Pegawai KPK yang tak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) menunjukkan surat untuk Presiden Joko Widodo yang dikirim oleh aktivis dari sejumlah daerah, ke Kantor Darurat KPK, di trotoar Gedung ACLC KPK, Jakarta Rabu (29/9/2021). Sebanyak 1.505 surat melalui | ANTARA FOTO/ Reno Esnir

Kabar Utama

Pekerjaan Rumah Menegakkan Hukum

Presiden Joko Widodo seharusnya melakukan reformasi institusi di kepolisian dan kejaksaan.

OLEH RIZKYAN ADIYUDHA, FEBRIAN ADI SAPUTRA

Pada dua tahun masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin, persoalan penegakan hukum masih menjadi sorotan. Pemberantasan korupsi dan penegakan hukum secara keseluruhan dirasa belum menjadi prioritas. 

Dua tahun belakangan, rerupa kasus korupsi memang masih saja marak terjadi. Selain itu, persepsi bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah dilemahkan melalui revisi regulasi serta pemecatan pegawai juga mengemuka. 

Transparency International Indonesia (TII) melansir, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia tahun 2020 turun tiga poin ke angka angka 37 pada skala 0-100. Turunnya angka IPK tersebut juga membuat posisi Indonesia melorot dari posisi 85 ke peringkat 102 dari 180 negara yang dinilai IPK-nya. 

Belum lagi rerupa tindakan aparat kepolisian yang belakangan membuat geregetan masyarakat. Dari penghapusan mural yang mengkritisi pemerintah, tindakan kekerasan terhadap mahasiswa, hingga kongkalikong membantu buron BLBI Djoko Tjandra. 

Kekerasan aparat menyumbang faktor hingga Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dalam Indeks Demokrasi yang dirilis The Economist Intelligence Unit (EIU) pada Februari 2021 lalu. Indonesia mendapat skor 6,3, turun dari 6,48 pada tahun sebelumnya. Skor itu adalah yang terendah yang diperoleh Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir.  

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenul Rahman menilai, Presiden Joko Widodo seharusnya melakukan reformasi institusi di kepolisian dan kejaksaan. "Kedua institusi ini masih diselimuti juga ada saja perilaku-perilaku menyimpang yang sangat ramai, khususnya di kepolisian," kata Zaenul Rahman di Jakarta, Rabu (20/10).  

Dia mengatakan, kedua aparat penegak hukum itu berada di bawah Presiden. Namun, dia menambahkan, Presiden belum pernah melakukan upaya reformasi institusional di kepolisian dan kejaksaan. "Nah, reformasi aparat penegak hukum ini tidak dilakukan oleh pemerintah dalam kurun dua, bahkan tujuh tahun terakhir ini," ujarnya.  

Sementara, anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, menilai, pemerintahan Jokowi-Ma'ruf dalam konteks kebijakan dan regulasi dalam bidang penegakan hukum cukup baik. "Semangat untuk memperbaiki tata kelola penegakan hukum kita terlihat ada, seperti terbitnya kebijakan dan peraturan Kapolri dan Jaksa Agung untuk memperluas penegakan hukum berbasis keadilan restoratif (restorative justice)," ujar Arsul kepada Republika, Rabu (20/10). 

photo
Terdakwa kasus penerimaan suap dari Djoko Tjandra terkait pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA), Pinangki Sirna Malasari bersiap menjalani sidang putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (8/2). Pinangki Sirna Malasari divonis sepuluh tahun penjara dan denda Rp 600 juta subsider enam bulan kurungan. Republika/Putra M. Akbar - (Republika)

Wakil Ketua Umum PPP itu melihat ada upaya pemerintah dalam memperbaiki proses penegakan hukum yang lebih memperhatikan HAM. Namun, upaya-upaya tersebut masih terkendala perilaku oknum-oknum penegak hukum yang tidak sejalan dengan kebijakan pimpinannya.

"Ini misalnya tecermin dari kasus penembakan Km 50, kapolsek yang berbuat cabul terhadap anak tahanan, penanganan unjuk rasa yang masih menggunakan kekerasan, bahkan upaya paksa," ujarnya. 

Arsul juga berpendapat, tidak bisa menilai soal pelemahan kerja-kerja pemberantasan korupsi dengan hanya fokus pada kasus TWK pegawai KPK yang menyebabkan 56 pegawai diberhentikan. “Kita juga harus mencatat pada capaian Kejaksaan, misalnya yang menangani kasus-kasus korupsi besar, seperti Jiwasraya dan Asabri," kata dia.  

Ketakpuasan publik terhadap penegakan hukum pada dua tahun masa Jokowi-Ma’ruf tergambar dalam survei yang digelar Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC). Hasil survei menunjukkan, 33,7 persen responden menilai kondisi pemberantasan korupsi buruk dan 14,5 persen sangat buruk. 

"Sebesar 48,2 persen mengatakan bahwa kondisi pemberantasan korupsi ini buruk atau sangat buruk," ujar Direktur Eksekutif SMRC Sirojudin Abbas dalam rilis hasil survei secara daring, Selasa (19/10).

 SMRC juga mencatat, sebanyak 49,1 persen responden menilai korupsi di Tanah Air pada umumnya sekarang ini makin banyak dibandingkan tahun lalu. 

Hal yang serupa juga terjadi pada penilaian publik terhadap kondisi penegakan hukum di Indonesia. Responden yang menilai kondisi penegakan hukum buruk atau sangat buruk naik dari 15,1 persen pada survei September 2019 menjadi 24,8 persen pada survei September 2021. 

SMRC melakukan survei menggunakan multistage random sampling dengan 1.220 responden. Margin of error survei dengan ukuran sampel tersebut diperkirakan sebesar kurang lebih 3,19 persen dengan tingkat kepercayaan mencapai 95 persen. Waktu wawancara lapangan survei ini dilakukan pada 15-21 September 2021. 

Sementara itu, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) mengkritisi soal kondisi demokrasi di Indonesia belakangan. Wakil Koordinator Kontras, Rivanlee Anandar, dalam laporan evaluatif dua Tahun pemerintahan Jokowi-Ma’ruf menerangkan, sejumlah indikator pemunduran demokrasi, penegakan, hukum, dan HAM di Tanah Air. 

Hal tersebut dapat dilihat dari situasi kebebasan sipil yang semakin memburuk dalam dua tahun terakhir. Selain itu, masifnya serangan terhadap pegiat-pegiat sipil, sikap abai pemerintah terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM dan HAM berat, dan pendekatan yang masih represif dan minim koreksi pemerintah, militer, serta kepolisian.  

Kontras mencatat, sepanjang Oktober 2019 sampai September 2021, terangkum sebanyak 360 peristiwa pembungkaman dalam kebebasan bicara dan berekspresi di ruang publik.

“Pemantauan Kontras, serangan digital dengan cara peretasan sering terjadi ketika para pegiat sipil menyinggung isu-isu yang mengkritik kinerja pemerintah, dan isu-isu terkait pemberantasan korupsi,” begitu kata Rivanlee.  

Penjeratan dengan UU ITE pun dikatakan masih menjadi amunisi bagi pemerintah dan pejabat negara dalam menjawab kritik. Kontras mencatat, dua tahun pemerintahan Jokowi-Ma’ruf melakukan penindakan menggunakan UU ITE sebanyak 43 kasus.

Dominasi 35 kasusnya menyasar sipil, yang hanya sekadar mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah, atau dituduh melakukan penghinaan terhadap institusi-institusi keamanan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat