Selain pejuang, KH Muslih al-Maraqi dikenal sebagai pengasuh Pondok Pesantren Futuhiyyah Demak. | Dok NU

Mujadid

KH Muslih al-Maraqi, Ulama Berjiwa Patriot

Selain pejuang, KH Muslih dikenal sebagai pengasuh Pondok Pesantren Futuhiyyah Demak.

 

OLEH MUHYIDDIN

 

 

Ulama merupakan pewaris para nabi. Yang diwariskannya bukanlah harta benda, melainkan lebih dari itu, yakni ilmu pengetahuan, hikmah, dan keteladanan. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, para alim ulama merupakan sumber inspirasi dan spirit perjuangan. Perjuangan mereka dalam memerdekakan dan menjaga kedaulatan negeri ini amatlah besar.

Salah seorang ulama yang patut dikenang kaum Muslimin masa kini ialah KH Muslih al-Maraqi. Kecintaannya terhadap Tanah Air begitu nyata. Terutama bersama Laskar Hizbullah, ia pun turut berjuang dalam merebut kemerdekaan Indonesia. Tak mengherankan bila sejumlah kalangan menyebutnya sebagai alim yang berjiwa patriotik.

Kiai Muslih adalah seorang ulama yang masyhur dari Jawa Tengah. Selain perjuangannya, ia pun terkenal sebagai pengasuh Pondok Pesantren Futuhiyyah yang berlokasi di Mranggen, Demak, antara tahun  1936 dan 1981. Hingga kini, pengaruh ajarannya masih terasa di kota tersebut.

Tokoh ini lahir pada tahun 1908 di Desa Suburan, Mranggen, Demak. Berbeda dengan lokasi kampung halamannya, tanggal kelahirannya tidak diketahui secara pasti. Ayahnya bernama KH Abdurrahman bin Qasid al-Hag. Orang-orang menyebut Kiai Abdurrahman sebagai Pangeran Sedo Krapyak. Sebab, nasabnya bersambung hingga Sunan Kalijaga, seorang wali songo.

Ayahanda Kiai Muslih itu merupakan pendiri Pondok Pesantren Suburan Mranggen Demak. Lembaga yang dibentuk pada tahun 1901 itu mulanya adalah langgar dengan tambahan ruang serba guna di dekatnya. Lama kelamaan, jumlah murid majelis ilmu yang digelar di sana melebihi kapasitas. Maka secara gotong royong didirikanlah pesantren, lengkap dengan masjid dan pondok tempat santri menginap.

Kiai Abdurrahman menikah dengan Shofiyyah. Ibunda Kiai Muslih itu masih keturunan seorang wali songo lainnya, yakni Sunan Ampel. Dalam buku Sejarah Seabad Pondok Pesantren Futuhiyyah disebutkan bahwa perempuan ini memiliki garis keturunan langsung dengan Ratu Kalinyamat bin Sultan Trenggono bin Raden Patah, Pendiri Kerajaan Demak itu—Raden Patah--merupakan menantu dari Sunan Ampel.

Muslih kecil memperoleh pendidikan pertama dari kedua orang tuanya. Dari ayahnya, Kiai Abdurrahman, ia mendapatkan ilmu mengaji Alquran dan dasar-dasar keislaman. Setelah memiliki bekal dasar-dasar agama, ia pun mulai melakukan rihlah keilmuan. Itu diawalinya dengan mengaji kepada Kiai Ibrahim Yahya di Brumbung, Mranggen.

 
Setelah memiliki bekal dasar-dasar agama, ia pun mulai melakukan rihlah keilmuan. Itu diawalinya dengan mengaji kepada Kiai Ibrahim Yahya di Brumbung.
 
 

Saat menjadi santri Kiai Ibrahim, Muslih sempat diajak menunaikan ibadah haji. Namun, saat itu dirinya merasa belum cukup ilmu. Karena itu, kesempatan itu ditolaknya dengan halus. Ia memilih menjadi seorang santri kelana. Dari satu pesantren ke pesantren lainnya di Tanah Jawa, Muslih muda menuntut ilmu-ilmu agama.

Pesantren yang pernah menjadi tempat memperdalam ilmu agamanya adalah Pesantren Mangkang Kulon. Selanjutnya, ia juga berguru kepada Kiai Zubair Dahlan dan Syekh Imam di Sarang. Selama di Rembang, ia menjadi santri kalong di pesantren yang diasuh Kiai Ma'shum Lasem.

Ia sangat giat belajar. Pada tahun 1931, Muslih sempat pulang ke kampung halamannya untuk mengabdikan ilmunya di pesantren keluarganya di Mranggen. Namun, setelah beberapa tahun di Mranggen, ia kembali menuntut ilmu di Pesantren Tremas yang saat itu diasuh Kiai Dimyati.

Di Pesantren Tremas, Muslih mulai mempelajari kitab Alfiyah secara otodidak selama tujuh hari. Untuk itu, tidak pernah dirinya keluar dari kamar. Selama beberapajam waktu dihabiskannya untuk menelaah kitab karangan Ibnu Malik itu. Dengan usahanya itu, ia mampu menguasai karya tersebut secara baik dan sempurna. Hingga akhirnya, ia pun menjadi seorang ahli fikih, hadits, ushul fikih, ulumul qur’an, hingga ilmu-ilmu alat, seperti nahwu dan sharaf.

Ikut berjuang

KH Muslih al-Maraqi termasuk ulama dengan jiwa rela berkorban. Keteladanannya sangat layak diikuti generasi saat ini. Dalam sejarah perjuangan Indonesia, dirinya tercatat pernah menjadi anggota Laskar Hizbullah. Kiprahnya mengemuka terutama dalam masa revolusi, yakni ketika RI berupaya mempertahankan kemerdekaan.

Seorang santri Pondok Pesantren Futuhiyyah Mranggen, Moh Salapudin, dalam tulisannya mengungkapkan profil perjuangan sang alim. Kiai Muslih diketahui pernah mengikuti pelatihan Laskar Hizbullah di Cibarusah—kini bagian dari Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Sang ulama dipercaya sebagai ketua regu. Salah seorang anggotanya adalah Kiai Abdullah Abbas Buntet dari Cirebon, Jawa Barat.

Seorang saudara Kiai Abdullah Abbas, yakni Kiai Mustamid Abbas, pernah nyantri bersama Kiai Muslih di Tremas Pacitan. Darinya, terdapat cerita bahwa Kiai Muslih mirip Sentot Ali Basya, salah seorang panglima perang yang memihak Pangeran Diponegoro.

Sepulang dari latihan di Cibarusa, Kiai Muslih segera mengonsolidasikan Hizbullah di Mranggen. Ia merekrut santri-santri seniornya dan para pemuda lokal. Tercatat, beberapa tokoh muda, semisal Suroso dan Sukaimi, turut menjadi anggota Laskar Hizbullah. Sukaimi bahkan gugur dalam sebuah pertempuran di Semarang Tenggara. Jenazahnya dimakamkan di lahan dekat Masjid Besar Mranggen.

 
Kiai Muslih kerap memberikan bekal kepada para anggota laskar, yakni berupa doa-doa dan wirid.
 
 

Perannya kira-kira sama seperti yang dilakukan Kiai Subkhi Temanggung. Kiai Muslih kerap memberikan bekal kepada para anggota laskar, yakni berupa doa-doa dan wirid. Amalan yang sama juga diajarkannya kepada para santri. Doa-doa tersebut tak hanya memberikan ketenangan batin. Rasa percaya diri para pejuang juga disebut meningkat setelah merapalkan doa itu.

Saat terjadi peristiwa G30S/PKI pada 1965, Kiai Muslih juga membekali santrinya dengan doa-doa. Karena, saat itu banyak anggota atau simpatisan komunis yang mengincar para santri Futuhiyyah. Alhasil, banyak pemuda Muslimin diterpa ketakutan. Namun, mereka kembali tenang setelah dikumpulkan oleh Kiai Muslih di pelataran masjid pesantren.

Ia berpesan, “Para santri tenang, tidak usah khawatir, tidak usah takut. Saya kasih ijazah ini. Baca 'maliki yaumiddin’ tiga kali sambil tidak bernafas; hentakkan kaki ke tanah; nanti kamu bisa menghilang. Musuh tidak melihat kamu.”

Sang kiai juga menyuruh mereka untuk menuliskan lafaz Allah di telapak tangan masing-masing. Saat di medan pertempuran, terus genggam telapak itu. “Terus genggam. Kalau (tangan) dipakai untuk memukul musuh, dia akan tersungkur,” katanya.

Sesudah pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda, situasi berangsur-angsur kondusif. Maka, banyak anggota Laskar Hizbullah diangkat menjadi tentara. Bagaimanapun, Kiai Muslih bersama dengan para ulama lainnya lebih memilih kembali ke pesantren. Ia berfokus untuk menyebarkan ilmu-ilmu agama di tengah masyarakat. Semua itu dilakukannya dalam rangka mengamalkan keikhlasan.

Mengasuh pesantren

Dalam mengasuh Pondok Pesantren Futuhiyyah, Kiai Muslih al-Maraqi mengambil inspirasi dari Pesantren Tremas. Sebab, dalam pandangannya lembaga yang beralamat di Pacitan, Jawa Timur, itu dipandangnya berdiri dengan pengelolaan yang baik sekali.

Awalnya, Kiai Mushlih mendirikan Madrasah Ibtidaiyyah pada 1936. Kemudian secara perlahan, ia juga membangun Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, dan bahkan Fakultas Syariah UNNU.

Setelah zaman revolusi kemerdekaan, Kiai Mushlih tambah leluasa mengembangkan Pesantren Futuhiyyah. Selama menjadi pengasuh di sana, dirinya tercatat sebagai manajer pendidikan yang brilian. Ini terbukti dari keahliannya dalam mengelola lembaga dengan “model Trisula”, yaitu mengembangkan pendidikan formal dan tradisional sekaligus pengajian tarekat.

Meskipun tergolong sebagai ulama yang progresif, tapi Kiai Muslih tetap memiliki komitmen tinggi untuk mempertahankan tradisi. Ini terbukti di tengah hiruk-piruk dan rutinitas proses pembelajaran di pendidikan formal, ia tetap mengajarkan kitab-kitab kuning. Tambahan pula, dirinya aktif mengembangkan Tarekat Qadariyyah wa Naqsabandiyah di pesantrennya.

Semangatnya dalam belajar pun tak pernah padam. Misalnya, saat dirinya berkesempatan naik haji. Selama di Tanah Suci, Kiai Muslih menyempatkan diri untuk belajar kepada Syekh Yasin al-Fadani.

Selain itu, sebagai salah satu bentuk komitmen Kiai Mushlih dalam mempertahankan tradisi, setiap santri yang lulus Madrasah Aliyah diharuskan sudah hafal kitab Alfiyah. Itulah sebabnya, Pesantren Futuhiyyah juga terkenal sebagai “Pesantren Alat” dengan menitikberatkan penguasaan ilmu nahwu dan sharaf.

photo
Dalam mengasuh Pondok Pesantren Futuhiyyah, Kiai Muslih al-Maraqi mengambil inspirasi dari Pesantren Tremas - (Republika/Putra M Akbar)

 

Mahaguru Tarekat yang Produktif

 

Salah seorang ulama yang dikenang sebagai sesepuh tarekat di Indonesia ialah KH Muslih al-Maraqi. Dalam masa hidupnya, ia pernah menjadi mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN). Khususnya bagi masyarakat Nahdliyin, dirinya diingat sebagai salah satu pendiri Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah (Jatman). Bahkan, Kiai Muslih disebut sebagai salah satu pionir terorganisasinya Tarekat al-Mu'tabarah di Indonesia.

Dalam buku Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat, Martin van Bruinessen menuturkan perihal ketokohan Kiai Muslih. Akademisi itu mengatakan, Kiai Muslih termasuk dalam jajaran tokoh sentral TQN pada era 1970-an. Dalam hal ini, dirinya bersama dengan Abah Anom, Kiai Thohir Falak, dan Kiai Mustain Romly. Sedangkan Murtadho Hadi menyebut Kiai Muslih sebagai “Guru Sufi Tanah Jawa”, bersanding dengan Abuya Dimyati Banten atau Kiai Romli Tamim Rejoso Jombang.

Selain memanfaatkan waktunya untuk mengajarkan tarekat, Kiai Muslih juga banyak menulis kitab-kitab berbahasa Arab. Karena itu, ia tergolong kelompok ulama yang cukup produktif. Setidaknya, ada empat karya utama yang ditulisnya dalam kurun masanya sebagai pengasuh Pesantren Futuhiyyah.

 
Setidaknya, ada empat karya utama yang ditulisnya dalam kurun masanya sebagai pengasuh Pesantren Futuhiyyah.
 
 

Kitab karangannya yang pertama berjudul “Hidayah al-Widan”. Kitab ini berisi kurang lebih 100 bait tentang ilmu nahwu. Kitab ini sekarang lebih populer dengan nama “Sulam as-Shibyin”, yang notabenenya terjemahan dari “Hidayah al-Widan”, ditulis oleh menantunya, Kiai Muhammad Ridhwan.

Kedua, kitab “Inarah az-Dzalam” yang berisi kurang lebih 60 bait. Karya Kiai Muslih ini mengupas tentang 50 dasar-dasar tauhid, tarekat, hakikat, makrifat, masalah dzikir dan metode penyucian diri. Kitab ini lebih banyak mencerminkan ajaran teologinya Syekh Abu Hasan al-Asy'ari, dan tasawuf Syekh Junaid al-Bagdhadi.

Ketiga, Kiai Muslih juga menulis “Wasailu Wushulil Abdi Ila Maulah” (2 jilid) yang merupakan syarah kitab “Al-Hikam” karya Ibnu Athaillah As-Sakandari. Kiai Muslih terinspirasi oleh isi dari beberapa bait syair yang ditulis Ibnu Athaillah tentang pintu menuju Tuhan.

Keempat, Kiai Muslih juga menulis kitab “An-Nur Al-Burhany” yang terdiri dari dua jilid. Kitab ini merupakan terjemahan dengan sedikit catatan tambahan Kiai Mushlih atas kitab manaqib Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani.

Di samping keempat karya utamanya tersebut, Kiai Muslih juga menulis kitab-kitab yang berupa doa dan wirid. Setidaknya ada tiga karya kumpulan doa Kiai Muslih, yaitu “Tsamrotul Qulub”, “Nasru Al-Fajr, dan “Al-Munajat”. Kitab Tsamrotul Qulub sendiri sampai sekarang masih terus diamalkan secra kolektif oleh santri Pesantren Futuhiyyah setiap sholat lima waktu. Sedangkan dua kitab lainnya diamalkan secara perorangan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat