KH Muhammad Faiz atau Gus Faiz, seorang pengasuh Pondok Pesantren Daarul Rahman Jakarta. | DOK Facebook Pesantren Daarul Rahman

Hiwar

Peluang dan Tantangan Pesantren di Kota

Di kota-kota besar hampir tidak ada pesantren yang tutup karena kekurangan murid.

 

 

Eksistensi pesantren sudah lama mengakar di Indonesia. Kemunculannya diperkirakan terjadi pada abad ke-15 Masehi.

Di Jawa, umumnya lembaga pendidikan Islam tradisional ini berlokasi di perdesaan. Namun, kawasan perkotaan pun mulai diwarnai dengan hadirnya pondok-pondok pesantren.

Menurut KH Muhammad Faiz, adanya pesantren di kota-kota besar kini sudah menjadi kebutuhan. Sebab, banyak orang tua Muslim yang ingin memasukkan anak-anaknya ke sana. Ada beberapa hal yang bisa dianggap sebagai faktor pendorong. Salah satunya, kekhawatiran mereka terhadap dekadensi di tengah generasi muda perkotaan.

“Perkembangan pesantren-pesantren di wilayah perkotaan sekarang lumayan baik. Dalam arti, animo masyarakat saat ini juga cukup tinggi,” kata putra KH Syukron Ma’mun, seorang ulama asal Madura yang berdomisili di Jakarta, itu.

Lelaki yang akrab disapa Gus Faiz ini menuturkan, besarnya animo masyarakat seyogianya diiringi dengan kesiapan dari pihak pesantren-pesantren. Tidak hanya dinamika hidup di perkotaan yang lebih dinamis daripada desa.

Perkembangan zaman pun memunculkan semakin banyak tantangan bagi para guru, ustaz, dan kiai. Jika kalangan santri tak menguasai teknologi informasi, bisa jadi mereka akan kian tertinggal.

“Tantangan pesantren yang pertama adalah harus mampu menerjemahkan ajaran agama yang ada di dalam literatur khazanah keislaman masa lalu ke dalam kehidupan yang maju seperti sekarang,“ kata Ketua Ikatan Alumni Nahdlatul Ulama (IKANU) Mesir ini.

Seperti apa peran pesantren dalam menghadirkan pendidikan Islam tradisional di kota-kota besar? Apa saja faktor yang mendorong sebuah pesantren untuk maju dan berkembang? Berikut ini adalah perbincangan wartawan Republika, Muhyiddin, bersama dengan Wakil Pengasuh Pondok Pesantren Daarul Rahman, Jagakarsa, Jakarta Selatan, itu. Wawancara dilakukan beberapa waktu lalu.

photo
KH Muhammad Faiz atau Gus Faiz, seorang pengasuh Pondok Pesantren Daarul Rahman Jakarta. - (DOK Facebook Pesantren Daarul Rahman)

Bagaimana Anda melihat perkembangan pesantren di wilayah perkotaan saat ini?

Saya kira, perkembangan pesantren-pesantren di wilayah perkotaan sekarang lumayan baik. Dalam arti, animo masyarakat saat ini juga cukup tinggi. Kalau kita lihat, pertama-tama, latar belakangnya memang soal “ketakutan” mereka terhadap kemungkinan dekadensi moral anak-anak muda.

Kekhawatiran seperti apa?

Mungkin lebih sebagai berjaga-jaga. Masyarakat perkotaan menyadari bahwa untuk anak-anak mereka mendapatkan akhlak dan perilaku yang baik pilihannya adalah memondokkan anaknya ke pesantren. Ya, kemudian pondok-pondok pesantren menjadi pilihan untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Inilah yang antara lain membuat pesantren di perkotaan semakin bertumbuh.

Jadi, dibandingkan yang dulu, kini pesantren-pesantren di perkotaan sudah mulai berkembang. Bahkan, bisa dikatakan bahwa di kota-kota besar hampir tidak ada pesantren yang tutup karena kekurangan murid, misalnya. Saya melihat, pesantren di wilayah perkotaan masih stabil. Selalu saja ada orang tua yang menitipkan anak-anaknya ke pesantren.

Menurut Anda, apa yang membedakan pesantren di perdesaan dengan yang di perkotaan?

Pertumbuhan dan perkembangan suatu pesantren itu biasanya terkait dengan tafaqquh fi ad-din, pengetahuan agama. Makanya, kalau di perdesaan itu, pesantren-pesantren selalu identik dengan antusiasme mereka yang ingin memperdalam ilmu-ilmu agama.

Sementara, pesantren-pesantren di perkotaan itu tidak hanya memenuhi tuntutan masyarakat setempat yang ingin anaknya menjadi fuqaha atau ulama. Di sini, ada pula demand dari masyarakat yang ingin anak-anak mereka bisa menguasai sains dan ilmu pengetahuan umum.

Kalau dulu, rata-rata masyarakat ingin anak-anaknya menjadi guru agama, ustaz, atau kiai. Namun, kalau masyarakat di perkotaan sekarang juga berharap anak-anaknya menjadi dokter dan teknik sipil, misalnya. Karena itu, di pesantren-pesantren sekarang juga ada sistem kurikulum sekolah umumnya, seperti SMP dan SMA.

Hanya saja, karena bermukim di pesantren, para santri di perkotaan juga dibekali dengan ilmu-ilmu keislaman. Misalnya, ilmu fikih, gramatika bahasa Arab, dan lain-lain. Kalau pesantren yang berafiliasi ke NU (Nahdlatul Ulama), maka dibiasakan juga (para santri) untuk mengamalkan tradisi warga Nahdliyin. Umpamanya, tahlilan maupun maulid Nabi SAW.

Anda berasal dari keluarga pendiri salah satu pesantren di perkotaan. Bisa diceritakan sedikit tentang kiprah orangtua Anda, KH Syukron Ma’mun?

Tentu kita ingin menjaga kaum Muslimin di ibu kota, Jakarta. Menjaga akidahnya, akhlaknya, dan lain-lain. Sebab, ada kecenderungan bahwa semakin maju suatu bangsa dari aspek lahiriahnya, maka aspek kerohaniannya bisa jadi tergeser atau bahkan tergusur. Kita bisa melihat, misalnya, pada praktik-praktik keagamaan yang mulai terpinggirkan sekarang, seiring dengan kemajuan teknologi dan zaman.

Jadi, sebetulnya ayah saya memiliki keinginan besar untuk itu. Kita ingin menjaga agar pendidikan keagamaan tetap ada di kota-kota metropolitan, seperti Jakarta. Maka, ketika Daarul Rahman kita pindah dari Kebayoran Baru, itu syaratnya tetap harus lokasinya ada di Jakarta.

Maka pindahnya yaitu di Jagakarsa, Jakarta Selatan. Sebab, kita tetap ingin memberikan warna pesantren di tengah Ibu Kota ini.

Bagaimana pengalaman Pondok Pesantren Daarul Rahman, terus bertahan di lingkungan perkotaan?

Sebetulnya, dalam tradisi pesantren itu ada yang namanya arkanul ma’had atau rukun-rukun pesantren. Jadi, harus ada beberapa dimensi yang kita penuhi untuk bisa mendirikan sebuah pesantren. Misalnya, dari sosok kiainya.

Karena itu, seorang kiai tidak hanya harus (berpengaruh) kuat di dalam pesantren. Ia juga mesti merupakan seorang tokoh yang pengaruhnya sudah mengakar di tengah masyarakat.

Untuk menyebut salah satu contoh, seperti ayahanda saya pada masa dulu. Beliau itu terlebih dahulu mengajar di tengah masyarakat, baru kemudian mendirikan sebuah pesantren. Beliau saat itu aktif memberikan pengajian dari satu mushala ke mushala lainnya; dari masjid ke masjid. Sehingga, muncul kekuatan atau daya sosial seorang kiai dan pesantren yang diasuhnya.

Jadi, biasanya pesantren yang bisa bertahan hingga puluhan tahun lamanya itu karena memang ada kekuatan figur kiainya. Sang kiai mampu menyatu dengan masyarakat. Setelah banyak memberikan pengajian, akhirnya banyak masyarakat yang ingin memondokkan anak-anaknya ke pesantren yang diasuhnya itu.

Faktor kiai menjadi motivasi utama para orang tua di perkotaan untuk memondokkan putra-putri mereka?

Itu bergatung pada pihak orang tua juga. Kalau misalnya keluarga itu sudah memiliki tradisi mengirimkan anak ke pesantren, biasanya mereka berharap anaknya menjadi fuqaha dan ulama.

Namun, sekitar 20 persen atau 30 persen para pendaftar itu, ada juga yang memasukkan anaknya ke pesantren murni karena ingin akhlak buah hati mereka lebih baik lagi.

Pada masa kini, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sangatlah pesat. Apakah ini juga menjadi tantangan utama bagi perkembangan pesantren di perkotaan?

Pertama-tama, tantangan bagi pesantren adalah harus mampu menerjemahkan ajaran agama Islam yang ada di dalam literatur khazanah keislaman masa lalu ke dalam kehidupan masa kini. Dengan perkataan lain, menjembatani kemajuan zaman sekarang dan zaman lalu. Apalagi, sekarang dengan adanya pandemi Covid-19.

Kita juga seperti dipaksa untuk melakukan perubahan dalam pelbagai aspek kehidupan. Nah, hal seperti itu juga menjadi tantangan tersendiri buat pesantren. Artinya, semua pesantren harus bisa melakukan aktualisasi diri; bahwa apa yang diajarkan kepada para santri itu masih relevan dengan perjalanan zaman.

Tantangannya berikutnya adalah digitalisasi. Ambil contoh, ketika ada pandemi Covid-19 ini, minim sekali pesantren-pesantren yang melakukan pembelajaran secara online (daring). Banyak di antaranya yang masih menggelar pembelajaran tatap muka.

Jadi kalau di perkotaan itu tantangannya banyak. Misalnya, tentang disiplin keilmuannya juga. Sebab, seperti yang sudah saya katakan di awal, tidak semua orang tua memasukkan anak-anaknya ke pesantren dengan maksud agar mereka menjadi fuqaha.

Pihak orang tua pun menginginkan anak-anaknya untuk, misalnya, menguasai ilmu pengetahuan umum dan sains. Dengan begitu, kelak di kemudian hari anak-anak ini tumbuh sebagai berbagai profesi di dunia modern. Menjadi dokter atau ahli komputer, umpamanya.

Apa harapan Anda terhadap pesantren-pesantren yang ada di perkotaan?

Secara internal, kita tentu berharap bahwa pesantren di perkotaan selalu berinovasi. Improvisasi juga perlu agar pesantren itu bisa tetap berjalan selaras dengan derap perkembangan zaman. Kalau secara eksternal, kita berharap ada kesadaran bersama di kalangan umat Islam.

Bahwa keberlangsungan ajaran agama ini perlu dijaga. Sehingga, pesantren-pesantren perlu terus didukung. Sebab, di sanalah para ulama mencetak anak-anak Muslimin untuk menjadi generasi-generasi yang unggul. Baik pesantren di perdesaan maupun perkotaan, eksistensi dunia pesantren merupakan tanggung jawab kita bersama.

photo
Menurut Gus Faiz, keberadaan pesnatren di perkotaan sangat dibutuhkan para orang tua Muslim. - (DOK Facebook Pesantren Daarul Rahman)

Melanjutkan Perjuangan Ayahanda

KH Muhammad Faiz atau yang biasa dipanggil Gus Faiz merupakan putra kedua dari KH Syukron Ma’mun. Ayahnya itu merupakan seorang ulama besar yang berasal dari Madura, Jawa Timur.

Masyarakat pada masanya mengenal Kiai Syukron sebagai “singa podium". Sebab, alumnus Pondok Modern Darussalam Gontor itu piawai dalam berorasi dan pidato.

Gus Faiz sejak kecil dididik langsung oleh kedua orang tuanya dengan pendidikan agama. Mereka menaruh harapan bahwa ia kelak dapat menjadi seorang ulama. Dengan begitu, perjuangan dakwah Kiai Syukron dapat diteruskan.

Sejak masih sebagai pelajar sekolah dasar (SD), Gus Faiz sering diajak ayahnya dalam safari dakwah. Mereka menyambangi banyak daerah di Jakarta. Di tiap majelis, Kiai Syukron didatangi banyak jamaah yang ingin menimba ilmu darinya.

“Jadi di masa-masa itu saya betul-betul didik oleh ayah saya sendiri untuk mengerti dunia seorang kiai. Dari kecil saya diajak ikut berceramah oleh ayah saya, ke mana-mana,” ujar Gus Faiz kepada Republika, baru-baru ini.

Menurut Gus Faiz, saat itu ayahandanya sering memberikan pengajian rutin di majelis-majelis taklim yang ada di Jakarta. Karena itu, banyak masyarakat yang kemudian memondokkan anak-anaknya ke Daarul Rahman. Itu adalah pondok pesantren yang didirikan sejumlah ulama, termasuk Kiai Syukron.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by OFFICIAL PP DAARUL RAHMAN (daarulrahman_official)

“Jadi kekuatan ayah saya itu di situ. Karena memiliki majelis taklim yang banyak, jadi santri-santri pertamanya adalah anak-anak dari orang tua yang mengaji kepada ayah saya di Jakarta ini,” ucapnya.

Gus Faiz mengikuti aktivitas dakwah ayahandanya hingga berusia 12 tahun. Setelah itu, dia fokus belajar bersama santri-santri lainnya di Daarul Rahman. Setelah lulus Madrasah Aliyah (MA), ia dikirim ke Madinah, Arab Saudi.

Di Kota Nabi, Gus Faiz mengambil jurusan Syariah di Jamiyah Islamiyah. Empat tahun lamanya ia menuntut ilmu di sana. Lulus dengan nilai yang memuaskan, ia pun kembali ke Tanah Air. Di Pondok Pesantren Daarul Rahman, Jagakarsa, Jakarta Selatan, dirinya membantu sang ayah untuk mengajar para santri.

Pada 1999, ia terbang ke Mesir untuk mengikuti kuliah jurusan syariah di Kairo University. Kurun waktu empat tahun dihabiskannya di Negeri Piramida ini. Gus Faiz mengaku bersyukur karena pernah menimba ilmu di dua kota Islam tersebut. Di Madinah, ia bisa menggali paham Wahabi. Sedangkan di Mesir, dirinya mendalami paham ahlus sunnah waljama’ah (aswaja) dan menggali paham Mu’tazilah.

Dengan memahami berbagai paham keagamaan tersebut, Gus Faiz akhirnya bisa melihat pemahaman keislaman dari kacamata yang berbeda-beda, yang membuatnya lebih bijak dalam menyikapi segala perbedaan.

Tidak hanya sibuk di Daarul Rahman, ia juga bergiat di organisasi masyarakat (ormas) Islam. Di NU, misalnya, Gus Faiz aktif sebagai Wakil Ketua Lembaga Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Posisinya juga sebagai Wakil Rais Syuriah Pengurus Wilayah NU DKI Jakarta. Sedangkan di Majelis Ulama Indonesia (MUI), Gus Faiz dipercaya sebagai Wakil Sekretaris Komisi Fatwa.

“Saya mengambil jurusan syariah semua, termasuk di Madinah. Karena kalau syariah itu semuanya tercakup, Alqur’an haditsnya dapet dan fikih-Ushul fikihnya juga dapat,” jelas ayah tiga orang anak ini.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat