Pada zaman dahulu, ada seorang penuntut ilmu yang sengaja berpura-pura menjadi pengemis demi belajar dan mendapatkan hadis dari imam Hambali. | DOK PIXAHAVE

Kisah

Pura-Pura Jadi Pengemis Demi Ilmu

Baqiy selalu mendatangi rumah Imam Hambali berpura-pura jadi pengemis agar diajarkan hadis.

 

OLEH HASANUL RIZQA

Begitu luar biasa semangat generasi terdahulu (salaf) dalam menuntut ilmu-ilmu agama. Salah seorang dari mereka ialah Imam Baqiy bin Makhlad al-Andalusi. Seperti tampak dari namanya, ulama itu berasal dari Andalusia (Spanyol), kelahiran tahun 201 Hijriyah.

Sejak kecil, Baqiy memendam cita-cita untuk belajar langsung dari para ahli hadis di kota-kota besar. Andalusia memang salah satu mercusuar peradaban Islam saat itu.

Namun, daerah tempat tinggal Baqiy itu tidaklah sekaliber Madinah, Makkah, atau Baghdad dalam hal keilmuan hadis. Ketiga kota tersebut adalah tempat berkumpulnya para pakar sunnah Nabi SAW masa itu.

Saat dirinya beranjak dewasa, keinginan itu hendak diwujudkannya. Maka bertolaklah ia dari Andalusia, menyeberangi Selat Jabal Thariq, dan mendarat di ujung Maghribiyah (Maroko). Dari kawasan barat Afrika Utara, lelaki berjulukan (kunyah) Abu Abdurrahman itu berjalan kaki ke arah timur.

Tujuannya hanya satu: Kota Baghdad. Sebab, di sana terdapat seorang ahli hadis yang sangat masyhur, yakni Imam Ahmad bin Hanbal (Hambali). Tidak ada yang didambakannya dalam menempuh perjalanan ini kecuali berkesempatan menimba ilmu dari Imam Hambali.

Setelah bersusah payah, Baqiy akhirnya sampai di Irak. Begitu mendekati Baghdad, ia sangat terkejut karena mendengar kabar dari warga lokal. Ternyata, fitnah sedang menimpa Imam Hambali. Khalifah saat itu sangat memusuhinya.

Alhasil, sang ulama besar dilarang otoritas setempat untuk bertemu dengan siapapun, apalagi mengajar di masjid-masjid atau majelis-majelis ilmu (halakah). Singkatnya, sang imam tengah menjalani tahanan rumah.

Baqiy sangat sedih mendengar berita tersebut. Langkah kakinya lemas. Dengan wajah lesu, dia mendatangi kamar penginapan.

 
Sang ulama besar dilarang otoritas setempat untuk bertemu dengan siapapun, apalagi mengajar di masjid-masjid atau majelis-majelis ilmu.
 
 

Sesaat, hatinya berusaha optimistis. Setelah mandi dan berbenah, ia pun mendatangi Masjid Agung Baghdad untuk mengikuti shalat berjamaah. Sesudahnya, satu per satu halakah yang ada di masjid itu didatangi. Ternyata, tidak dijumpainya wajah Imam Hambali di manapun. Kesedihan kembali menggelayuti hatinya.

Sebelum pulang ke pondok, Baqiy mendekati sebuah halakah hadis di Masjid Agung. Rupanya, majelis itu dipimpin Syekh Yahya bin Ma’in alias Abu Zakariya. Begitu ahli hadis itu selesai menyampaikan ceramah, sesi tanya jawab pun dibuka.

Baqiy mengajukan diri untuk bertanya. Setelah dipersilakan, ia pun meminta sang syekh untuk berpendapat tentang para perawi hadis yang ditemuinya sejak dari Andalusia hingga Irak. Abu Zakariya menganggap adil sebagian dari mereka dan menyanggah sebagian yang lain.

Di akhir kesempatan, Baqiy bertanya, “Bagaimana pendapat engkau tentang Imam Ahmad bin Hambal?”

“Apakah orang sepertiku pantas menilainya?” jawab Abu Zakariya, “Sungguh, dia adalah imam kaum Muslimin. Dia adalah orang yang paling baik dan paling mulia di antara kita.”

“Bolehkah saya ditunjukkan rumahnya?” tanya Baqiy lagi.

Untuk sesaat, jamaah terkejut mendengarnya. Syekh Abu Zakariya lalu memberikan isyarat tidak akan menjawab pertanyaan itu. Namun, ahli hadis tersebut sebelum berpaling sempat mengangguk sambil tersenyum sekilas ke arah sang musafir.

Sesudah halakah bubar, Baqiy dipanggil seorang utusan Abu Zakariya. Kepadanya, disampaikan bahwa ulama itu sangat gembira mengetahui seorang musafir seperti dirinya jauh-jauh datang untuk menuntut ilmu ke kota ini. Kurir tersebut lalu memberi tahu lokasi rumah Imam Hambali. Alamat itu diungkapkan diam-diam agar tidak terdeteksi mata-mata penguasa.

 
Kurir tersebut lalu memberi tahu lokasi rumah Imam Hambali. Alamat itu diungkapkan diam-diam agar tidak terdeteksi mata-mata penguasa.
 
 

Baqiy lalu pergi. Sesampainya di lokasi sesuai alamat tersebut, dirinya mengetuk pintu rumah sederhana ini. Terdengar dari dalam rumah, suara Imam Hambali menjawab salam. Pintu terbuka untuknya.

“Wahai Abu Abdullah, perkenalkan, namaku Baqiy bin Makhlad. Kedatanganku ke Baghdad untuk pertama kalinya ini semata-mata agar bisa menemuimu, mendengarkan dan mengumpulkan hadis darimu,” jelas sang musafir.

“Masuklah melalui tangga itu. Jangan sampai ada mata-mata melihatmu,” kata tuan rumah.

Di dalam rumah, Imam Hambali bertanya kepadanya, “Dari mana engkau berasal?”

“Daerah paling barat (dunia Islam).”

“Afrika?”

“Lebih jauh lagi. Andalusia,” ujar Baqiy.

“Sungguh tempat tinggalmu jauh sekali. Tak ada yang lebih kusukai daripada membantu orang-orang sepertimu. Namun, aku sekarang sedang mendapat ujian. Mungkin engkau sudah mendengarnya.”

“Ya, aku sudah mengetahuinya begitu mendekati Baghdad,” kata orang Andalusia ini.

Setelah mendengarkan penjelasan tentang sebuah hadis darinya, Baqiy merasa berat untuk pergi. Tiba-tiba, sebuah ide tebersit dalam benaknya.

“Wahai Abu Abdullah, apakah boleh aku datang setiap hari kepadamu dengan menyamar sebagai seorang pengemis? Apabila engkau mengizinkan, aku akan mengetuk pintu rumahmu setiap pagi atau siang, menjulurkan tangan selayaknya orang minta-minta. Seandainya dalam satu hari engkau menjelasakan satu hadis saja kepadaku, niscaya itu sudah cukup bagiku,” tuturnya.

 
Apakah boleh aku datang setiap hari kepadamu dengan menyamar sebagai seorang pengemis?
 
 

“Baiklah. Namun dengan syarat, engkau tidak memberitahukan hal ini kepada orang lain,” ujar sang imam.

Maka sejak itu, Baqiy selalu mendatangi rumah Imam Hambali sebagai “pengemis". Ia menyembunyikan pena dan kertas di sakunya untuk mencatat ilmu dari lisan sang fakih. Bahkan, sering kali salah satu imam mazhab fikih itu menerangkan lebih dari satu hadis kepadanya.

Siasat itu terus dipakai hingga khalifah yang membenci Abu Abdullah meninggal. Penggantinya adalah seorang yang berakidah ahlus sunnah. Alhasil, Imam Hambali pun dibebaskan, tidak lagi menyandang status tahanan kota.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat