Aktivis yang tergabung dalam Gerak Perempuan menggelar aksi damai di depan kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Senin (10/2/2020). Mereka meminta Kemendikbud untuk menindak tegas pelaku kekerasan seksual dalam dunia pendidikan khususnya | SIGID KURNIAWAN/ANTARA FOTO

Tajuk

Dengarkan Aspirasi Publik

Mendikbudristek tentu harus mendengarkan aspirasi publik terkait Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi menuai kritik dan penolakan.

Majelis Ormas Islam (MOI), yang beranggotakan 13 ormas Islam menilai beleid, yang diundangkan pada 3 September 2021 itu secara tidak langsung telah melegalisasikan perzinaan dan akan mengubah serta merusak standar nilai moral mahasiswa di kampus.

Menurut MOI, permendikbudristek itu tak hanya  berpotensi melegalkan dan memfasilitasi perbuatan zina, tapi juga dan perilaku penyimpangan LGBT, yang  bertentangan dengan Pancasila dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Ketua Presidium MOI, KH Nazar Haris dalam pernyataan sikapnya menyatakan, permendikbudristek ini mengadopsi draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS), yang telah ditolak masyarakat luas di DPR periode 2014-2019.

Sejatinya, MOI mendukung segala upaya penghilangan dampak negatif dari aktivitas seksual, tapi dengan cara yang lebih komprehensif sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Sehingga, frasa ‘Kekerasan Seksual’ dapat diganti dengan ‘Kejahatan Seksual’, yang lebih kompatibel dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan mencakup berbagai bentuk perzinaan yang telah dilarang agama, sebagai wujud berketuhanan Yang Maha Esa dan berkemanusiaan yang adil dan beradab.

 
Menurut MOI, permendikbudristek itu tak hanya  berpotensi melegalkan dan memfasilitasi perbuatan zina, tapi juga dan perilaku penyimpangan LGBT, yang  bertentangan dengan Pancasila dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
 
 

Atas pertimbangan itulah, MOI meminta mendikbudristek untuk mencabut permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 itu agar digantikan dengan aturan baru, yang sejalan dengan jiwa dan nilai-nilai Pancasila. MOI mendesak agar pembahasan aturan yang baru nanti melibatkan organisasi keagamaan, yang juga menjadi stakeholder dalam pengelolaan pendidikan tinggi di Indonesia, agar setiap peraturan yang keluar dapat berlaku efektif karena telah sesuai dengan norma-norma masyarakat Indonesia yang ber-Pancasila.

Dalam pandangan pengamat Pendidikan Islam Jejen Musfah, ambiguitas frasa ‘tanpa persetujuan korban’ yang tercantum dalam Pasal 5 ayat 2 menjadi biang munculnya penolakan dan kritik publik terhadap permendikbudristek itu. Frasa ‘tanpa persetujuan korban’, menurut Jejen, seolah-olah membolehkan hubungan seks di lingkungan kampus jika keduanya sama-sama suka.

Dalam Pasal 5 ayat 2 butir l Permendikbudristek itu, yang dimaksud dengan kekerasan seksual itu, misalnya,  “menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban”. 

Frasa “tanpa persetujuan korban” muncul dalam beberapa butir bentuk kekerasan seksual.  Frasa itulah yang dinilai berbagai kalangan sebagai bentuk legalisasi perzinaan.

 Munculnya kritik dan penolakan dari publik terhadap sebuah aturan, menandakan rendahnya keterlibatan masyarakat dalam proses penyusunan kebijakan. Sudah seharusnya, berbagai elemen dilibatkan dalam penyusunan sebuah kebijakan publik. Keterlibatan berbagai pihak dalam proses penyusunan sebuah aturan, akan meminimalisasi munculnya penolakan publik.

 
Kemendikbudristek bisa mengundang ormas Islam dan ormas keagamaan lain untuk turut mengkaji aturan tersebut. 
 
 

Sebelum diundangkan, sudah seharusnya pula kebijakan itu diujipublikkan. Kemendikbudristek bisa mengundang ormas Islam dan ormas keagamaan lain untuk turut mengkaji aturan tersebut. Bagaimanapun, Indonesia itu adalah negara “berketuhanan Yang Maha Esa”, yang melibatkan para tokoh agama dalam proses penyusunan aturan yang terkait dengan moral bangsa.

Sebuah aturan sudah seharusnya disusun secara matang. Setiap kata dan frasa yang tercantum dalam sebuah kebijakan publik memiliki dampak yang besar. Penolakan terhadap aturan yang ditetapkan pemerintah pada beberapa waktu lalu, seharusnya menjadi pelajaran penting. Minimnya pelibatan publik atau stakeholder dalam penyusunan aturan kerap melahirkan penolakan.

Mendikbudristek tentu harus mendengarkan aspirasi publik terkait Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 itu. Berbagai kekurangan yang termuat dalam aturan itu hendaknya diperbaiki. Kritik dan penolakan publik harus diterima sebagai bentuk kecintaan masyarakat terhadap negara dan bangsa.  

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat