Sayyid M Husein Mutahar | DOK WIKIPEDIA

Mujadid

Sayyid M Husein Mutahar, Berjuang Membela Negeri

Sayyid Husein Mutahar turut dalam Pertempuran Lima Hari di Semarang tahun 1945.

OLEH MUHYIDDIN

 

Bulan Agustus merupakan momen yang utama untuk mengenang para pahlawan. Dari begitu banyak bunga bangsa yang telah berjuang demi Tanah Air, sebagian besarnya merupakan Muslimin. Di antaranya ialah kalangan habib atau orang-orang Indonesia yang nasabnya sampai kepada Nabi Muhammad SAW.

Seorang habib yang kiprahnya untuk bangsa Indonesia patut dikenang ialah Sayyid Muhammad Husein Mutahar. Menurut Ketua Umum Rabithah Alawiyah Habib Zen Umar bin Smith, al-Mutahar merupakan nama salah satu cabang dari keturunan cucu Rasulullah SAW, yakni garis nasab Husein bin Ali.

“Betul, al-Mutahar adalah salah satu nama marga dari keturunan Bani Alawi (Alawiyin) yang diturunkan dari Sayyidina Husein, cucu Rasulullah SAW,” kata Habib Zen kepada Republika, beberapa waktu lalu.

Sayyid M Husein Mutahar dikenang terutama dari karya-karyanya dalam bidang musik. Sebagai seorang komposes, dirinya berkiprah besar dalam sejarah musik Indonesia. Namun, kontribusinya sebenarnya lebih dari apa yang dibayangkan banyak orang. Lelaki yang lahir di Semarang, Jawa Tengah, itu juga merupakan salah satu tokoh pejuang kemerdekaan RI, kepanduan (pramuka), dan diplomat.

Ia pun tercatat sebagai yang turut membidani lahirnya Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka). Pada masa revolusi, sosok kelahiran 5 Agustus 1916 itu pernah terlibat dalam Pertempuran Lima Hari di Semarang, 15 hingga 20 Oktober 1945.

Kapabilitasnya meliputi banyak bidang humaniora. Dia fasih berbicara dan menulis dalam delapan bahasa, termasuk bahasa Arab, Inggris, Belanda, Jerman, Perancis, dan Spanyol. Tak mengherankan bila Mutahar menduduki berbagai jabatan penting, semisal pegawai pada Departemen Luar Negeri (1949-1979), Direktur Jenderal Pemuda dan Pramuka pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1966-1968), hingga Duta Besar RI untuk Vatikan (1969-1973).

Berdasarkan data dari buku Husein Mutahar: Pengabdian dan Karyanya, habib tersebut mengikuti pendidikan dasar di Europeesche Legere School (ELS). Saat itu ayahnya, Salim Mutahar, juga mewajibkan ia untuk belajar ilmu-ilmu agama Islam. Maka dirinya mengaji pada seorang ulama yang bernama Encik Nur.

 
Sayyid Husein Mutahar tercatat sebagai yang turut membidani lahirnya Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka)
 
 

Setelah lulus dari ELS, Mutahar kemudian berguru kepada Kiai Saleh sembari melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Selain menimba ilmu di pendidikan formal, ia juga ikut serta dalam kegiatan ekstrakurikuler, terutama kepanduan.

Menginjak usia 18 tahun, ia lulus dari MULO. Setelah itu, Mutahar muda memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya ke Algemeene Middelbare School (AMS) Yogyakarta. Jurusan Sastra Timur khusus bahasa Melayu menjadi pilihannya. Di luar kelas, dirinya telah mendirikan kepanduan yang bernama Pandu Arjun.

Pada 1938, ia juga telah mengikuti serangkaian kursus kepanduan, baik di dalam maupun luar negeri. Pada 1942, Jepang mulai menguasai Indonesia. Begitu lulus dari AMS pada 1943, Mutahar menjadi pegawai Rikuyu Sokyoku (Dinas Kereta Api) Jawa Tengah di Semarang. Sembari bekerja di sana, dirinya mendirikan Korps Musik Kereta Api. Sejak saat itulah kecintaannya terhadap musik dan lagu mulai berkembang.

 
Dia fasih berbicara dan menulis dalam delapan bahasa, termasuk bahasa Arab, Inggris, Belanda, Jerman, Perancis, dan Spanyol.
 
 

Setelah Indonesia merdeka, Mutahar sempat melanjutkan pendidikannya di Jurusan Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. Karena sangat cinta pada bidang bahasa, ia pun merangkap kuliah di Jurusan Sastra Timur khusus Jawa Kuno pada kampus yang sama.

Pada 1948, ia harus meninggalkan bangku kuliah. Tekadnya sudah bulat untuk ikut berjuang bersama para pemuda nasionalis. Pertempuran Lima Hari di Semarang menjadi ajang jihadnya. Ketika terjadi Agresi Militer II, Yogyakarta sebagai ibu kota RI jatuh ke tangan Belanda.

Bersama para gerilyawan, Mutahar ikut berjibaku melawan musuh di daerah Jawa Barat dan Jakarta. Masa-masa penuh perjuangan fisik itu berakhir ketika Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia pada 1949.

Kisah Bendera Pusaka

Satu babak penting dalam hidupnya terjadi pada 1945. Saat itu, Sukarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, atas nama seluruh bangsa Indonesia. Sesudah itu, Husein Mutahar berpangkat kapten. Dia diangkat sebagai sekretaris panglima Angkatan Laut saat itu, Laksamana Muda Mohammad Nazir.

Tidak menunggu waktu lama, Belanda mewujudkan ambisinya untuk menjajah lagi Indonesia. Bahkan, kerajaan ini melancarkan aksi militer untuk membuat rusuh di Jakarta. Pemerintah RI pun terpaksa memindahkan ibu kota ke Yogyakarta.

Pada 4 Januari 1946, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh Hatta meninggalkan Jakarta. Setelah itu, Mutahar diajak M Nazir untuk mendampingi Bung Karno.

Menjelang peringatan hari ulang tahun (HUT) kedua RI, orang nomor satu se-Indonesia itu tiba-tiba memanggil Mutahar, yang saat itu telah diangkat sebagai seorang ajudannya. Lelaki keturunan Arab ini ditugaskan untuk mempersiapkan upacara kenegaraan, yakni peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1946 di halaman Gedung Agung Yogyakarta.

 
Bung Karno menugaskan Sayyid Mutahar untuk mempersiapkan upacara kenegaraan, yakni peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1946 di halaman Gedung Agung Yogyakarta.
 
 

Saat itu, Husein Mutahar berpikir bahwa untuk menumbuhkan persatuan bangsa, pengibaran Bendera Pusaka sebaiknya dilakukan oleh para pemuda Indonesia. Karena itu, ia pun menunjuk lima orang muda yang terdiri dari tiga putri dan dua putra untuk melaksanakan pengibaran Bendera Pusaka. Jumlah kelimanya menyimbolkan Pancasila.

Pada 19 Desember 1948, Agresi Militer II pecah. Presiden, wakil presiden, dan beberapa pejabat tinggi RI ditawan Belanda. Sebelum Gedung Agung Yogyakarta benar-benar terkepung, Bung Karno memanggil Mutahar. Dalam pertemuan itu, sang presiden menyampaikan hal penting kepadanya. Salah satunya mengenai Bendera Pusaka. Sang Saka Merah Putih yang dijahit istri Bung Karno, Fatmawati, itu dititipkan kepada Mutahar.

Memori tentang kisah Bendera Pusaka itu tercatat dalam autobiografi Bung Karno, seperti ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. “Aku (Sukarno) tidak tahu apa yang akan terjadi pada diriku. Dengan ini, aku memberikan tugas kepadamu (Mutahar) pribadi. Dalam keadaan apa pun, aku memerintahkan kepadamu untuk menjaga bendera ini dengan nyawamu,” kata Sukarno.

Mutahar merasa, tanggung jawab yang diembannya itu sangat berat. Demi menyelamatkan amanah, ia membuat siasat. Bendera Pusaka tersebut dipisahkan menjadi dua. Dengan dibantu oleh seseorang bernama Pernadinata, ia pun membuka jahitan bendera tersebut. Sesudah itu, bendera ini menjadi tampak seakan-akan dua kain yang terpisah: merah dan putih.

Kemudian, Mutahar menyelipkan kain merah dan putih itu di dua tas terpisah miliknya. Seluruh pakaian dan kelengkapan miliknya dijejalkan di atas kedua kain tersebut. Ia berusaha sebaik mungkin agar kain yang tak ternilai itu tidak direbut tentara Belanda. Baginya, Bendera Pusaka adalah sebuah simbol negara yang harus diselamatkan dan dipertahankan.

Sementara itu, Bung Karno beserta sejumlah pejuang diasingkan oleh Belanda ke Prapat (Sumatra Utara) dan lalu Bangka. Adapun Mutahar sendiri ikut ditangkap dan ditahan di Semarang selama beberapa bulan. Usai bebas, ia selalu mencari informasi dan cara untuk segera menyerahkan Bendera Pusaka kepada Presiden Sukarno. Akhirnya, pada Juni 1949, ia menerima surat dari Kepala Negara.

Isinya adalah pesan untuk menitipkan bendera tersebut kepada Soejdono. Setelah dijahit kembali, Mutahar kemudian menyerahkan Sang Saka Merah Putih kepada Soejdono untuk dibawa ke Bangka. Pada 17 Agustus 1949, Bendera Pusaka akhirnya bisa dikibarkan lagi di halaman Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta.

photo
Sayyid M Husein Mutahar pernah berkarier di berbagai lembaga negara, termasuk menjadi diplomat RI. - (REPRO Buku Husein Mutahar Pengabdian dan Kary)

Gagas Paskibraka

Nama Sayyid M Husein Mutahar juga patut dicatat dalam sejarah sebagai orang yang berjasa dalam gerakan pendidikan kepanduan atau pramuka. Ia juga merupakan penggagas dari terbentuknya Pasukan Pengibar Bendera Pusaka atau dikenal dengan nama Paskibraka.

Tata cara pengibaran bendera pusaka yang dirumuskan oleh Mutahar menghasilkan tiga kelompok, yaitu Pasukan 17 yang bertugas sebagai pengiring, Pasukan 8 yang bertugas sebagai pembawa bendera, dan Pasukan 45 yang bertugas sebagai pengawal. Formasi ini terus digunakan sampai saat ini. Nama-nama formasi tersebut menyimbolkan tanggal kemerdekaan RI.

Terlalu banyak kenangan manis yang ditinggalkan Kak Mut, panggilan Mutahar yang lazim digunakan dalam tradisi pramuka. Di akhir masa hidupnya, ia menghuni sebuah rumah di jalan Damai Raya Nomor 20 di sebelah Pasar Cipete bersama Sanyoto, anak angkatnya.

Pada 9 juni 2004, habib tersebut akhirnya pulang ke Timur Abadi—satu kata sandi yang seringkali dipakainya untuk menyebut Hadirat Allah. Ia meninggal dunia pada hari itu. Sebagai penyandang bintang Gerilya dan Bintang Mahaputra, tokoh ini sebenarnya berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Namun, dalam wasiat yang ditulisnya di hadapan notaris, keturunan Rasulullah SAW ini ingin dikebumikan sebagai seorang rakyat biasa. Maka, Taman Pemakaman Umum (TPU) Jeruk Purut menjadi tempat peristirahatan terakhirnya. 

Pencipta Lagu Kebangsaan

 

Sayyid Muhammad Husein Mutahar tidak hanya dikenal sebagai penggerak Pramuka dan penggagas Paskibraka. Ia juga dikenang sebagai seorang musisi andal dan pencipta lagu-lagu kebangsaan. Beberapa contoh lagu gubahannya yang bertema nasional ialah “Syukur”, “Hari Merdeka”, “Himne Pancasila”, dan “Terima Kasih kepada Pahlawanku".

Lagu “Syukur” diciptakan Husein Mutahar pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Tanggal lahirnya lagu itu tepat pada 7 September 1944 di Semarang, Jawa Tengah. Lagu yang dinyanyikan dalam tempo perlahan dan suasana khidmat ini merupakan cerminan dari laku keprihatinan. Dengan karyanya itu, ia mengangkat kembali simpati akan nasib dan penderitaan rakyat yang terjajah.

Adapun lagu “Hari Merdeka" diciptakan Mutahar di Yogyakarta pada 17 Agustus 1945. Lagu ini kerap dinyanyikan setiap tanggal dalam peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI. Makna dari lagu ini adalah suatu ungkapan rasa syukur ke hadirat Allah SWT. Dengan berkah dan rahmat-Nya, bangsa Indonesia memperoleh nikmat kemerdekaan.

Sepanjang hidupnya, Habib Husein Mutahar telah mencurahkan banyak waktunya untuk bermusik. Lagu-lagu perjuangan yang diciptakannya memberikan tekanan pada aspek sosial serta bercerita tentang jati diri dan kesatuan bangsa. Lewat lagu, Mutahar merefleksikan kembali fase-fase sulit dalam perjuangan Indonesia. Khususnya pada tahap peperangan fisik yang di dalamnya banyak bunga bangsa berguguran saat berjihad.

 
Tidak hanya menciptakan lagu kebangsaan atau lagu nasional, Mutahar juga menulis lagu bertemakan alam, kepanduan, dan kepramukaan.
 
 

Tidak hanya menciptakan lagu kebangsaan atau lagu nasional, Mutahar juga menulis lagu bertemakan alam, kepanduan, dan kepramukaan. Lagu-lagu ciptaannya sangat mudah dihafal dan dinyanyikan semua lapisan masyarakat.

Lagu mars “Hari Merdeka” misalnya digubah dengan karakteristik bersemangat dan berapi-api. Adapun judul-judul seperti “Gembira”, “Tepuk Tangan Silang-silang”, “Tiba Saat Berpisah”, “Yo Hayo”, serta “Riangkan Dia” adalah sejumlah lagu anak-anak yang digubahnya.

Selama hidupnya, Husein Mutahar setidaknya telah menggubah sebanyak 116 lagu. Namun, dari jumlah tersebut kemungkinan masih ada lagu-lagu karya Mutahar yang lain yang belum sempat ditemukan. Kini, sang pahlawan memang telah tiada. Akan tetapi, karya-karyanya akan terus hidup sepanjang masa.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat