia, Asia Tengah. Daerah tersebut dihuni suku bangsa Turki Oghuz. Mereka terdiri atas banyak klan. Yang terkemuka di antaranya ialah Qiniq.

Sejak medio abad ke-10, kelompok etnis Qiniq berhasil menyatukan orang-orang Turki Oghuz setempat. Pada 1037 M, seorang lelaki yang visioner memimpin mereka. Dialah Abu Thalib Muhammad Tughril.

Tokoh kelahiran tahun 990 M itu tidak hanya menjadi gubernur (bey) untuk kawasan Asia Tengah barat. Sebagai seorang komandan militer, Tughril bersama saudaranya, Abu Sulaiman Dawud Chagri, sukses memimpin pasukan untuk merebut kembali Baghdad dari tangan Bani Buwaihi pada 1055 M. Sejak saat itu, orang-orang Syiah tidak lagi menguasai jantung pemerintahan Abbasiyah. Kekhalifahan pun kembali ke tangan Sunni.

Kemenangannya mengawali berdirinya Bani Seljuk. Secara de jure, Dinasti Seljuk adalah negara vasal terhadap Kekhalifahan Abbasiyah. Akan tetapi, posisi politik para khalifah di Baghdad secara de facto pada masa itu tidak berdaya. Kalau masih berpengaruh, raja-raja Abbasiyah hanya menguasai sekitaran Ibu Kota.

Dengan demikian, Bani Seljuk pada faktanya lebih berkuasa ketimbang Baghdad. Tatkala Tughril Bey memerintah, pusat kekuasaannya berpindah-pindah, yakni dari Kota Nishapur (1037-1043), Ray (1043-1051), hingga Isfahan (1051-1118). Pemimpin dari wangsa Turki Oghuz itu tutup usia pada 1062.

Raja Seljuk berikutnya merupakan keponakannya sendiri, yakni Muhammad. Putra dari Dawud Chagri itu naik takhta sejak 4 September 1063 M. Gelarnya adalah Alib Arselan atau Alp Arslan, yang berarti ‘Singa Pemberani.’ Seperti pamannya, ia merupakan seorang pemimpin yang bijaksana dan sekaligus komandan militer yang jenius di lapangan.

Di bawah komandonya, satu per satu wilayah yang sebelumnya dicaplok kerajaan-kerajaan Kristen, seperti Armenia dan Romawi Timur (Bizantium), kembali ke pangkuan daulah Muslim. Selama tujuh tahun, Alp Arslan berupaya menegakkan panji-panji Islam di tengah ancaman Salibis dari barat dan Mongol dari Timur. Selain itu, dirinya pun menghadapi tantangan dari sisa-sisa kekuatan Syiah, khususnya yang terkonsentrasi di Mesir, yakni Dinasti Fathimiyah.

Mewarisi spirit Tughril Bey, misinya ialah menyatukan dunia Islam di bawah bendera Kekhalifahan Abbasiyah yang Sunni. Pada 1070-an, ekspedisi militer dilakukannya ke arah barat. Pertama-tama, Alp Arslan menarget daerah-daerah yang dikuasai Fathimiyah, termasuk Syam serta tiga tanah suci: Baitul Makdis, Makkah, dan Madinah.

Sang Singa Pemberani memimpin pasukan ke Syam. Tujuannya ialah mengepung Halab (Aleppo). Sejak 1024 hingga saat itu, kota tersebut dikuasai Bani Mirdasiy. Mereka berasal dari bangsa Arab, tetapi negerinya sering kali menjadi bawahan Bizantium atau Fathimiyah.

Alp Arslan mendesak raja Mahmud untuk tidak lagi tunduk pada Fathimiyah, apalagi Bizantium. Penguasa Bani Mirdasiy itu diimbaunya untuk mengakui Kekhalifahan Abbasiyah sebagai satu-satunya pusat dunia Islam. Desakan itu berhasil sehingga memuluskan jalan bagi pasukan Seljuk untuk menguasai seluruh Syam.

Alp Arslan mengirim komandan perangnya yang bernama Atansaz bin Auq al-Khawarizmi. Satu per satu, kota-kota penting di pesisir timur Mediterania berhasil dikuasai. Bahkan, Baitul Makdis akhirnya dapat direbut dari tangan penguasa Syiah. Untuk dapat merangsek hingga ke Mesir, pasukan Seljuk hanya perlu menaklukkan Asqalan, tetapi kota tersebut memiliki benteng yang sangat sukar ditembus.

Karena itu, Alp Arslan mengalihkan perhatiannya pada dua tanah suci yang tersisa. Sebelum pasukannya sampai ke Hijaz, datanglah sejumlah utusan kepadanya dari pemerintah Makkah. Delegasi yang dipimpin Muhammad bin Abu Hasyim itu menyampaikan, penyebutan nama raja Wangsa Fathimiyah kini sudah ditinggalkan dalam mimbar-mimbar khutbah. Sebagai gantinya, para imam Masjidil Haram maupun masjid-masjid lain di kota tersebut menyebutkan nama khalifah Abbasiyah dan sultan Seljuk dalam doa-doa mereka.

Hal itu berarti, kota kelahiran Nabi Muhammad SAW itu telah berlepas diri dari pengaruh Fathimiyah. Alp Arslan gembira mendengar kabar tersebut. Kepada Ibnu Abu Hasyim dan rombongan, dirinya memberikan hadiah sebanyak 30 ribu dinar.

“Jika penguasa Madinah melakukan hal yang sama (tidak lagi tunduk pada Fathimiyah), maka akan kami beri ia hadiah sebanyak 20 ribu dinar,” kata pemimpin Seljuk itu, seperti dinukil Dr Ali Muhammad ash-Shalabi dalam Ad-Daulah al-‘Utsmaniyyah (2003). Dan benar saja. Tak perlu menunggu lama, Kota Nabi mengumumkan tunduk pada Abbasiyah.

Melawan Bizantium

photo
Peta yang menunjukkan jalannya Pertempuran Manzikert pada 1071 M. Garis hijau merujuk pada rute yang dilalui Sultan Alp Arslan. - (DOK WIKIPEDIA)

Telah disebutkan di atas bahwa nama Turki pada zaman Abbasiyah merujuk pada sebuah suku nomaden yang berasal dari Asia Tengah; mereka mengalami islamisasi dan pada akhirnya berperan signifikan dalam sejarah kekhalifahan tersebut. Hal itu berbeda dengan penyebutannya pada masa sekarang, yakni Turki sebagai sebuah negara republik di Asia Barat dan sebagian (kecil) Balkan Eropa.

Dahulu, daerah semenanjung yang kini berdiri Republik Turki disebut sebagai Anatolia. Secara etimologi, nama anatolia berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‘tempat matahari terbit’ atau ‘timur.’ Kawasan yang sama mulai dinamakan turki oleh bangsa Eropa sejak abad ke-14 M.

Tepatnya pada 1369 M, yakni tahun terbitnya karya Geoffrey Chaucer, The Book of the Duchess. Dalam bukunya itu, penyair Inggris tersebut menggunakan kata Turkye untuk mendeskripsikan Anatolia yang saat itu berada di bawah kekuasaan Muslimin.  

Pengidentikan Anatolia sebagai ‘Tanah bangsa Turki’ dimulai seiring dengan kukuhnya dominasi orang-orang Turki-Muslim di sana. Dan, tonggak awal dari penguasaan tersebut ialah Perang Manzikert. Dalam pertempuran tersebut, panji-panji Islam dikibarkan oleh pasukan yang dipimpin Alp Arslan. Adapun lawannya ialah balatentara raja Bizantium saat itu, Kaisar Romanus IV.

Palagan itu pecah pada 26 Agustus 1071 M di Lembah Manzikert atau disebut pula Malazgirt, kini termasuk Provinsi Mus, Republik Turki. Pemicu konflik ini adalah agitasi yang dilakukan Bizantium terhadap wilayah Muslimin.

Sebelumnya, pada 1068 Kaisar Romanus menugaskan seorang jenderalnya, Manuel Komnenos, untuk merebut Konya (Iconium) dari tangan Seljuk. Misi ini nyaris berhasil, tetapi pasukan Seljuk di bawah arahan Alp Arslan dapat bertahan. Bahkan, Komnenos menjadi tawanan.

Walaupun unggul di lapangan pertempuran, para jenderal Seljuk memilih untuk berdamai dengan Bizantium. Sebab, target utama Alp Arslan saat itu hanyalah Dinasti Fathimiyah. Sang pemimpin Muslim Sunni enggan terdistraksi hal-hal lain.

Perjanjian damai pun disepakati pada 1069. Namun, sekira dua tahun kemudian, Romanus justru mengumpulkan pasukan dalam jumlah besar, tidak kurang dari 100 ribu orang. Tujuannya ialah menyerbu Armenia dan merebut kembali wilayah bekas kerajaan Kristen tersebut yang saat itu dikuasai Bani Seljuk.

Begitu mendengar kabar penyerbuan tersebut, Alp Arslan lekas bertindak. Dengan persiapan secukupnya, ia berangkat ke arah utara untuk berupaya mencegat pasukan Bizantium. Romawi. Pasukan yang dibawanya hanya berjumlah 15 ribu orang dari kelompok penunggang kuda. Itu pun didapatkannya di dalam perjalanan.

Di Manzikert, sisi barat Armenia, kedua belah kubu saling berhadapan. Pada musim semi tahun 1071, perang pun dimulai. Sebelum bertempur, Alp Arslan berpidato di hadapan pasukannya, ''Saya berjuang hanya untuk mengharapkan ridha Allah SWT, dan dengan penuh kesabaran. Kalau saya menang, itu merupakan suatu nikmat dari-Nya. Seandainya saya mati syahid, putraku, Malik Shah, yang akan menggantikanku.”

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat