AGH Muhammad Thahir Lapeo. | DOK WIKIPEDIA

Mujadid

AGH Muhammad Thahir Lapeo, Sang Pembaru di Mandar

Imam Lapeo asal Sulawesi Barat ini pernah menuntut ilmu hingga ke Tanah Suci dan Turki.

OLEH MUHYIDDIN

 

 

Pesisir barat Pulau Sulawesi merupakan rumah bagi banyak suku bangsa, seperti Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar. Mereka memiliki tradisi yang mengakar kuat lantaran turun temurun dari generasi ke generasi. Dari berbagai komunitas etnis itu, ada yang menerima dakwah Islam, khususnya sejak abad ke-17 Masehi.

Mayoritas masyarakat Mandar pun menerima agama tauhid. Akan tetapi, penerimaan itu cenderung masih mencampur-baurkan antara ajaran Islam dan adat istiadat lama. Hingga akhirnya, muncul dakwah yang meluruskan pemahaman mereka tentang akidah dan ibadah. Salah seorang ulama yang menggerakkan syiar demikian ialah Anre Gurutta Haji (AGH) Muhammad Thahir.

Penduduk Sulawesi Barat, khususnya Mandar, menggelarinya Imam Lapeo. Sebab, tokoh ini merupakan pendiri sekaligus imam pertama masjid di daerah Lapeo, Polewali Mandar. Untuk melancarkan misi dakwahnya, ia menjalanin hubungan baik dengan kalangan bangsawan lokal yang memerintah Kerajaan Balanipa, yaitu Mandawari alias To Milloli.

Ruhiyat dalam karya ilmiahnya, “Imam Lapeo sebagai Pelopor Pembaharuan Islam di Mandar”, mengungkapkan metode dakwah AGH Muhammad Thahir. Menurutnya, sosok yang karab disapa Imam Lapeo itu kerap menyambangi berbagai daerah di wilayah Balanipa. Tujuannya untuk mengajarkan masyarakat tentang dasar-dasar agama Islam. Mereka diperkenalkan pada beragam ilmu, semisal tauhid, fikih, dan tasawuf.

Sering kali, penduduk yang menerima dakwah Imam Lapeo berubah sikapnya. Mereka dahulu cenderung pada kemusyrikan, sesudah dinasihati sang alim kemudian bertobat. Tidak lagi orang-orang itu memberikan sesajen kepada “roh halus” atau mengeramatkan tempat-tempat tertentu.

Anak-anak muda pun tertarik pada tausiyahnya. Mereka perlahan-lahan meninggalkan kebiasaan bermaksiat. Lokasi-lokasi perjudian, mabuk-mabukan, atau bahkan perzinahan mulai sepi ditinggalkan para remaja.

 
Anak-anak muda pun tertarik pada tausiyahnya. Mereka perlahan-lahan meninggalkan kebiasaan bermaksiat.
 
 

Imam Lapeo mengajak masyarakat Mandar untuk menerapkan Islam secara menyeluruh (kaffah). Caranya dilakukan secara bijaksana, tanpa paksaan. Orang-orang pun merasa diingatkan, alih-alih digurui. Mereka tersadar akan kekeliruannya selama ini sehingga berkomitmen untuk menjadi Muslim yang taat.

Setiap masyarakat kampung yang didatanginya dianjurkan agar mereka membangun masjid atau mushala. Bangunan itu difungsikan tidak hanya sebagai tempat ibadah, melainkan juga pusat pendidikan agama.

Ia juga membangun masjid di Lapeo. Majelis ilmu yang digelarnya di sana diikuti banyak jamaah. Murid-muridnya berasal dari pelbagai daerah, termasuk kawasan pelosok Sulawesi.

Pada akhirnya, anak didiknya itu tumbuh menjadi dai-dai yang tangguh. Melalui kerja kerasnya, pembaruan Islam pun menggema ke seantero Tanah Mandar.

Biografi singkat

Masyarakat Mandar mengenangnya tidak hanya sebagai pendakwah. Imam Lapeo pun turut berkontribusi dalam perjuangan melawan penjajah.

Walau tidak terjun langsung ke medan peperangan, dirinya aktif memberikan nasihat kepada para gerilyawan yang datang kepadanya. Perjumpaan itu selalu disertai doa, semoga Allah SWT memberikan hasil terbaik untuk ikhtiar ini.

Imam Lapeo alias Muhammad Thahir lahir pada 1838 Masehi. Desa Pambusuang—kini termasuk wilayah Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat—merupakan tempat pertamanya menghirup udara dunia. Ia merupakan putra dari pasangan Haji Muhammad bin Abdul Karim dan Siti Rajiah.

Saat baru lahir, ayahnya memberi nama Junaihil Namli. Nama ini terbilang asing di telinga masyarakat Mandar. Kata namli tidak berasal dari bahasa lokal, melainkan bahasa Arab yang berarti semut (an-naml). Kemungkinan, Haji Muhammad bin Abdul Karim terinspirasi dari satu surah di dalam Alquran.

Sejak kecil, Junaihil Namli tumbuh menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tua. Ayah dan ibunya pun mendidiknya dengan baik. Alhasil, ia dikenal masyarakat sebagai anak yang jujur, pemberani, dan berkemauan keras.

Ia berasal dari keluarga yang agamis. Haji Muhammad merupakan seorang petani dan nelayan. Di luar pekerjaannya itu, bapak kandung Junaihil itu mengajarkan Alquran kepada anak-anak dan warga umumnya. Ini seturut dengan profil kakeknya, Abdul Karim Abbatalahi, yang seorang hafiz.

 
Saat masih berumur anak-anak, Junaihil lebih tertarik pada pelajaran-pelajaran agama daripada ilmu umum.
 
 

Saat masih berumur anak-anak, Junaihil lebih tertarik pada pelajaran-pelajaran agama daripada ilmu umum. Ia mendapat pendidikan ilmu Alquran dari kakeknya langsung. Tak mengherankan bila sejak usia dini dirinya telah mengkhatamkan Alquran beberapa kali. Capaian ini melampaui teman-teman sebayanya.

Menjelang usia remaja, ia lebih giat dalam menguasai bahasa Arab. Karena itu, ia menekuni ilmu-ilmu gramatika, seperti nahwu dan sharaf, dari sejumlah guru di Pambusuang. Setelah itu, ia pergi ke Pulau Salemo untuk menimba ilmu-ilmu agama Islam.

Saat berusia 15 tahun, Junaihil mengikuti pamannya, Haji Buhari, ke Padang, Sumatra Barat. Tujuannya tidak hanya membantu sang paman untuk berdagang kain sutra, tetapi juga meneruskan rihlah keilmuan.

Di Tanah Minang, dirinya berguru kepada ulama-ulama yang masyhur. Sekembalinya dari Sumatra Barat, ia melanjutkan perjalanan ke luar negeri, tepatnya Hijaz. Perjalanan ke Makkah al-Mukarramah dilakukannya untuk berhaji sekaligus menambah ilmu. Di Masjidil Haram, putra daerah Mandar ini mengaji beragam disiplin keislaman, semisal fikih, tafsir Alquran, hadis, kalam, dan lain-lain.

Perjalanannya ke Makkah dimulai pada 1886. Ia tinggal di kota kelahiran Nabi Muhammad SAW itu beberapa tahun lamanya. Di antara guru-gurunya selama di Tanah Suci adalah Syekh Muhammad Ibna. Dalam beberapa literatur, juga disebutkan bahwa ia pernah belajar hingga ke Istanbul, Turki. Karena itu, gelarnya ialah Kanne Tambul, ‘sang kakek dari Istanbul'.

Begitu kembali ke Tanah Air, ia tetap meneruskan rihlah intelektualnya. Imam Lapeo tercatat pernah berguru pada sejumlah alim di Pare-pare, termasuk al-Yafii.

Perjalanannya juga sampai ke Jawa dan Madura. Bahkan, dia pernah menimba ilmu dari Syaikhona KH Kholil Bangkalan. Beberapa sumber menyebutkan, kota-kota lain yang pernah disinggahinya dalam rangka menuntut ilmu-ilmu agama ialah Temasek (Singapura) dan Melaka.

Pada saat berusia 27 tahun, Imam Lapeo dijodohkan oleh seorang gurunya, Sayyid Alwi Jamaluddin bin Sahil. Ulama besar asal Yaman itu menikahkannya dengan seorang gadis bernama Hagiyah. Perempuan ini lalu berganti nama menjadi Rugayyah. Sejak itulah, nama Imam Lapeo pun diganti oleh Sayyid Alwi menjadi Muhammad Thahir.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Imam Lapeo (1838-1952). (kh_muhammad_thahir_imam_lapeo)

Tiga Metode dakwah

AGH Muhammad Thahir merupakan seorang ulama besar dalam sejarah syiar Islam di Sulawesi, khususnya Tanah Mandar. Imam Lapeo, begitu julukannya, menerapkan dakwah dengan tiga cara, yakni pernikahan, pendidikan, dan tasawuf. Hingga akhir usianya, ia tercatat pernah menikah sebanyak enam kali.

Yang menjadi istri-istrinya ialah para putri sejumlah tokoh masyarakat daerah yang pernah dikunjunginya. Dengan ikatan perkawinan itu, Imam Lapeo pun terikat dengan komunitas Muslim lokal tempat masing-masing istrinya berasal. Anak-anaknya pun tumbuh menjadi generasi yang turut mencerahkan tradisi keislaman setempat.

Setidaknya, ada empat istrinya yang merupakan keturunan tokoh, yaitu Rugayyah, Siti Halifah, Siti Hadijah, dan Siti Attariyah. Adapunn dalam pernikahannya yang kelima, ia mempersunting seorang putri yang bernama Syarif Hidah. Namun, dari istrinya yang ini, Imam Lapeo tidak dikaruniai keturunan. Terakhir, Imam Lapeo menikah lagi dengan seorang putri keturunan Raja Mamuju, Siti Amirah. Keduanya dikarunia empat orang anak.

Selain menggunakan strategi pernikahan, Imam Lapeo juga melakukan penyebaran Islam lewat pendidikan. Hal ini dapat dilihat melalui kegiatannya. Di rumahnya, ia menggelar majelis ilmu. Banyak santri berdatangan tidak hanya dari Mandar, tetapi juga daerah-daerah sekitar.

Setelah muridnya terus bertambah, Imam Lapeo kemudian mendirikan sebuah pesantren. Lembaga pendidikan ini dinamainya al-Diniyah al-Islamiyah Ahlussunnah wal Jamaah. Dalam proses awal berdirinya, sang imam disokong beberapa orang guru. Santri yang berdatangan untuk belajar agama biasanya ditampung di rumah pribadinya. Mereka tidak dipungut biaya sepeserpun.

Namun, usaha pengembangan Islam yang dilakukan Imam Lapeo dalam pendidikan tidak hanya dilakukan di Lapeo. Dai alumnus Masjidil Haram ini juga melakukan safari dakwah dari kampung ke kampung di kawasan Madar. Bahkan, tidak jarang dirinya merambah pelbagai daerah di Sulawesi Barat.

Metode ketiga dalam syiar Islam yang dijalankannya ialah bertasawuf. Imam Lapeo merupakan seorang mursyid Tarekat Syadziliyah. Jalan salik ini pertama kali dipelajarinya saat ia sedang menuntut ilmu di Padang, Sumatra Barat. Minatnya terhadap tasawuf ala Syadziliyah tidak berkurang tatkala menuntut ilmu di Makkah al-Mukarramah.

Dalam setiap dakwahnya, Imam Lapeo selalu menganjurkan kepada jamaah untuk banyak-banyak beramal saleh. Di antara ibadah sunah yang dianjurkannya ialah shalat dan zikir kepada Allah SWT. Lakukan itu semua secara istikamah. Rata-rata, yang belajar tasawuf kepada Imam Lapeo sudah mengerti syariat Islam. Hanya saja, mereka merasa ingin lebih mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.

Dalam berceramah, Imam Lapeo selalu menggunakan tutur kata yang baik dan halus. Tidak pernah terkesan menggurui, apalagi sampai menyakiti perasaan orang. Karena itu, dakwahnya menarik perhatian masyarakat luas, termasuk mereka yang non-Muslim. Setelah menyimak penuturan mubaligh tersebut, tidak sedikit warga yang meninggalkan kebiasaan-kebiasaan klenik ataupun syirik. Selanjutnya, mereka dibimbing untuk menjalankan Islam secara kaffah.

Sebagai pembaharu Islam, dakwah Imam Lapeo juga tidak luput dari rintangan. Salah satu tantangan awal yang dihadapinya adalah kebiasaan golongan elite setempat. Mereka saat itu masih mencampuradukkan antara ajaran Islam dan kepercayaan animisme.

Untuk menghadapi golongan tersebut, Imam Lapeo kemudian melakukan pendekatan terhadap penguasa, semisal Raja Balanipa To Milloli (Mandawari). Dengan begitu, ia pun mendapatkan dukungan moril dari pemimpin masyarakat untuk memberantas kepercayaan sesat. Selain dihadapkan dengan tantangan tersebut, Imam Lapeo juga mendapat hambatan dari pihak penjajah, baik itu Belanda maupun Jepang.

 
Ia dikenal sebagai seorang ulama yang memiliki banyak karamah.
 
 

Namun, semua upaya yang dilakukan para penjajah tidak dihiraukan olehnya. Kian keras ancaman yang disampaikan para kolonialis itu, Imam Lapeo justru bertambah gigih. Perjalanan hidup Imam Lapeo sepenuhnya diabadikan untuk ilmu dan umat. Ia dikenal sebagai seorang ulama yang memiliki banyak karamah. Setidaknya ada puluhan karamah yang ditulis oleh cucu Imam Lapeo sendiri, Syarifuddin Muhsin.

Dalam keterangannya, lanjut Muhsin, Imam Lapeo diceritakan memiliki 74 karamah (kelebihan). Sebagian di antaranya, berbicara dengan orang mati, menangkap ikan di laut tanpa kail, memendekkan kayu, menghardik jenazah, serta mengatasi ilmu hitam.

Imam Lapeo diperkirakan wafat pada 1952 dalam usia 114 tahun, tepatnya pada 27 Ramadhan 1362 Hijriah. Ia menghembuskan nafas terakhirnya di Desa Lapeo, Kecamatan Campalagiang, Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Jenazahnya dimakamkan di halaman Masjid Nur al-Taubah, yang masyarakat Mandar sebut pula sebagai Masjid (Masigi) Lapeo.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat