Halaman muka Dialog Jumat: Sejarah Laskar Hizbullah | Republika/Dialog Jumat

Tema Utama

Embrio Laskar Hizbullah

Dibentuk pada masa pendudukan Jepang, Laskar Hizbullah menjadi wadah perjuangan kaum santri dalam membela Tanah Air.

OLEH MUHYIDDIN

Dibentuk pada masa pendudukan Jepang, Laskar Hizbullah menjadi wadah perjuangan kaum santri dalam membela Tanah Air. Sesudah Indonesia merdeka, pengikutnya turut mewarnai perkembangan militer nasional.

Sejarah Laskar Hizbullah

Hawa Perang Dunia II mulai terasa di Indonesia terutama sejak kedatangan militer Jepang. Dai Nippon, demikian sebutannya, memang sebuah negeri di Asia. Namun, mulai awal abad ke-20 kekaisaran tersebut memiliki ambisi ekspansif yang tak ubahnya kekuatan imperialis Eropa. Kerajaan yang berjulukan Negeri Matahari Terbit itu menjalankan penjajahan dengan mencaplok satu per satu wilayah tetangga.

Kejutan besar dilakukannya pada 7 Desember 1941. Armada laut dan udara Nippon pada hari itu menyerang pangkalan militer Amerika Serikat (AS) di Pearl Harbor, Hawaii. Pangkalan angkatan laut terbesar sekawasan Samudra Pasifik itu luluh lantak.

Jepang bergerak relatif sangat cepat. Hanya beberapa hari sesudah itu, armada tempurnya mulai berupaya menduduki daerah-daerah tambang minyak di Kalimantan Utara. Sebelum sampai ke sana, mereka terlebih dahulu menggempur basis pertahanan AS di Filipina. Kesuksesannya membuat panglima AS di sana, Jenderal McArthur, dan sejumlah pasukan terpaksa menyingkir ke Australia.

Pada Januari 1942, ladang-ladang minyak yang dikuasai Hindia Belanda di Tarakan, Balikpapan, dan Murung Pundak jatuh ke tangan Jepang. Dalam sekejap, balatentara Nippon terus bergerak ke arah selatan. Hingga awal Februari 1942, seluruh Pulau Kalimantan telah didudukinya.

Inilah detik-detik menuju kehancuran tatanan lama Hindia Belanda. Pada 27 Februari 1942, Pertempuran Laut Jawa pecah. Pihak Jepang menghadapi aliansi yang terdiri atas militer Belanda, AS, Inggris, dan Australia. Dalam perang tersebut, bendera Matahari Terbit berkibar, sementara kapal-kapal Sekutu kian melenyap dari pandangan.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (republikaonline)

Menelan kekalahan demi kekalahan, pemerintahan Hindia Belanda bagaikan harimau ompong yang tak berkuku. Pada 8 Maret 1942, Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Penyerahan kekuasaan atas Indonesia itu dilakukan kedua belah pihak di Kalijati, Subang, Jawa Barat.

Mulai saat itu, berakhirlah masa kolonialisme Belanda yang sudah berlangsung begitu lama. Pada saat yang sama, dimulailah era pendudukan Nippon, yakni satu-satunya kekuatan Poros dalam PD II di arena Pasifik.

Beberapa hari setelah itu, dari Tokyo turun perintah yang termaktub dalam dokumen “Hayashi Shudan Senryo-chi Tochi Yoku”, ‘Rencana umum untuk kendali atas wilayah-wilayah pendudukan.’ Berdasarkan hal itu, Jenderal Hitoshi Imamura selaku komandan Tentara Angkatan Darat Jepang ke-16, yang menguasai Jawa-Madura, mengeluarkan berbagai kebijakan.

Salah satunya menginstruksikan jajarannya untuk merebut hati penduduk lokal. Tujuan tunggalnya supaya mereka dapat mengeluarkan sumber-sumber daya yang ada demi mendukung Jepang dalam PD II.

 
Dibuatlah berbagai program yang membingkai seolah-olah Jepang adalah “pembebas” bangsa Indonesia dari belenggu kolonialisme Eropa.
 
 

Pemerintah militer Nippon di Jawa kemudian berusaha memanfaatkan sentimen anti-Belanda yang berlaku di tengah masyarakat setempat. Selanjutnya, dibuatlah berbagai program yang membingkai seolah-olah Jepang adalah “pembebas” bangsa Indonesia dari belenggu kolonialisme Eropa.

Gerakan Tiga A, yakni “Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, Nippon Pemimpin Asia”, pun digalakkan. Mesin propaganda ini gagal karena digerakkan bukan oleh tokoh yang dikenal luas publik Indonesia.

Pada 16 April 1943, Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera), bekerja sama dengan sejumlah tokoh nasional, termasuk Sukarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan KH Mas Mansur. Walaupun cabangnya tersebar ke banyak daerah, Putera dinilai Nippon masih belum mencukupi.

Menyadari bahwa umat Islam merupakan elemen terbesar bangsa Indonesia, Jepang pun bersiasat. Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) kemudian dibangkitkan kembali oleh Nippon. Dikatakan “bangkit lagi” karena MIAI sudah terbentuk sejak zaman Belanda, tepatnya sebagai hasil rapat para pemimpin Muslim di Mushola Pondok Pesantren Kebondalem, Surabaya, Jawa Timur, pada 18-21 September 1937.

Namun, Jepang lantas mencurigai popularitas MIAI sehingga organisasi itu dibubarkan pada 24 Oktober 1943. Sebagai gantinya, terbentuklah Madjelis Sjuro Muslimin Indonesia alias Masyumi.

photo
Barisan Laskar Hizbullah. Pada zaman pendudukan Jepang, Laskar Hizbullah dibentuk. Ide awalnya dari usulan KH A Wahid Hasyim. - (DOK NU)

Laskar santri

Gerak cepat Nippon untuk “merangkul” pemimpin dan rakyat pribumi dipicu kondisi PD II di Pasifik. Setidaknya sejak Februari 1943, Sekutu kian sukses menghalau armada Jepang di sejumlah pulau strategis di Lautan Teduh. Dalam kondisi demikian, Tokyo tidak ingin Indonesia—sebuah kawasan luas yang sangat kaya akan sumber daya alam—lepas dari genggaman.

Untuk bertahan dari (upaya) gempuran Sekutu, perlu dukungan masyarakat tempatan. Maka Nippon membuka komunikasi tidak hanya dengan tokoh-tokoh pemimpin nasional, tetapi juga agama. Pada September 1943, pemerintah pendudukan menerima masukan dari sejumlah ulama, yakni KH Mas Mansur, Tuan Guru H Mansur, Tuan Guru H Jacob, H Moh Sadri, KH Adnan, Tuan Guru H Cholid, KH Junaidi, Dr H Karim Amrullah, H Abdul Majid, dan U Mukhtar.

Mereka meminta agar otoritas Nippon segera membentuk tentara sukarela, bukan semacam wajib militer, yang bertujuan mempertahankan Pulau Jawa. Pemerintah pendudukan menerima usulan ini. Maka pada 3 Oktober 1943, terbentuklah Pembela Tanah Air (Peta).

Peta diisi kebanyakan oleh kaum Islam nasionalis. Para komandan batalyon (daidan-cho) diambil dari kalangan ulama. Bagaimanapun, Jepang tidak begitu saja mentransfer pengetahuan tentang kemampuan manajerial kepada mereka. Sebab, hal itu dikhawatirkan akan menjadi senjata makan tuan, yakni sewaktu-waktu tebersit ide untuk memberontak terhadap Nippon.

Sebaliknya, tempaan yang total diberikan kepada para prajurit Peta. Mereka dibina dengan pelatihan militer yang profesional. Pembinanya didatangkan dari militer Jepang langsung.

Beberapa bulan sesudah berdirinya Peta, timbul keinginan dari pihak pemerintah pendudukan untuk memobilisasi tenaga santri. Mereka hendak diarahkan untuk bergabung dengan Heiho. Berbeda dengan Peta, di Heiho para pemuda Indonesia tidak pernah ada promosi kenaikan pangkat atau jabatan. Beberapa penulis bahkan mengibaratkan Heiho layaknya pertahanan sipil (hansip).

 
Niat Jepang untuk memasukkan para santri ke dalam Heiho ditentang oleh tokoh kiai.
 
 

Niat Jepang untuk memasukkan para santri ke dalam Heiho ditentang oleh tokoh kiai. Apalagi, pemerintah pendudukan kemudian mengutarakan maksud bahwa santri yang tergabung dalam Heiho nantinya akan dikirim ke Birma (Myanmar) dan pulau-pulau di Pasifik. Mereka akan diperbantukan di kamp-kamp militer Jepang di sana.

KH Abdul Wahid Hasyim, seorang tokoh Masyumi, menolak permintaan Jepang untuk mengirimkan para santri ke Heiho. Ada beberapa argumentasi yang disampaikannya. Di antaranya bahwa, bagi kaum santri, mempertahankan sejengkal tanah di dalam negeri akan lebih menggugah semangat daripada bertempur di luar negeri—apa pun alasannya.

Selain itu, lanjut putra Hadratussyekh Hasyim Asy’ari ini, sebaiknya Nippon memanfaatkan para prajurit profesional, alih-alih kalangan santri yang justru boleh jadi akan merepotkan basis militer Jepang sendiri di tiap negeri taklukan.

Akhirnya, dia menyarankan pemerintah pendudukan untuk membentuk wadah baru agar dapat menampung kaum santri yang ingin menerima pelatihan militer. Adanya Peta dinilainya belum cukup karena kesatuan tersebut ditujukan untuk pemuda nasionalis, bukan terutama kaum pesantren.

Usulan KH A Wahid Hasyim itu lantas diterima Jepang. Pada 4 Desember 1944, dibentuklah Laskar Hizbullah. Sebagai pendampingnya, didirikan pula Laskar Sabilillah, yang diisi kalangan kiai. Demikian dikutip dari buku Kelompok Paramiliter NU (2004).

 
Laskar Hizbullah dibentuk dengan tujuan mempersiapkan pemuda-pemuda Islam Indonesia untuk mempertahankan Jawa jika tentara Sekutu datang menyerbu.
 
 

Menurut M Abdul Aziz dalam buku Japan’s Colonialism and Indonesia, Laskar Hizbullah dibentuk dengan tujuan mempersiapkan pemuda-pemuda Islam Indonesia untuk mempertahankan Jawa jika tentara Sekutu datang menyerbu. Pelatihan pertama untuk mereka diadakan pada 28 Februari 1945 di Cibarusah—kini termasuk wilayah Kabupaten Bekasi. Para pelatih didatangkan dari militer Jepang. Seorang di antaranya adalah mualaf-tentara bernama Haji Suzuki.

Berbeda dengan prajurit Peta, anggota Laskar Hizbullah saat itu sama sekali tidak diperbolehkan membawa senjata api. Walaupun begitu, tetap saja keberadaannya memantik semangat para santri. Melihat adanya nama kiai-kiai besar di balik organisasi itu, mereka berduyun-duyun mendaftar. Dan, tentunya spirit perjuangan membela Tanah Air mendorongnya untuk itu.

Setiap pesantren di Jawa dan Madura diimbau untuk mengirim lima orang utusan sebagai peserta pelatihan Laskar Hizbullah di Cibarusah. Bila ditotal, proses tersebut diikuti sekitar 500 pemuda Islam, berusia antara 18 dan 20 tahun. Cibarusah—bukan, umpamanya, Jombang—dipilih sebagai lokasi pelatihan karena ada ketokohan KH Raden Ma’mun Nawawi atau yang akrab disapa Mama Cibogo.

photo
ILUSTRASI Dibentuk pada masa pendudukan Jepang, Laskar Hizbullah menjadi wadah perjuangan kaum santri dalam membela Tanah Air. - (Antara)

Santri KH Hasyim Asy’ari itu memiliki pesantren di Cibogo, Cibarusah. Sosok yang bersahabat baik dengan KH A Wahid Hasyim tersebut ditugaskan langsung oleh Mbah Hasyim untuk melakukan pembinaan mental dan menempa spirit perjuangan para anggota Laskar Hizbullah.

Lulusan pelatihan ini ditempatkan di berbagai wilayah di Jawa. Kepada mereka, diwajibkan untuk membentuk cabang Hizbullah pada masing-masing daerah tempat tinggal. Semua anggota laskar tersebut tidak digaji pemerintah. Otoritas militer Jepang di Jakarta hanya memberikan subsidi.

Masyumi pun mengeluarkan dana untuk pembentukan Laskar Hizbullah. Maka keberlangsungan cabang-cabang laskar tersebut di berbagai daerah disokong dukungan para kiai, pesantren, dan Muslimin. Sebagai contoh, KH A Wahid Hasyim yang turut membentuk banyak cabang di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Beberapa bulan kemudian, peristiwa besar terjadi sekaligus menutup PD II: pihak Sekutu menjatuhkan bom atom ke Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945. Kabar ini diterima para pemuda dan tokoh nasionalis. Akhirnya, pada 17 Agustus 1945 Sukarno dan M Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamasikan Republik Indonesia.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat