Cristin Natalia Inten Patoh. | DOK IST

Oase

Cristin Natalia Patoh, Istiqamah dengan Islam

Melihat komitmen sang ayah, Cristin mulai berpikir untuk juga istiqamah dengan keislamannya.

OLEH RATNA AJENG TEJOMUKTI

Kadar keimanan dalam diri setiap orang berbeda-beda. Ada saatnya kadar itu naik, tetapi sering kali terjadi ia turun juga. Padahal, iman merupakan fondasi dalam menjalankan segala amal ibadah kepada Allah SWT. Untuk menjaganya agar tetap kuat, seorang Muslim perlu berdoa meminta ketetapan hati.

Pasang surut keimanan dan keislaman juga pernah dialami seorang Muslimah, Cristin Natalia Inten Patoh. Perempuan asal Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, itu memiliki latar belakang keluarga yang beragam. Dimulai dari sosok neneknya.

Sang nenek lahir di Manado, Sulawesi Utara, dari keluarga pemeluk agama Nasrani. Takdir mempertemukannya dengan seorang laki-laki Muslim. Pernikahan pun terjadi. Neneknya Cristin Natalia itu lantas menjadi mualaf.

Kakek dan neneknya menurunkan beberapa anak. Salah satunya ialah perempuan yang kelak melahirkan Cristin. Wanita ini saat dewasa jatuh cinta pada seorang lelaki asal Papua yang memeluk Kristen.

Meskipun antara keduanya terdapat perbedaan agama, rasa cinta itu tidak padam. Bahkan, mereka lalu memutuskan untuk menikah. Pernikahan ini sempat ditentang pihak kakek dan nenek Cristin. Walaupun Cristin saat itu telah lahir, rumah tangga mereka tetap tak kunjung mendapatkan restu.

Ayah Cristin menolak menjadi Muslim. Jadilah ibundanya Cristin mengikuti agama suaminya itu sehingga menjadi Nasrani. Namun, rumah tangga ini tidak bisa bertahan lama. Karena beberapa hal, keduanya memutuskan untuk berpisah.

Cristin menuturkan, sejak perceraian kedua orang tuanya itu, dia mengikuti sang ibu. Termasuk ketika ibundanya itu kembali memeluk Islam setelah menikah lagi dengan seorang lelaki Muslim. Ia pun mengikuti.

Sementara itu, hubungannya dengan ayah kandung tetap baik-baik saja. Tidak lama setelah ibundanya menikah lagi, ayahnya itu juga menikah. Di Timika, Papua, bapaknya itu bahkan sudah menekuni dunia syiar agama Nasrani dengan menjadi seorang pendeta.

“Sejak bercerai, baik ibu maupun ayah kandung saya kini telah memiliki rumah tangga masing-masing. Saya tetap berhubungan baik dengan ayah meski sudah berbeda rumah. Saya ikut ibu, tinggal di Berau, Kalimantan Timur, karena suaminya bekerja di perkebunan sawit,” ujar Cristin kepada Republika beberapa waktu lalu.

 
Sejak kembali memeluk Islam, ibunya memberikan nama baru kepadanya: Fahira.
 
 

Sejak kembali memeluk Islam, ibunya memberikan nama baru kepadanya: Fahira. Sebenarnya, Cristin senang dengan nama itu. Namun, keputusannya berganti nama ditentang keras oleh ayah kandungnya. Bapaknya itu marah besar begitu mendengar kabar bahwa putrinya akan mengubah nama menjadi Fahira.

Akhirnya, Cristin tidak jadi mengganti namanya. Sebab, perempuan kelahiran 25 Desember 1999 itu tidak ingin melihat kedua orang tua kandungnya terus menerus bertengkar. Ia lebih suka menghindari prokontra.

Meskipun demikian, ibu dan keluarga Muslimnya di Berau tetap memanggilnya Fahira. Adapun bapak kandungnya di Papua tidak begitu menyadari itu karena nama Cristin di kartu tanda penduduk (KTP) tidak berubah. Bagi Cristin, cara ini mungkin bisa menjadi jalan tengah demi menghindari perdebatan.

Ia selalu berupaya menghormati dan menghargai sang ayah kandung. Menurutnya, perbedaan keyakinan tidak menjadi alasan untuk merenggangkan komunikasi antara anak dan orang tua.

Beberapa kali, Cristin mengunjungi sang ayah di Timika. Bapaknya itu pun bersikap adil mengenai keputusan putrinya memeluk Islam. Tidak pernah Cristin dipaksa mengikuti iman Kristen walaupun memang diskusi-diskusi kecil sering terjadi terkait masalah ini.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Cristin natalia (christin_natalia.ip)

Kuatkan akidah

Sebagai seorang Muslimah, Cristin berusaha menguatkan akidahnya. Ia mengakui, perpindahan agama dari non-Islam ke Islam lagi sempat membuat dirinya “limbung". Ia sendiri tidak ingin menganggap agama hanyalah sebuah identitas di KTP. Sebab, agama-lah yang menjadi tumpuan setiap manusia dalam mengarungi hidup di dunia.

Sejak berusia belasan tahun, Cristin sudah hidup mandiri. Ibu kandung dan ayah tirinya tinggal di sebuah rumah dinas milik perusahaan perkebunan sawit. Karena alasan lebih dekat dengan sekolah, Cristin pun tinggal terpisah dari keduanya. Ia menetap di rumah seorang kerabatnya.

Jauh dari orang tua, di satu sisi, membuatnya bebas. Namun, bukanlah kebebasan yang menarik hatinya. Cristin saat itu justru berpikir, perlu tempaan pendidikan agama. Waktu duduk di kelas dua SMK, dia mulai merasakan keresahan psikologis.

“Hati saya terasa kosong saat itu. Saya Muslim, tetapi terasa ada yang kurang. Apakah karena ibadah saya yang jauh dari sempurna?” tuturnya.

 
Hati saya terasa kosong saat itu. Saya Muslim, tetapi terasa ada yang kurang. Apakah karena ibadah saya yang jauh dari sempurna
 
 

Cristin kemudian mulai memperbaiki cara-caranya beribadah. Shalat lima waktu tidak pernah ditinggalkannya. Ia juga berusaha mengikuti beberapa majelis taklim untuk remaja putri di daerah tempat tinggalnya. Bahkan, wanita ini memutuskan untuk berhijab.

Kalau melihat kehidupan beragama di keluarganya, mungkin saat itu Cristin bisa dikatakan mengikuti jejak ayah tirinya. Ia mengatakan, ibu kandungnya sejak kembali memeluk Islam tidak begitu antusias dalam beribadah. Berbeda dengan bapaknya yang justru semakin kuat dalam menjalankan agama.

Melihat komitmen sang ayah, Cristin mulai berpikir untuk juga istiqamah dengan keislamannya. Dia juga tidak ingin setengah-setengah dalam menjalankan agama ini. Menguatkan akidah di manapun berada, itulah yang penting. Ketika telah meyakini suatu kepercayaan, seharusnya juga menjalani segala perintah-Nya dengan sepenuh hati.

Tak hanya berhenti di sana. Cristin pun mulai mencari teman-teman yang gemar mengikuti kajian keislaman. Dia mulai dengan berselancar di dunia maya.

“Entah kenapa saya mulai tertarik dengan kelompok wanita bercadar. Saya saat itu menemukan (informasi) satu komunitas di daerah saya melalui Instagram. Komunitas ini bagian dari Wahdah Islamiyah,” ucapnya.

Mereka tidak pernah memaksanya untuk ikut bercadar. Bagaimanapun, Cristin merasa busana demikian bisa menguatkan ketertarikannya pada hal-hal religius.

Memang niatnya untuk memperbaiki diri dan terus mendalami Islam. Pada November 2017, ia mulai membiasakan diri untuk mengenakan setelan busana jilbab panjang dan penutup wajah itu.

photo
Cristin Natalia Inten Patoh dan suami. - (DOK IST)

Nama bukan ukuran

Cristin bersyukur karena memiliki banyak kawan yang mendukungnya untuk terus menguatkan akidah Islam. Di komunitas kajian itu, ia sering mengikuti diskusi-diskusi keislaman. Satu yang disukainya ialah majelis ilmu yang mengundang sejumlah ustaz dan ustazah.

Pada suatu hari, Cristin memberanikan diri untuk bertanya tentang hal yang selama ini merisaukannya. Kepada seorang dai—sebut saja Ustaz Rahmat—ia menanyakan tentang perlu tidaknya mengganti nama. Sebab, nama “Cristin” cenderung menyerupai pemeluk agama tertentu yang non-Islam.

Memang, ada kisah di balik nama tersebut. Ia lahir dan menjalani masa anak-anak di tengah keluarga Nasrani. Sesudah kedua orang tuanya bercerai, wanita ini ikut ibunya, yang lantas menikah lagi dengan seorang Muslim. Jadilah kini ia dan sang ibunda memeluk Islam.

Pertanyaan selanjutnya pun muncul: apakah Cristin harus bersyahadat lagi saat sudah dewasa? Sebab, keislamannya itu terjadi saat dirinya masih anak-anak. Ustaz Rahmat lalu menjelaskan kepadanya.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Cristin natalia (christin_natalia.ip)

Tidak perlu bersyahadat lagi karena ibunya itu telah bersyahadat bersamanya di masa kecil. Menurut mubaligh tersebut, Cristin hanya perlu terus meningkatkan ketakwaan kepada Allah Ta’ala. Caranya dengan giat belajar agama Islam dan rutin beribadah, sunah dan terlebih lagi yang wajib.

Perlukah mengganti nama? Menurut sang ustaz, nama bukanlah tolok ukur keagamaan. Akidah seseorang tidak dipengaruhi oleh namanya. Maka, tidak masalah bila dia tetap dengan nama lahirnya itu. Jawaban tersebut menenangkan hati Cristin.

Kini, ia sudah menikah dengan seorang Muslim yang dicintainya. Rumah tangganya sempat diterpa ujian. Beberapa bulan sesudah akad dan resepsi, pasangan ini mendapatkan kabar gembira. Cristin mengandung anak pertama.

 
Allah memiliki rencana lain untuk saya dan suami. Saya yakin, semua ujian memiliki hikmah di baliknya.
 
 

Namun, kehamilannya itu tidak dapat bertahan lama. Ia mengalami keguguran sehingga harus kehilangan janin yang dikandungnya. “Allah memiliki rencana lain untuk saya dan suami. Saya yakin, semua ujian memiliki hikmah di baliknya,” ujar dia.

Cristin pun percaya, suatu hari Allah akan mempercayakan kembali kepada ia dan suami untuk dikaruniai seorang anak. Saat ini, dia merasa perlu untuk terus memperbaiki diri. Seperti dinasihatkan beberapa ustaz, yang paling penting adalah jangan pernah melalaikan shalat lima waktu.

Suami Cristin merupakan seorang fotografer. Kondisi pandemi Covid-19 sempat membuat penghasilannya menurun. Namun, keduanya terus bertahan dengan menjalani bisnis produk-produk yang dijual secara daring. Cristin menjadi model foto untuk konten-konten di Instagram, sedangkan suaminya yang menjadi juru potretnya.

“Mama suami saya juga bercadar sehingga suami saya tidak mempermasalahkan cara berpakaian ini. Saya juga diizinkan untuk bekerja menjadi model iklannya. Hanya saja, memang harus memilah produk yang saya iklankan," kata dia.

Satu hal yang terus diharapkannya agar terwujud, yakni hidayah iman dan Islam. Cristin sangat berharap, ayah kandungnya pada suatu hari akan mendapatkan petunjuk Ilahi. Meski hidayah itu adalah urusan Allah, sebagai anak dirinya hanya bisa berdoa.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat