Pria mengumpulkan air di dekat jalan tergenang di Port-au-Prince, Haiti, Senin (4/10/2021). | AP/Joseph Odelyn

Internasional

PBB Ingatkan Krisis Air Global

Tahun lalu, krisis terberat dialami Cina, India, Indonesia, Jepang, Nepal, dan Pakistan.

WASHINGTON -- Organisasi Meteorologi Dunia atau World Meteorological Organization (WMO) di bawah PBB melaporkan, sebagian besar dunia tidak siap menghadapi banjir, angin topan, dan kekeringan, Selasa (5/10).

Kondisi itu diperkirakan akan bersamaan dengan perubahan iklim dan sangat membutuhkan sistem peringatan yang lebih baik untuk mencegah bencana terkait air.

"Kita perlu bangkit untuk menghadapi krisis air yang mengancam," kata Sekretaris Jenderal WMO, Petteri Taalas, Selasa (5/10).

Laporan ini berjudul “The State of Climate Services 2021: Water”. Penyusunannya dilakukan kerja sama antara WMO, lembaga-lembaga internasional, badan pembangunan, dan lembaga pengetahuan.

Laporan tersebut  menyatakan, pengelolaan air global dilakukan sendiri-sendiri secara terpisah dan tidak memadai. Hampir 60 persen dari 101 negara yang disurvei membutuhkan sistem prakiraan yang lebih baik yang dapat membantu mencegah kehancuran akibat cuaca buruk.

“Sekitar 60 persen dari badan meteorologi dan hidrologi kekurangan kapasitas penuh yang seharusnya dibutuhkan untuk menyediakan layanan tentang air,” kata laporan tersebut.

Laporan itu menyebutkan, badan meteorologi dan hidrologi yang mereka maksudkan adalah badan pemerintah yang diberi mandat untuk menyediakan informasi hidrologi dan memberi peringatan kepada pemerintah.

Perubahan iklim diperkirakan akan meningkatkan bahaya terkait air, misalnya kekeringan atau banjir. Jumlah orang yang hidup berhadapan dengan bencana akibat air diperkirakan akan melejit karena kian meningkatnya kelangkaan sumber daya dan pertumbuhan populasi.

Seiring pertumbuhan populasi, jumlah orang dengan akses air yang tidak memadai juga diperkirakan akan meningkat menjadi lebih dari lima miliar orang pada 2050. Jumlah ini naik dari 3,6 miliar orang pada 2018.

Beberapa tindakan yang direkomendasikan oleh laporan tersebut adalah sistem peringatan yang lebih baik untuk daerah rawan banjir dan kekeringan. Sistem itu harus dapat mengidentifikasi, misalnya, kapan sungai diperkirakan akan meluap. Pendanaan dan koordinasi yang lebih baik di antara negara-negara dalam pengelolaan air juga diperlukan.

Laporan tersebut menemukan bahwa sejak 2000, bencana terkait banjir secara global meningkat 134 persen dibandingkan dengan dua dekade sebelumnya. Sebagian besar kematian dan kerugian ekonomi terkait banjir terjadi di Asia, dengan curah hujan ekstrem menyebabkan banjir besar di Cina, India, Indonesia, Jepang, Nepal, dan Pakistan pada tahun lalu.

photo
Warga meletakkan ember di antrean untuk diisi air bersih bantuan dari Pemprov Jawa Barat di Desa Kertajaya, Garut, Jawa Barat, Rabu (11/8/2021). Sedikitnya enam ribu jiwa dari 13 Rukun Warga di Desa Kertajaya tersebut mengalami kekurangan pasokan air bersih akibat kekeringan dan berkurangnya debit air pada sumber air warga saat musim kemarau yang terjadi tiap tahun. - (ANTARA FOTO/Novrian Arbi/wsj.)

Frekuensi bencana terkait kekeringan naik 29 persen selama periode yang sama. Negara-negara Afrika mencatat kematian terkait kekeringan paling parah. Kerugian ekonomi paling parah akibat kekeringan terjadi di Amerika Utara, Asia, dan Karibia.

Secara global, laporan tersebut menemukan 25 persen dari semua kota sudah mengalami kekurangan air secara teratur. Selama dua dekade terakhir, pasokan gabungan dari air permukaan, air tanah, dan air yang ditemukan di tanah, salju, dan es di planet ini telah menurun sebesar satu sentimeter per tahun.

Laporan ini mengakui, ada beberapa kemajuan dalam beberapa tahun terakhir. Namun, laporan itu juga menemukan 107 negara tidak akan memenuhi tujuan untuk mengelola pasokan dan akses air secara berkelanjutan pada 2030 dengan tingkat saat ini.

Menurut Profesor hidrologi dan iklim di Massachusetts Institute of Technology, Elfatih Eltahir, pertumbuhan penduduk akan semakin membebani pasokan air. Saat ini terutama dihadapi di sub-Sahara Afrika. "Ketersediaan air pada populasi yang meningkat membentuk adaptasi air yang cukup mendesak," kata peneliti yang tidak terlibat dalam laporan PBB. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat