Warga menyaksikasn pertandingan renang artistik saat gelaran PON Papua di Stadion Akuatik, Kompleks Kampung Harapan, Sentani, Kanupaten Jayapura, Papua, Kamis (7/10). Setelah terjadi kasus positif saat gelaran PON XX Papua, Sejumlah venue menerapkan proto | Republika/Thoudy Badai

Olahraga

PON XX Papua: 'Membelah Diri' Saat Liputan

PON XX Papua menjadi ajang mengasah kemampuan jurnalistik para wartawan.

OLEH IKHWANUDDIN

Rasa antusias saya begitu membuncah saat pertama kali menginjakkan kaki di Bandara Sentani, Jayapura. Betapa tidak, saya mendapat kesempatan sekali seumur hidup untuk meliput Pekan Olahraga Nasional (PON) XX Papua 2021. 

Saya sempat pasrah ketika batal berangkat ke Papua karena efek pandemi Covid-19 hingga PON pun sempat ditunda satu tahun. Tapi, pada akhirnya, saya benar-benar berangkat ke Bumi Cendrawasih.

Ini merupakan kali pertama saya kembali ke lapangan meliput sebuah ajang olahraga. Selama pandemi, hampir seluruh pertandingan digelar tanpa penonton dan wartawan. Saat beberapa kompetisi mulai digelar dan mengizinkan para pewarta meliput, ternyata tidak semudah itu untuk mencari berita langsung dari arena mengingat perizinan yang sulit.

PSBB, PPKM, dan istilah-istilah lain yang menahan aktivitas masyarakat tentu membatasi gerak-gerik saya sebagai orang lapangan. Pandemi Covid-19 memaksa saya menghadiri ratusan konferensi pers daring, menyaksikan pertandingan live streaming, dan melakukan wawancara lewat telepon.

Hingga akhirnya, momen perdana saya beredar lagi di medan laga adalah PON XX Papua. Sudah tentu, ada rasa grogi yang menghantui diri karena harus membiasakan diri dengan situasi di lapangan. Terlebih lagi, saya langsung pergi ke tempat yang jauh.

Alhamdulillah, perjalanan saya lancar. Di tempat tujuan, saya langsung melihat rencana liputan yang sudah dibuat dari Jakarta. Seluruh cabang olahraga yang kemungkinan menarik diangkat ke dalam berita sudah saya susun. Mudah sekali.

Namun, harapan sering kali berbanding 180 derajat dengan realita. Banyak rencana liputan yang sudah saya susun harus diganti total karena perubahan jadwal, kondisi cuaca, hingga lokasi liputan yang berjauhan.

Saya lupa bahwa sedang bertugas di Papua yang jalannya penuh tikungan membelah bukit-bukit. Perjalanan malam hari juga makin menantang karena kurangnya penerangan di sepanjang jalan raya.

Rintangan para pewarta belum usai sampai di sana. Saya harus sadar sedang meliput sebuah ajang besar dengan ratusan nomor cabang olahraga yang tidak bisa semuanya digarap. Tapi, memang, di lapanganlah seorang wartawan diuji mental dan fisik. Karena tidak bisa mengangkat setiap atlet ke dalam artikel, saya harus memutar otak mencari cara yang paling efisien.

Pertama, saya menjalin relasi dengan wartawan lain ketika berada di lokasi liputan. Dengan komunikasi yang terbentuk antara sesama jurnalis, saya bisa mendapatkan sekaligus berbagi informasi tentang jadwal lomba, cabang olahraga unggulan, perolehan medali, hingga rekor yang pecah dari hari ke hari.

Inilah yang dimaksud dengan "membelah diri". Raga saya mungkin tidak berada di dua tempat dalam satu waktu, tapi mata dan tangan saya tetap bekerja melalui peran wartawan media lain. Jika suatu ajang dihelat bersamaan, wartawan di lapangan biasa berbagi hasil pertandingan hingga transkrip wawancara narasumber.

Walaupun begitu, bukan berarti pekerjaan otomatis lebih mudah. Pasalnya, saya harus melakukan konfirmasi dua kali jika mendapat transkrip wawancara narasumber dari orang lain. Jika tak hati-hati mengutip perkataan orang lain, tentu bisa runyam.

Selain itu, berkomunikasi dengan wartawan media lain di lapangan juga sulitnya seperti menjilat siku tangan sendiri. Saya harus berjibaku dengan sinyal yang biarpet karena naik-turun sesuka hati. Jika sudah berada di dalam kondisi itu, jujur, saya hanya bisa pasrah.

Jika kebetulan lokasi liputan berdekatan seperti di Universitas Cenderawasih, saya bisa melesat dari satu venue ke venue yang lain. "Dekat" yang dimaksud pun tidak sedekat itu karena dari arena sepak takraw ke angkat besi, misalnya, harus berjalan kurang lebih satu kilometer walaupun lokasinya saling berseberangan.

Menjadi wartawan bukan profesi yang mudah. Meliput acara olahraga yang biasa dicap pekerjaan gampang pun sebenarnya keliru. Tapi, dari liputan multievent, saya semakin terlatih berpikir, bekerja cepat, dan efisien.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat