Biarawati Ermelinda A Hale, lulus kuliah dari Universitas Pendidikan Muhammadiyah Sorong, Papua. Alumni berlabel Krismuha dapat diajak untuk membumikan nilai-nilai multikulturalisme. | Dok Universitas Pendidikan Muhammadiyah Soron

Opini

'Krismuha' dan Spirit Multikulturalisme

Alumni berlabel Krismuha dapat diajak untuk membumikan nilai-nilai multikulturalisme.

BIYANTO, Guru Besar UIN Sunan Ampel dan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur

Terma Kristen-Muhammadiyah (Krismuha) diperkenalkan Abdul Mu’ti dan Fajar Riza Ul Haq dalam karya berjudul Kristen Muhammadiyah: Konvergensi Muslim dan Kristen dalam Pendidikan (2009).

Buku ini memaparkan praktik-praktik baik tentang kehidupan yang toleran dan saling menghargai antara minoritas Muslim dan mayoritas Kristen melalui lembaga pendidikan Muhammadiyah.

Karya ini ditulis berdasarkan hasil penelitian terhadap lembaga pendidikan Muhammadiyah di daerah minoritas Muslim dalam mendidik anak-anak Kristen.

Jumlah siswa Kristen di sekolah Muhammadiyah daerah tertentu memang tergolong besar, bahkan mayoritas. Salah satu di antaranya adalah SMA Muhammadiyah Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT). Di sekolah ini, dua pertiga siswanya adalah Katolik.

Realitas serupa terjadi di SMA Muhammadiyah Putussibau, Kalimantan Barat (Kalbar). Yang lebih hebat lagi, SMP Muhammadiyah dan SMK Muhammadiyah Serui, Teluk Cenderawasih, Papua.

 
Jumlah Kristen yang menuntut ilmu di dua sekolah ini mencapai 92 persen. Bukan hanya siswa Kristiani yang dididik, lembaga pendidikan Muhammadiyah di daerah minoritas Muslim juga mengundang guru-guru Kristen.
 
 

Jumlah Kristen yang menuntut ilmu di dua sekolah ini mencapai 92 persen. Bukan hanya siswa Kristiani yang dididik, lembaga pendidikan Muhammadiyah di daerah minoritas Muslim juga mengundang guru-guru Kristen.

Mereka ditugaskan untuk mengampu mata pelajaran ilmu-ilmu eksakta. Untuk mata pelajaran agama bagi siswa Kristiani, sekolah Muhammadiyah memanfaatkan para romo, pastor, dan pendeta.

Secara berkala, mereka diundang ke sekolah Muhammadiyah untuk mendidik anak-anak Kristiani. Pada konteks ini, dapat dikatakan bahwa sekolah Muhammadiyah telah menunaikan amanat konstitusi dalam hal kewajiban menyediakan guru yang seagama dengan siswa.

Hingga kini, lembaga pendidikan Muhammadiyah tetap berkhidmat untuk mencerdaskan warga tanpa melihat latar belakang etnis dan agama. Sebagai contoh, di Sorong, Papua Barat, berdiri megah dua kampus Muhammadiyah.

Dua kampus Muhammadiyah ini mendidik puluhan ribu mahasiswa. Uniknya, 70 persen mahasiswa kampus Muhammadiyah Sorong adalah penduduk asli Bumi Cenderawasih dan pemeluk Kristiani.

Kondisi yang hampir sama juga terjadi di Universitas Muhammadiyah Kupang (UMK), NTT. Karena mayoritas mahasiswanya Kristiani, almarhum Abdul Malik Fadjar seraya berseloroh pernah menyebut UMK dengan “Universitas Muhammadiyah Kristen”.

 
Melalui pelayanan pendidikan berbasis keragaman budaya, etnik, dan agama itulah Muhammadiyah telah mengajarkan harmoni sosial, khususnya di daerah-daerah non-Muslim.
 
 

Melalui pelayanan pendidikan berbasis keragaman budaya, etnik, dan agama itulah Muhammadiyah telah mengajarkan harmoni sosial, khususnya di daerah-daerah non-Muslim.

Dalam konteks sekarang, dapat dikatakan, Muhammadiyah sejatinya telah membumikan nilai-nilai multikulturalisme. Bukan dengan pidato atau pernyataan berapi-api yang terkadang nirmakna, Muhammadiyah mempraktikkan nilai-nilai multikulturalisme melalui tindakan nyata.

Multikulturalisme dapat dipahami sebagai paham yang mengajarkan pentingnya pengakuan terhadap pluralitas budaya sehingga menumbuhkan kesiapan untuk hidup dalam kemajemukan.

Menurut Will Kymlicka dalam Multicultural Citizenship (1995), multikulturalisme meniscayakan kelompok mayoritas mau mengakomodasi perbedaan kelompok minoritas sehingga kekhasan mereka tetap terjaga.

Sebagai upaya untuk membumikan nilai-nilai multikulturalisme itulah kita penting memelajari pemikiran filsuf Prancis era kontemporer, Emmanuel Levinas (1906-1995).

Dalam teori tentang penampakan wajah (the face of the other), Levinas mengatakan, penampakan wajah bukan bagian dari aku, bukan pula diukur dari tolok ukurku. Yang lain itu berbeda dari aku.

Namun, hubungan aku dengan yang lain tidak akan melahirkan kekerasan. Bahkan, kehadiran yang lain akan membuahkan kedamaian sekaligus menumbuhkan kultur positif dalam kehidupan.

 
Namun, hubungan aku dengan yang lain tidak akan melahirkan kekerasan. Bahkan, kehadiran yang lain akan membuahkan kedamaian sekaligus menumbuhkan kultur positif dalam kehidupan.
 
 

Melalui teori penampakan wajah, akan selalu tergambar wajah yang lain. Penampakan wajah yang lain juga memungkinkan orang saling bertegur sapa dan berempati.

Perspektif positif menyikapi kemajemukan sebagaimana digambarkan Kymlicka dan Levinas sangat penting dipraktikkan dalam kehidupan nyata. Dalam kaitan inilah, Muhammadiyah mengajarkan cara hidup bersama di tengah kemajemukan.

Salah satu caranya adalah memberikan pelayanan pendidikan yang terbaik pada anak-anak bangsa tanpa melihat latar belakang sosialnya. Peserta didik non-Muslim menjadi nyaman belajar karena tidak perlu khawatir dipaksa pindah agama setelah menuntaskan pendidikan di Muhammadiyah.

Pada konteks itulah istilah “Krismuha” populer digunakan di sejumlah sekolah Muhammadiyah. Mereka tetap menjadi pemeluk Kristiani meski alumni pendidikan Muhammadiyah.

Dengan menerima siapa pun yang datang tanpa melihat perbedaan etnik, budaya, dan agama, maka tidak mengherankan jika ada banyak alumnus sekolah dan kampus Muhammadiyah menjadi pendeta, pastur, biarawati, dan pelayan gereja lainnya.

Mereka berdiaspora sesuai dengan pekerjaan dan peran yang dimainkan di tengah-tengah masyarakat. Sejumlah pejabat daerah juga tidak segan mengakui konstribusi Muhammadiyah bagi pendidikan warganya.

Wali Kota Jayapura Benhur Tomy Mano, misalnya, mengatakan bahwa Muhammadiyah telah berjasa besar membantu pendidikan anak-anak Papua dan Papua Barat. Pengakuan tulus ini sekaligus mencerminkan pengalaman pribadi wali kota yang akrab disapa BTM itu tatkala belajar di SMP Muhammadiyah Yappis Abepura.

Dalam suasana kehidupan masyarakat Bumi Cenderawasih yang acapkali bergolak, Muhammadiyah penting hadir. Muhammadiyah dapat memanfaatkan jaringan alumni "Krismuha" yang berdiaspora di sejumlah instansi dan gereja.

Alumni berlabel “Krismuha” dapat diajak untuk membumikan nilai-nilai multikulturalisme sehingga terwujud kehidupan damai dan saling menghargai. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat