Sepasang dari Kabul tiba di terminal kedatangan di Washington Dulles International Airport, Vancouver, Amerika Serikat, Ahad (29/8/2021). | AP/Jose Luis Magana/FR159526 AP

Kisah Mancanegara

Lagu, Pesta, dan Cinta pada Masa Taliban

Sekolah di Afghanistan telah dibuka kembali untuk anak laki-laki dan perempuan.

OLEH RIZKY JARAMAYA, MEILIZA LAVEDA

Negara boleh bergejolak, tapi persoalan cinta lain lagi urusannya. Di tengah kondisi mencekam di Kabul sejak Taliban menguasai kota itu dua pekan lalu, sejumlah pasangan tetap menjalankan pernikahan.

Pada Selasa (31/8) siang, hanya berselang jam dari kepergian pasukan Amerika Serikat malam sebelumnya, perayaan tetap berlangsung di salah satu aula pernikahan papan atas di Kabul.

Shadab Azimi (26 tahun), manajer aula resepsi pernikahan, menuturkan, sedikitnya tujuh pesta pernikahan berlangsung di aula tersebut sejak Taliban menguasai Kabul. Pada perayaan Selasa kemarin, musik untuk berdansa masih menguar dari pesta pernikahan.

Dalam hal ini, Kabul belum kembali sepenuhnya pada keadaan saat Taliban berkuasa dua dekade lalu sepanjang 1996-2001. Kala itu, hanya musik-musik nasyid yang boleh dimainkan. Siaran televisi, bahkan fotografi juga diharamkan secara sepihak oleh para pimpinan Taliban.

photo
Seorang perempuan Afghanistan melintasi toko busana di Kabul pada 2006 silam. - (AP/MUSADEQ SADEQ)

Sejauh ini, Taliban belum menunjukkan tanda-tanda akan menerapkan aturan ketat seperti itu sejak mereka mengambil alih Kabul. Menurut Azimi, belum ada juga larangan terhadap pertunjukan musik.

Kendati begitu, sebagian besar penyanyi pernikahan membatalkan tawaran untuk tampil dalam acara resepsi pernikahan karena kehati-hatian. Untuk itu, pihak penyelenggara resepsi pernikahan harus menggunakan kaset sebagai hiburan bagi para tamu.

Azimi mengatakan, selama acara resepsi pernikahan, pasukan Taliban tetap melakukan patroli. Bahkan, mereka berhenti di area resepsi pernikahan beberapa kali sehari. Tujuannya sekadar menanyakan apakah pihak penyelenggara resepsi membutuhkan bantuan keamanan.

Menurut Azimi, selama patroli, Taliban tidak pernah meminta uang keamanan. Lain halnya dengan petugas kepolisian dari pemerintahan Afghanistan terdahulu yang kerap menarik pungli kepada penyelenggara resepsi pernikahan. Kepolisian Afghanistan yang pembentukannya didukung negara-negara Barat itu kini telah dibubarkan.

“Mantan pejabat, termasuk polisi, selalu meminta uang kepada kami dan memaksa kami menjamu teman-teman mereka untuk makan siang dan makan malam. Ini adalah salah satu poin positif dari Taliban," ujar Azimi.

Stasiun televisi di Afghanistan juga masih beroperasi secara normal dan para pejuang Taliban terlihat melakukan swafoto di sekitar Kabul.

Abdul Waseeq (25 tahun), pemilik toko pakaian wanita di pusat Kota Kabul, juga masih menjual jeans dan jaket bergaya Barat. Meski sejak pasukan asing secara resmi meninggalkan Afghanistan, tokonya menjadi sepi dan dia khawatir akan krisis perbankan. “Sebagian besar pelanggan kami yang membeli pakaian semacam ini sudah pergi dievakuasi dari Kabul,” kata Waseeq.

Sekolah di Afghanistan telah dibuka kembali untuk anak laki-laki dan perempuan. Pejabat Taliban mengatakan, mereka akan belajar secara terpisah.

Sementara, perempuan Afghanistan berada di jalan-jalan dengan mengenakan jilbab seperti yang selalu mereka kenakan. Pada masa lalu, Taliban mewajibkan semua perempuan menggunakan burqa jika keluar rumah.

“Saya tidak takut dengan Taliban,” kata seorang siswa kelas lima, Masooda, saat dia pergi ke sekolah pada Selasa.

Lain di Kabul, lain pula di Kandahar, tempat kelahiran gerakan Taliban. Otoritas Taliban setempat telah mengeluarkan perintah resmi terhadap stasiun radio yang memutar musik dan penyiar wanita pada pekan lalu.

Seiring berjalannya waktu, perubahan terlihat di kota-kota. Misalkan, tanda-tanda warna di luar salon kecantikan diubah, jeans diganti dengan pakaian tradisional, dan stasiun radio telah menggantikan pemutaran lagu dengan musik patriotik yang kaku.

photo
Pejuang Taliban berpatroli di Provinsi Kandahar, Ahad (15/8/2021). - (AP/Sidiqullah Khan)

“Kami telah mengubah program untuk saat ini karena kami tidak ingin Taliban memaksa kami untuk menutup stasiun radio. Tidak ada seorang pun di sini yang berminat untuk mencari hiburan karena kita semua dalam keadaan terkejut,” kata produser stasiun radio swasta di Kota Ghazni, Khalid Sediqqi.

Selama 20 tahun pemerintahan yang didukung Barat, budaya populer tumbuh di Kabul dan kota-kota lain dengan perpaduan binaraga, minuman energi, gaya rambut pahatan yang mewah, dan lagu-lagu pop. Sinetron Turki dan acara pencarian bakat televisi, seperti “Afghan Star”, menjadi sangat populer.

Namun, bagi kelompok Taliban yang sebagian besar datang dari wilayah pedalaman dan belajar di madrasah agama, perubahan itu sukar diterima. “Budaya kami telah menjadi beracun. Kami melihat pengaruh Rusia dan Amerika di mana-mana, bahkan dalam makanan yang kami makan. Itu adalah sesuatu yang harus disadari orang dan membuat perubahan yang diperlukan,” kata seorang komandan Taliban.

Seorang pejabat senior Taliban berkali-kali mengatakan, pasukan mereka memperlakukan penduduk dengan hormat dan tidak memberikan hukuman sewenang-wenang. Akan tetapi, banyak orang yang tidak memercayai mereka.

Setidaknya, warga sukar memercayai bahwa para petinggi Taliban yang menjanjikan moderasi bisa mengendalikan prajurit di jalanan. “Tidak ada musik di seluruh Kota Jalalabad, orang-orang ketakutan karena Taliban memukuli orang,” ujar mantan pejabat di Provinsi Nangarhar, Naseem. 

Dilansir TRT World, Rabu (1/9), jurnalis lokal di Provinsi Laghman dekat Kabul, Zarifullah Sahel, mengatakan, Taliban memerintahkan radio publik yang dikelola pemerintah dan enam stasiun swasta untuk menyesuaikan program mereka yang sejalan dengan hukum syariah.

Sejak itu, program musik dan program politik, budaya, dan berita yang tidak berhubungan dengan isu-isu agama telah mengering. Eks pejabat pajak di Provinsi Lagman, Mustafa Ali Rahman, mengaku khawatir Taliban mungkin menargetkan dirinya jika terlihat memakai jeans atau kemeja yang dinilai sebagai pakaian Barat.

“Tidak ada yang tahu apa yang bisa mereka lakukan untuk menghukum kami,” ujar dia.

Mantan aktivis di kota bagian utara, Mazar-e-Sharif, mengatakan, toko-toko dan restoran tampaknya telah memutuskan sendiri untuk mematikan radio mereka. “Tidak ada peringatan tentang musik, orang-orang sendiri yang berhenti mendengarkan,” katanya. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat