Asma Nadia | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Egois di Masa Krisis

Apakah kalangan egois itu tidak menyadari betapa berbeda krisis akibat pandemi dengan krisis sebelumnya?

Oleh ASMA NADIA

OLEH ASMA NADIA 

Sebelum ada aplikasi PeduliLindungi, mungkin kita tidak bisa menyebutkan jumlah mereka yang jelas terpapar tetapi masih berkeliaran di ruang publik. Kini dengan adanya kewajiban melakukan pendaftaran diri dan pindai kode bar bagi pemegang aplikasi sebelum masuk ke ruang publik, datanya mulai terlihat.

Setidaknya lebih dari 3.000 orang positif Covid-19 masih berkeliaran di fasilitas umum. Sekalipun pada aplikasi tercantum merah karena pengawasan tidak ketat atau alasan lain, kenyataannya mereka leluasa berkeliling.

Angka 3.000 bukanlah sedikit. Bayangkan jika setiap penderita menulari satu orang, maka jumlah korban akan bertambah 3.000. Mereka yang baru terpapar, karena tidak menyadari, tetap melakukan mobilitas tinggi. Maka penularan akan terus meluas dan meluas.

Egois meski harus diakui sebagai salah satu karakter umum, tetapi di masa krisis sikap ini menempatkan manusia pada kehinaan yang lebih rendah. “Ngaku saja nakes, biar dapat vaksin duluan.”

 
Egois meski harus diakui sebagai salah satu karakter umum, tetapi di masa krisis sikap ini menempatkan manusia pada kehinaan yang lebih rendah.
 
 

Kalimat di atas merupakan salah satu contoh yang akrab di awal pandemi ketika vaksinasi masih terbatas dan dikhususkan lebih dahulu bagi tenaga kesehatan. Mereka yang egois berusaha memanfaatkan kesempatan walau belum menjadi haknya.

Contoh lain? “Bilang saja belum vaksin.”

Masyarakat yang sudah dua kali vaksin, sebagian melihat peluang mendapat booster vaksinasi ketiga dari jenis berbeda yang kebetulan sedang diberikan di daerahnya. Padahal booster ketiga saat ini baru diperuntukkan bagi tenaga kesehatan.

“Ambil sedikit belum tentu ketahuan.” Fasilitas vaksin atau paket bantuan yang sedianya ditujukan untuk kepentingan publik malah dimanfaatkan pribadi oleh pihak yang semestinya mendistribusikan.

“Saya akan tunjuk perusahaan saudara untuk menyiapkan paket, tapi jangan lupa komisi dari tiap paketnya.”

Paling jahat jika terdapat pihak yang menggunakan kekuasaan untuk memperkaya diri dari krisis yang tercipta. Dana pemerintah yang seharusnya cukup untuk menyebarkan lebih banyak vaksin, akan berkurang jauh penerima manfaatnya.

 
Paling jahat jika terdapat pihak yang menggunakan kekuasaan untuk memperkaya diri dari krisis yang tercipta.
 
 

Memprihatinkan, tapi sudah merupakan rahasia umum bahwa di masa pandemi ini memang berkembang krisis lain.

Ketika mengalami krisis moneter dulu, Indonesia masih bisa bersandar pada negara-negara maju untuk memperoleh bantuan. Namun, pandemi yang mendunia, membuat negara maju pun mengalami kesulitan sama, bahkan ada yang lebih parah.

Jika di masa krisis moneter, para pengusaha besar selain pengusaha mikro yang menjadi tulang punggung kebangkitan ekonomi negeri merupakan pihak yang paling terpengaruh, kini baik perusahaan besar maupun kecil, semua terimbas.

Masih kilas balik  krismon, dulu masyarakat di Pulau Jawa paling terimbas, sementara daerah luar Jawa yang bertanam dengan hasil bumi yang dijual ke luar negeri, justru mendapat berkah karena harga pasaran meningkat.

Sekarang, baik Jawa atau luar Jawa, kota desa, dusun, hingga pelosok terpencil, seluruhnya terdampak parah. Pendeknya, krisis akibat pandemi benar-benar merusak setiap sendi perekonomian bangsa.

 
Keberadaan mereka yang egois menambah beban yang sudah terlalu berat untuk dipikul.
 
 

Situasi memburuk sebab pada saat yang sama, kita pun digerogoti kalangan egois yang mengutamakan kepentingan sendiri, meski merugikan sesama. Apakah kalangan egois itu tidak menyadari betapa berbeda krisis akibat pandemi dengan krisis sebelumnya?

Sejak wabah bergulir, sejatinya, sedikit saja mengambil hak orang, sangat mungkin kita berakibat nyawa. Korupsi meski terhadap satu dosis vaksin sekalipun akan berpotensi pada jatuhnya korban jiwa --yang mungkin bisa dihindari.

Ya, di awal wabah, kita tahu akan sangat sulit mengatasi penyebaran korona. Kita berhadapan dengan virus yang tak terlihat mata, musuh yang tidak bisa ditangkap atau dimusnahkan dengan senjata yang ada.  

Di luar perkiraan, ternyata muncul musuh lain, kalangan egois yang tidak peduli krisis. Meski mereka bisa ditangkap dan diadili. Dibutuhkan kerja sama serta kerja keras semua pihak agar bangsa ini sanggup melewati wabah.

Keberadaan mereka yang egois menambah beban yang sudah terlalu berat untuk dipikul. Padahal seharusnya cukup kesulitan hebat karena pandemi saja yang kita hadapi, tanpa harus ditambah mewabahnya  sikap egois- yang entah bagaimana menyembuhkannya. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat