ILUSTRASI Gambar kaligrafi Nabi Muhammad SAW. Biografi tentang Rasulullah SAW disebut sebagai Sirah Nabawiyah. | dok piqsels

Tema Utama

Sejarah Sirah Nabi

Biografi Rasulullah SAW mulai bermunculan sejak abad pertama Hijriyah.

OLEH HASANUL RIZQA

Penulisan biografi Nabi Muhammad SAW mengemuka pada abad pertama Hijriyah. Banyak ulama berkhidmat pada disiplin Sirah Nabawiyah. Mendekati era modern, upaya memahami kehidupan Nabi sempat terdistori para pembenci.

Mulanya Penulisan Sirah

 

 

 

Nabi Muhammad SAW merupakan sosok panutan yang paling paripurna. Dalam dirinya, terdapat teladan yang utama bagi seluruh umat manusia. “Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah” (QS al-Ahzab: 21).

Untuk bisa meniru pribadi Nabi SAW, seseorang tidak mungkin mengabaikan riwayat hidupnya. Sejak lebih dari 14 abad silam, kalangan rawi dan sarjana Muslim telah berupaya memotret kehidupan beliau, baik pada masa sebelum maupun ketika menjadi utusan Allah. Tulisan mereka menjadi legasi yang sangat berharga untuk dibaca dari generasi ke generasi.

Penulisan sejarah Rasulullah SAW dikenal sebagai Sirah Nabawiyah. Sejak abad pertama Hijriyah, para penulis Muslim mulai mengumpulkan laporan-laporan historis (akhbar) mengenai babak-babak kehidupan sang pembawa risalah Islam. Hal itu kian berjalan seiring dengan pembukuan Alquran dan kemudian hadis.

Sirah berasal dari kata sara, yang berarti ‘perjalanan.’ Maka dari itu, Sirah Nabawiyah berarti perjalanan kehidupan Nabi Muhammad SAW, yakni sejak kelahiran hingga wafatnya. Terminologi itu diperkenalkan pertama kali oleh Ibnu Syihab az-Zuhri (wafat 124 H), seorang ulama Madinah yang pakar ilmu hadis. Berpuluh tahun kemudian, Ibnu Hisyam al-Bashri (wafat 218 H) melalui karya-karyanya memopulerkan istilah tersebut.

Sebelum dipandang sebagai sebuah disiplin keilmuan, Sirah Nabawiyah tidak lepas dari studi hadis. Pada abad pertama Hijriyah, cukup banyak ahli sunah yang secara khusus mengumpulkan hadis-hadis terkait babak-babak dalam kehidupan al-Musthafa. Di antara mereka ialah ‘Urwah bin Zubair (wafat 94 H), Wahab bin Munabbih (wafat 105 H), dan Ibnu Syihab az-Zuhri. Selain itu, ada Musa bin Uqbah dan Muhammad bin Ishaq alias Ibnu Ishaq (wafat 150 H).

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (republikaonline)

‘Urwah mulanya ditanya oleh beberapa khalifah Dinasti Umayyah saat itu, semisal Abdul Malik bin Marwan dan al-Walid I. Keduanya menanyakan tentang beberapa peristiwa yang pernah terjadi pada masa Nabi SAW.

Sang ahli hadis menjawab surat mereka dalam bentuk narasi formal, bukan penceritaan selayaknya teks biografi. Sebab, para raja Umayyah itu diketahui lebih menyukai tulisan ringkas, bukan naskah panjang.

Sementara itu, Wahab mengoleksi hadis-hadis Rasulullah SAW, termasuk yang berkenaan dengan beberapa peristiwa penting pada zaman beliau. Bagaimanapun, konsen ulama keturunan Persia itu cenderung tidak berfokus pada Sirah Nabawiyah saja.

Ia menulis Qisas al-Anbiya (Kisah-kisah para nabi). Seperti tampak pada judulnya, kitab itu mengulas gambaran singkat para utusan Allah Ta’ala, tidak hanya Nabi Muhammad SAW. Wahab pun dikenal sebagai seorang cendekia yang fasih mengutip kisah-kisah Bani Israil (Israiliyat).

Adapun Ibnu Syihab az-Zuhri merupakan pioner sirah. Dengan genre tulisan itu, ia menghimpun hadis-hadis yang berkenaan dengan kehidupan Rasulullah SAW. Para muridnya—yang di kemudian hari dikenal sebagai peletak dasar disiplin Sirah Nabawiyah—sering kali mengambil az-Zuhri sebagai sumber rujukan utama. Dalam hal ini, ulama yang tumbuh besar di Madinah itu memiliki dua orang murid yang brilian, yakni Musa bin Uqbah dan Ibnu Ishaq.

Musa menulis Kitab al-Maghazi. Para sejarawan modern mengakui karya itu sebagai rintisan awal tradisi penulisan Sirah Nabawiyah. Kata maghazi berasal dari ghaza yang berarti ‘perang’ atau ‘ekspedisi militer.’

Alhasil, karya Ibnu Uqbah itu berisikan riwayat peperangan yang pernah diikuti atau dipimpin Rasulullah SAW. Metode penulisan maghazi dan juga sirah sebenarnya mirip seperti pada ilmu hadis. Dalam arti, para penulisnya sangat hati-hati dalam memilah dan memilih sanad, matan, serta rawi. Dengan begitu, keautentikan sumber dapat dipastikan.

Historiografi perang pada masa Nabi SAW tidak berarti penyebaran dakwah Islam ketika itu dimotori kekerasan. Ajaran Islam membolehkan berperang dengan alasan defensif, yakni mempertahankan diri dari serangan musuh. Oleh karena itu, setiap perang yang dilakukan Rasulullah SAW bertujuan membela agama Allah.

Selain Ibnu Uqbah, Aban (wafat 105 H) disebut-sebut sebagai perintis genre maghazi Rasulullah. Putra Khalifah Utsman bin Affan itu merupakan seorang ahli hadis pada abad pertama Hijriyah. Dari pelbagai sunah yang dikumpulkannya, ia pun menyusun sebuah kitab maghazi.

photo
ILUSTRASI Kubah hijau pada Masjid Nabawi menandakan letak makam Baginda Nabi Muhammad SAW. Sirah Nabawiyah kian berkembang seiring dengan pembukuan hadis. - (DOK PXHERE)

Metode

Ibnu Ishaq dengan karyanya, As-Sirat an-Nabawiyah, dipandang sebagai peletak dasar disiplin penulisan buku biografi Nabi Muhammad SAW. Kitab tersebut memuat berbagai aspek kehidupan Rasulullah SAW, mulai dari kelahiran hingga meninggalnya. Itu disusun dengan metode tematik, yakni berdasarkan pada tema-tema dari pelbagai peristiwa yang terjadi secara kronologis.

As-Sirat terdiri atas 170 bagian. Meskipun naskah aslinya diyakini sudah hilang, bagian-bagian dari kitab itu masih terjaga berkat dikutip para penulis, baik yang hidup sezaman maupun sesudah Ibnu Ishaq. Maka dari itu, nasib As-Sirat lebih baik ketimbang al-Maghazi karya penulis yang sama. Sebab, kitab yang tersebut akhir itu telah hilang sama sekali.

Salah seorang sarjana yang mengutip panjang-lebar dari As-Sirat ialah Ibnu Hisyam al-Bashri. Ada pula at-Tabari (wafat 310 H), sang penyusun At-Tarikh ar-Rasul wa al-Muluk atau yang terkenal sebagai Tarikh at-Tabari. Murid Ibnu Syihab az-Zuhri itu tidak hanya menampilkan babak-babak kehidupan Rasulullah SAW, tetapi juga penjelasan tentang kondisi bangsa Arab sebelum beliau dilahirkan.

Ibnu Ishaq memengaruhi para penulis dari generasi sesudahnya. Sebut saja, Ibnu Hisyam atau Ibnu Sayyid an-Naas. Para sarjana lain, semisal Ibnu Qayyim al-Jauziyah, menggunakan kronologi yang dibuat pendahulunya itu untuk menulis kitab Zadul Ma’ad.

Dr Said Ramadhan al-Buthy dalam Fiqh as-Sirah an-Nabawiyah (2009) mengatakan, As-Sirat merupakan rujukan paling otoritatif pada masanya. Publik dapat berterima kasih kepada Ibnu Hisyam yang telah menyunting dan meringkas kitab pendahulunya itu. Hasil kerjanya kemudian memunculkan karya baru, yakni Sirah Ibnu Hisyam.

Perkembangan

Sejak era Ibnu Ishaq, disiplin penulisan Sirah Nabawiyah terus berkembang. Kajian tersebut tidak hanya berisi kisah-kisah Rasulullah SAW, tetapi juga berbagai pendekatan dan metodologi keilmuan.

Ragam dan kategori karya tentang biografi Nabi Muhammad SAW pun kian beragam. Tidak hanya sirah yang acap kali hadir dalam berjilid-jilid buku, ada pula format syamail (biografi ringkas) dan madaih (syair dan pujian). Semuanya menuturkan topik yang sama, yakni kehidupan sang junjungan. Terdapat kitab tentang sejarah Rasulullah SAW yang ditulis secara komprehensif, seperti kitab Dalail an-Nubuwwah karya Ismail Asbahani, al-Baihaqi, serta al-Faryabi.

Al-Buthy menjelaskan metode yang dipakai para penulis sirah dalam menyusun karya. Pada saat itu, mereka menggunakan metode yang dalam historiografi dikenal sebagai “aliran objektif".

Disebut demikian karena para sarjana itu tidak mengandalkan karya-karya mereka saja untuk memotret kejadian dalam kehidupan sang Nabi. Mereka pun mengukuhkan informasi yang ada dengan riwayat-riwayat sahih dari beliau.

 
Mereka meyakini bahwa memasukkan opini dan tendensi pribadi ke dalam sirah merupakan sebuah bentuk pengkhianatan intelektual.
 
 

 

Dalam melakukan hal ini, metode tersebut merujuk pada studi ilmu mushthalah al-hadits, terutama yang berkaitan dengan sanad dan matan. Selain itu, kaitannya terdapat pula pada ilmu al-jarh wa al-ta‘dil yang berkenaan dengan para perawi, termasuk biografi dan catatan kepribadian masing-masing periwayat.

Ketika menemukan sebuah kejadian yang dinilai benar-benar nyata berdasarkan kedua metode yang digunakan, mereka akan langsung menuliskannya, tanpa menambah-nambahkan opini apa pun. Para penulis ini meninggikan kredibilitas dan kepresisian. Mereka meyakini bahwa memasukkan opini dan tendensi pribadi ke dalam sirah merupakan sebuah bentuk pengkhianatan intelektual.

Dengan begitu, sirah benar-benar terjaga dan terawat hingga ke tangan generasi-generasi berikutnya. Aspek keterandalan itu sangat penting. Sebab, narasi tentang kehidupan Nabi SAW dapat dipakai untuk memahami Alquran dan Sunah.

Sebagai gambaran, banyak ayat atau keterangan dari Alquran dan hadis yang membutuhkan penjelasan tentang konteks agar seseorang bisa memahami sepenuhnya. Pengetahuan tentang kehidupan Rasulullah SAW sangat menolong untuk itu. Misal, firman Allah dalam surah ad-Dhuha ayat 3, artinya, “Tuhanmu tidak meninggalkan engkau (Muhammad) dan tidak (pula) membencimu.”

Ketika dibaca sendiri, tidak ada konteks sama sekali untuk memahami ayat ini. Tapi sirah melukiskan latar belakang di mana wahyu ini diturunkan. Nabi Muhammad tidak menerima wahyu untuk beberapa waktu sebelum ayat ini dan berurusan dengan musuh-musuhnya yang mengejeknya. Pikiran bahwa Allah menjadi tidak senang dengan akhirnya menetap di kepalanya dan saat itulah Tuhan meyakinkan Nabi bahwa ini tidak terjadi.

Istilah Sirah Nabawiyah tidak melulu tentang karya para ulama dari era klasik. Pada zaman modern pun, tidak sedikit cendekiawan Muslim yang berkarya dengan metode seketat disiplin ini. Misalnya, karya Safi-ur-Rahman Mubarakpuri yang berjudul Ar-Rahiq al-Makhtum. Ditulis dalam bahasa Urdu, versi berbahasa Arabnya dianugerahi juara pertama oleh Liga Muslim Dunia dalam acara Konferensi Sirah Islam Internasional pada 1979.

Ar-Rahiq al-Makhtum telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, yakni The Sealed Nectar. Judul karya itu dalam bahasa Arab terinspirasi dari surah al-Mutaffifin ayat 25. Kitab tersebut memaparkan berbagai fase kehidupan Nabi SAW. Semuanya ditulis Mubarapuri dengan merujuk pada sumber-sumber yang otentik.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat