Sejumlah massa aktivis Papua dimasukan ke dalam mobil tahanan di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat, Jakarta, Kamis (30/9/2021). Polisi menahan 17 aktivis Papua yang melaksanakan aksi peringatan Roma Agreement ke-59 dengan dalih menimbulkan kerumunan pa | Republika/Putra M Akbar

Opini

Bara Papua

Bagi masyarakat Papua, perasaan diperlakukan tak adil dan kecemburuan sosial hingga kini kerap muncul.

BAGONG SUYANTO, Dekan FISIP Universitas Airlangga

Di balik gemerlap penyelenggaraan PON XX di Papua, kerusuhan berdarah pecah di Yahukimo. Peristiwa ini memperlihatkan, Papua masih mengidap persoalan serius dalam hal potensi konflik kesukuan.

Akibat kesimpangsiuran penyebab meninggalnya mantan bupati Yahukimo, Abock Busup, aksi kekerasan massal tiba-tiba meletup di Dekai –ibu kota Yahukimo. Suku Kimnyal, pendukung Abock Busup dilaporkan menyerbu suku Yali yang dianggap saingan.

Akibatnya, enam warga dilaporkan tewas dan 42 orang luka-luka. Sejumlah rumah dan hotel hangus dibakar massa. Kerusuhan di Yahukimo adalah peristiwa ke sekian kalinya di wilayah Papua.

Dalam lima tahun terakhir, meski banyak kemajuan pembangunan terjadi di Papua, kesenjangan antarkelas, gerakan separatis, isu industrialisasi yang kurang mengakomodasi penduduk lokal dan konflik antarsuku masih menjadi persoalan laten.

Masalah pokok

Munculnya berbagai aksi kerusuhan dan konflik di Papua, memperlihatkan banyak hal yang perlu didiskusikan. Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, harus diakui sebagian masyarakat Papua masih merasa diperlakukan bak anak tiri dalam pembangunan.

 
Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, harus diakui sebagian masyarakat Papua masih merasa diperlakukan bak anak tiri dalam pembangunan.
 
 

Industrialisasi yang berkembang dan merambah wilayah Papua, dinilai hanya menguntungkan pendatang dan kepentingan kekuatan komersial. Sedangkan kebutuhan dan eksistensi masyarakat lokal justru sering terabaikan.

Secara garis besar, ada dua masalah di Papua. Pertama, terkait sensitivitas masyarakat Papua terhadap berbagai hal, yang kemudian memicu munculnya rasa diperlakukan layaknya anak tiri.

Bagi masyarakat Papua, perasaan diperlakukan tak adil dan kecemburuan sosial hingga kini kerap muncul. Industrialisasi yang masuk ke Papua dinilai hanya menguras kekayaan sumber daya alam, tetapi tidak diredistribusikan bagi kesejahteraan masyarakat lokal.

Studi oleh Ngadisah (2003) berjudul Konflik Pembangunan dan Gerakan Sosial-Politik di Papua menemukan, di Papua pembangunan yang hanya mengedepankan aspek teknis dan finansial tanpa memperhitungkan biaya sosial penduduk lokal, terutama eksistensi adat istiadat dan hak-hak adat masyarakat setempat, terbukti melahirkan sejumlah problem sosial-budaya.

Kesenjangan budaya antara kultur kapitalisme yang mengglobal dan sistem nilai tradisional menimbulkan culture shock. Bahkan, studi Ngadisah menemukan, sebagian warga pribumi Papua menolak industrialisasi.

Bukan sekadar melakukan protes sosial, melainkan juga serangkaian aksi yang ditengarai sebagai gerakan sosial berkepanjangan hingga kini. Akibat kehadiran industri berskala besar, tak sedikit masyarakat lokal justru makin tersisih.

 
Akibat kehadiran industri berskala besar, tak sedikit masyarakat lokal justru makin tersisih.
 
 

Kedua, terkait proses infiltrasi, invasi, dan suksesi kepemilikan aset sumber daya lokal kepada para pendatang. Studi Akhmad (2005) menemukan, proses transformasi ekonomi di Papua umumnya dihela para pendatang, yang dengan cepat menguasai pasar.

Kehadiran mereka bukan saja menimbulkan proses marginalisasi, melainkan juga iklim sosial penuh potensi konflik dan mempertebal rasa primordial di kalangan orang Papua.

Di Papua, sikap tidak puas penduduk lokal terhadap kehadiran pendatang, tercatat beberapa kali sempat meletup menjadi konflik terbuka. Tidak sekali-dua kali penduduk lokal menyatakan rasa tidak puasnya dengan cara keras.

Masyarakat lokal

Terlepas dari kasus Yahukimo dan ulah KKB yang makin meresahkan, munculnya berbagai masalah sosial di Papua intinya adalah penolakan terhadap kebijakan pembangunan yang mengabaikan keberadaan masyarakat lokal.

Dengan menetapkan Papua sebagai lokasi penyelenggaraan PON XX, di satu sisi memang memberi kesempatan dunia melihat dan mengenal Papua. Namun, lebih dari sekadar menjadikan Papua lokasi PON XX, yang dibutuhkan sesungguhnya perubahan lebih mendasar.

 
Munculnya berbagai masalah sosial di Papua intinya adalah penolakan terhadap kebijakan pembangunan, yang mengabaikan keberadaan masyarakat lokal.
 
 

Pengalaman selama ini mengajarkan, pembangunan bersifat sentralistik dan dipaksakan dari atas, tidak hanya melahirkan perubahan pada tradisi, tercabiknya nilai spiritual, perubahan pola mata pencaharian penduduk, tetapi juga menyebabkan kesenjangan sosial dan perampasan hak-hak adat masyarakat lokal.

Belajar dari berbagai kekurangan dan pengalaman pembangunan di Papua, paling tidak ada tiga hal pokok yang perlu diperhatikan ke depan.

Pertama, membangun Papua dengan mengedepankan perencanaan sosial, yang melibatkan kepentingan terbaik masyarakat lokal. Perencanaan pembangunan di Papua tak boleh dilakukan tanpa rasa empati terhadap  kebutuhan masyarakat lokal.

Kedua, melibatkan dan menghargai peran masyarakat adat agar pembangunan tidak menafikan atau memarginalisasi eksistensi masyarakat dan tradisi setempat.

Ketiga, memastikan redistribusi dari kegiatan industrialisasi yang masuk ke Papua dan hasil pembangunan pada umumnya, untuk kepentingan pemberdayaan masyarakat lokal.

Pembangunan yang hanya mengeruk sumber daya alam setempat, tetapi manfaatnya kemudian tidak dirasakan masyarakat lokal, maka jangan kaget jika hanya akan memantik resistensi, bahkan perlawanan masyarakat lokal. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat