Azyumardi Azra | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Dinamika Kosmopolitanisme Islam

Islam kosmopolitan juga menerima keragaman dan perbedaan mazhab dan aliran.

Oleh AZYUMARDI AZRA

OLEH AZYUMARDI AZRA

Islam kosmopolitan adalah Islam menjagat; Islam yang melintasi batas geografis dan wilayah; kemajemukan etnis dan ras; penggolongan tingkat sosial-ekonomi; keragaman sosio-kultural, tradisi dan adat istiadat; keragaman sistem, ideologi, dan praktik politik.

Islam kosmopolitan juga menerima keragaman dan perbedaan mazhab dan aliran di dalam dirinya sendiri atau umatnya, ataupun juga di luar dirinya yang beragam komunitas penganut agama-agama berbeda.

Islam kosmopolitan adalah Islam terbuka, inklusif, akomodatif, dan toleran. Bukan Islam tertutup; eksklusif atau memarginalisasikan orang dan mengeluarkan mereka dari barisan umat beriman.

Islam kosmopolitan dengan segala karakter dan distingsinya mengaktualisasikan diri menjadi rahmatan lil ‘alamin. Dalam kerangka itu, Islam Indonesia sejak masa awal penyebarannya secara masif pada abad ke-13 dan seterusnya, menampilkan karakter kosmopolitan.

 
Islam kosmopolitan juga menerima keragaman dan perbedaan mazhab dan aliran di dalam dirinya sendiri atau umatnya, ataupun juga di luar dirinya yang beragam komunitas penganut agama-agama berbeda.
 
 

Islam yang berkembang besar-besaran dan cepat secara damai tidak bisa dibendung kekuatan apa pun—khususnya kolonialisme Eropa sejak Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris yang datang belakangan.

Meski mengalami vernakularisasi, akomodasi dan akulturasi dengan budaya lokal yang amat beragam, Islam yang terus berkembang di kepulauan nusantara tetap tidak kehilangan karakter kosmopolitanismenya.

Islam kosmopolitan malah menjadi melekat, dalam berbagai aspek realitas dan dinamika kehidupan sosial-budaya ratusan suku Muslim kepulauan nusantara. Pada saat sama, Islam lokal di berbagai suku dan daerah terintegrasi ke dalam Islam kosmopolitan.

Kosmopolitanisme Islam kepulauan nusantara cepat terkonsolidasi, terutama karena wilayah ini adalah benua maritim, yang menjadi wilayah lintas pelayaran antarsamudera dan antarbenua.

Kepulauan nusantara juga menjadi lokus perdagangan internasional bebas sejak zaman baheula, mengikuti jalur rempah (spice route) yang juga mencakup kebiasaan, norma dan regulasi tukar-menukar, serta jual beli barang dan komoditas.

 
Kepulauan nusantara menjadi lokus pertemuan berbagai agama dunia. Semua agama besar dunia memiliki tempatnya dalam warga kepulauan sejak dari Hindu, Buddha, Islam, sampai Kristianitas.
 
 

Tak kurang pentingnya, benua maritim ini sekaligus menjadi wilayah pertukaran sosial budaya mondial. Pertukaran ini mencakup bahasa—yang menghasilkan bahasa Melayu sebagai lingua franca—kepatutan sosial dan adat kebiasaan dalam interaksi kosmopolitan.

Di atas semuanya, kepulauan nusantara menjadi lokus pertemuan berbagai agama dunia. Semua agama besar dunia memiliki tempatnya dalam warga kepulauan sejak dari Hindu, Buddha, Islam, sampai Kristianitas.

Beberapa agama tersebut—seperti Hindu dan Buddha pernah berjaya, tetapi agama yang muncul lebih belakangan seperti Islam berhasil mendapat penganut mayoritas; kemudian Kristianitas mampu mendapatkan pengikut lebih banyak dibandingkan penganut Hindu dan Buddha, yang juga terus bertahan.

Perubahan komposisi demografis keagamaan ini dipengaruhi faktor internal agama masing-masing dan faktor eksternal terkait lingkungan sosial, budaya, dan politik yang mengitari.

Islam kosmopolitan menghubungkan kaum Muslimin yang ada dalam ratusan suku, yang memiliki corak tradisi adat istiadat dan kehidupan sosial-budaya atau bahasa yang berbeda-beda.

Selain itu, mereka terpisahkan wilayah geografis daratan, sungai, selat, laut, dan lautan. Berbagai realitas ini membuat mereka tidak mudah terintegrasi ke dalam suatu entitas suprastruktur.

 
Islam kosmopolitan menghubungkan kaum Muslimin yang ada dalam ratusan suku, yang memiliki corak tradisi adat istiadat dan kehidupan sosial-budaya atau bahasa yang berbeda.
 
 

Islam kosmopolitan yang telah menjadi suprastruktur terus dengan cepat menyebar dan terkonsolidasi di kepulauan nusantara. Pemahaman, praksis, dan literatur keislaman segera menyebar dari satu tempat ke tempat lain.

Semua ini terjadi berkat kepulauan nusantara sebagai benua maritim adalah wilayah cair (fluid). Fluiditas ini memungkinkan orang mengadakan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain dengan relatif mudah; yang diperlukan hanya kapal layar ketika alat transportasi modern belum ada.

Islam kosmopolitan adalah entitas suprastruktur, yang menghubungkan dan mengintegrasikan keragaman realitas lokal. Islam, yang juga menjadi identitas dan lokus kesetiaan, menciptakan persaudaraan dan solidaritas sesama Muslim.

Karena demografi Muslim yang terus menguat menjadi kelompok mayoritas tunggal di sebagian besar wilayah kepulauan nusantara, Islam menjadi faktor pemersatu pertama sebelum kemunculan faktor-faktor pemersatu lain.

Berkat kosmopolitanismenya, Islam kepulauan nusantara menjadi salah satu delapan ranah budaya Islam yang terintegrasi, kompak, dan distingtif.  

Islam kepulauan nusantara berkembang dan menemukan momentum konsolidasi ortodoksi sejak abad ke-17 dan abad-abad selanjutnya, ketika ulama-ulama Jawi kembali dari Haramayn setelah belajar beberapa dasawarsa.

Mereka belajar di Makkah, Madinah, dan sejak awal abad ke-20 juga di Kairo dari ulama dan intelektual kosmopolitan, yang datang dari berbagai pelosok dunia Muslim. Hasilnya, murid dan ulama Jawi setiap generasi pada setiap abad, juga memiliki cara pandang, pemahaman dan praksis keislaman yang juga kosmopolitan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat