Makam Kiai dan pembangun Pesantren Tegalsari Kiai Ageng Muhammad Besari di Ponorogo. | M Husnil

Opini

Hikayat Ikan dari Tegalsari dan Cikal Bakal Pesantren

Tegalsari merupakan pesantren tua yang menginspirasi berdirinya banyak pesantren di Nusantara.

OLEH MUHAMMAD HUSNIL

Khadimul Majelis Hijaiyah dan penulis sejarah

 

Tak ada lauk lain pada malam itu kecuali ikan seukuran tangan bocah berusia dua tahun. Mereka mendapatkannya di sungai Kayeng. Di pinggir masjid yang didirikan Kyai Danapura (sekarang dinamai Masjid Baiturrahman) mereka membakar ikan itu. Tetapi mereka tidak segera menyantapnya begitu sudah matang. Mereka tak tahu harus bagaimana membagikan ikan itu agar cukup untuk tiga orang. Khotib Anom Besari, Mohammad Besari, dan Nur Shodiq Besari, tiga bersaudara itu, tidak ingin menyakiti perasaan masing-masing saudaranya. Mereka adalah putra Kyai Anom Besari, seorang ulama dan penyebar Islam di Kuncen, Caruban, Madiun. 

Sebagai yang tertua, Khotib Anom Besari mempersilakan kedua adiknya untuk mengambil bagian mana saja. Kalau kepala, maka akan mendapatkan bagian yang renyah di luar tapi bagian mata, insang, dan otaknya lembut dan sedikit berduri, tetapi memang dagingnya secuil saja; kalau mengambil yang tengah maka itu akan penuh daging, tapi durinya juga  cukup banyak; sementara bagian ekor itu dagingnya memang kecil, tapi ekornya kalau dimakan akan berbunyi “kriuk”. Rangup.  

Karena kedua kakaknya tak ada yang bergerak, Nur Shodiq Besari mengambil bagian ekor. “Sebagai adik paling kecil, saya ambil bagian ini,” katanya. 

Mohammad Besari yang menghormati kakaknya segera mengambil bagian kepala ikan. “Monggo, yang besar itu bagian Kangmas,” katanya. 

Malam itu mereka akhirnya makan dengan riang, dan cukup bagi mereka untuk melewati malam sambil ngangsu kaweruh dari Kyai Danapura, santri Sunan Bayat, di dukuh Setono, Tegalsari, Ponorogo. Selepas mengaji, mereka beriktikaf di masjid sepanjang malam sambil berdzikir, mengolah rasa dan raga. 

Kisah ini sudah berusia sekira empat abad, turun-temurun dikisahkan orang tua ke anaknya di keluarga besar Kyai Ageng Mohammad Besari. Hingga kepada generasi kedelapan, salah satunya Kunto Purnomo atau biasa dipanggil Gus Apang. Bagi Ketua Yayasan Kyai Ageng Mohammad Besari Tegalsari tersebut, kisah ini bukan hanya tentang bagaimana para buyutnya melewati masa-masa belajar di tengah keterbatasan, tetapi juga ada simbol penting dari pemilihan bagian ikan tersebut. Yaitu bagaimana akhirnya mereka mengambil jalan hidup mereka. Khotib Anom Besari di kemudian hari menjadi penghulu di Tulungagung dan dimakamkan di sana, tepatnya di Klambret, desa Srigading, Tulungagung, Jawa Timur. Beliau dikenal sebagai seorang ulama yang dipercaya di bidang pemerintahan karena menjadi penghulu. Bekerja sebagai pejabat pemerintah tetapi juga sebagai penjaga suara umat. Kyai Khotib Anom Besari memang memposisikan diri sebagai penengah. Beliau sangat berhasil mengemban amanah ini, sehingga beliau mendapatkan penghormatan sebagaimana layaknya. Saat ini makam beliau menjadi salah satu destinasi ziarah di Tulungagung. 

photo
Suasana Masjid Pesantren Tegalsari Ponorogo Jawa Timur - (M Husnil)

Sementara kedua saudaranya diminta Kyai Danapura untuk membabat daerah yang sepelemparan batu dari Setono, yaitu Tegalsari. Setelah membabat alas, Mohammad Besari dan Nur Shodiq Besari membangun masjid. Di masjid inilah mereka mulai menyebarkan ajaran Islam. Mereka melakoni dakwah dari satu pintu ke pintu kepada masyarakat sekitar. Mereka mulai dikenal sebagai pendakwah. Dengan kesabaran dan keuletan mereka, satu per satu orang mulai datang untuk belajar kepada mereka. Mulailah dibangun pondokan. Inilah cikal bakal pesantren Tegalsari, yang didirikan pada 1724. Abad 17 ini memang masa-masa pendalaman proses islamisasi. Ada banyak sekali dakwah Islam, tetapi menurut Martin van Bruinessen, peneliti dari Belanda,  pesantren Tegalsari ini merupakan bukti penting keberadaan lembaga pesantren di Jawa. Sebelumnya memang ada lembaga pengajaran, tetapi terbatas. Belum sistematis dan mendalam. Sementara Pesantren Tegalsari sudah memiliki sistem pengajaran dan layak disebut sebagai pesantren. 

Mereka berdua mulai dikenal dengan sebutan kyai, sebagai penghormatan atas keilmuan dan keteladanan mereka. Kyai Mohammad Besari dan Kyai Nur Shodiq Besari pun berbagi tugas. Kyai Nur Shodiq yang mengelola dan mengurusi semua hal terkait kebutuhan santri. Bahkan, juga mengajari mereka olah kanuragan. Beliau ini merupakan santri yang dipercayai sebagai penghafal al-Quran  pertama di Ponorogo ini. Di makamnya tertulis gelar al-Hafidz, penghafal al-Quran. 

Sementara Kyai Ageng Mohammad Besari menjadi pemimpin pesantren Tegalsari ini. Beliau mengambil bagian kepala. Beliau bertanggung jawab atas semua proses pendidikan di dalam, memberikan pelajaran agama Islam dan juga memperdalam olah rasa para santri. Beliau dinilai berhasil membangun dan memimpin pesantren ini. Dan memang, banyak dari keturunan dan murid-muridnya yang menjadi pemimpin. 

Menurut Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, ada dua jalur kepemimpinan di Indonesia ini. Pertama, dari jalur raja-raja jawa. Kedua, dari jalur Ki Ageng Mohammad Besari. HOS Tjrokroaminoto merupakan cicitnya. Dalam sejarah Indonesia, kita tahu peran besar HOS Tjokroaminoto. Sosok yang dijuluki sebagai raja tanpa mahkota itu berhasil menggerakkan umat Islam dan kemudian menjadi pemimpin penting gerakan kemerdekaan Indonesia. Bahkan, salah satu keturunan Kyai Mohammad Besari ini menjadi presiden RI, yaitu Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. 

Selain itu, dari keluarga Besari ini pula lahir para ulama yang meneruskan dakwah mereka, seperti Ki Ageng Basyariah di Madiun, atau yang turut mendirikan pesantren besar, seperti menantu Kyai Khalifah, Kyai Sulaiman Jamaluddin yang mendirikan Pesantren Gontor Ponorogo pada abad 18. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat