Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) beserta Hakim Konstitusi Aswanto (kiri) dan Enny Nurbaningsih (kanan) bersiap membacakan putusan perkara di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (4/5/2021). | GALIH PRADIPTA/ANTARA FOTO

Nasional

Badan Peradilan Khusus Pemilu Dinilai tak Relevan

Badan peradilan khusus pemilu tidak ditempatkan sebagai bagian sistem hukum di Indonesia.

JAKARTA—Ketentuan pembentukan badan peradilan khusus pemilu menuai kritikan sejumlah pihak. Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Violla Reininda, menilai pembentukan peradilan khusus pemilu sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang 10 Tahun 2016 tentang Pilkada tidak lagi relevan.

Sebab dalam pekembangannya, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan 55 Tahun 2019 tentang pengujian keserentakan pemilu dan pilkada.

"Setelah mahkamah mengeluarkan putusan ini kami pikir tidak relevan lagi ketika harus membentuk satu peradilan khusus pilkada, alasan Mahkamah waktu itu melepaskan kan karena rezimnya berbeda, pilkada tidak masuk ke rezim pemilu jadi mahkamah tidak berwenang untuk menyelesaikan sengketa hasil pada saat itu," kata Violla dalam diskusi yang digelar daring, Ahad (29/8).

Violla menjelaskan, dalam putusan baru Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, MK memberikan pandangan yang berbeda dengan pandangannya di tahun 2013 lalu. Berdasarkan penelusuran yang lebih mendalam berbasis original intent ternyata banyak varian keserentakan penyelenggaraan pemilu.

"Redefinisi yang dilakukan mahkamah ini bisa jadi satu acuan, jadi satu batu lompatan kita untuk kemudian menilik kembali relevansi badan peradilan khusus," ujarnya.

Selain itu, ia khawatir adanya badan peradilan khusus membuat sistem penegakan hukum akan semakin terpencar-pencar. Akibatnya, terlalu banyak lembaga yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan penegakan hukum kepemiluan. Ia juga khawatir hal tersebut akan memunculkan disparitas antarlembaga penegakan hukum.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadhil Ramadhanil, mengusulkan ketentuan di pasal 157 Undang-Undang Pilkada direvisi. Revisi dilakukan untuk menghapus ketentuan badan peradilan khusus pemilu.

"Kemudian menegaskan bahwa penyelesaian perselisihan hasil pilkada itu kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK)," kata Fadhil, Ahad. 

photo
Petugas Linmas menyemprotkan cairan disinfektan ke area Tempat Pemungutan Suara (TPS) saat simulasi pemungutan suara Pilkada serentak di Alun-Alun Kota Blitar, Jawa Timur, Kamis (3/12/2020). - (ANTARA FOTO/Irfan Anshori)

Jika tidak direvisi, pilkada serentak secara nasional di tahun 2024 berpotensi terjadi kebuntuan hukum. Sebab pasal 157 menghendaki adanya pembentukan badan peradilan khusus sebelum pelaksanaan pemilihan serentak nasional.

Sementara pembahasan terkait pembentukan badan peradilan khusus belum dilakukan sampai saat ini. Itu artinya pembahasan berkaitan dengan kewenangan lembaga mana yang akan menyelesaikan perselisihan hasil pilkada serentak secara nasional itu belum ada. 

"Artinya ada kebuntuan hukum jika situasi hari ini dibiarkan karena di tahun 2024 kalau sudah pilkada serentak secara nasional dilaksanakan MK sebetulnya sudah nggak punya kewenangan lagi untuk menyelesaikan perselisihan hasil, karena merujuk pada ketentuan pasal 157 itu kewenangan MK hanya di masa antara sampai pilkada serentak nasioal dilaksanakan," jelasnya. 

Keterbatasan Bawaslu

Sementara, peneliti Populi Center, Dimas Ramadhan, mendukung pembentukan badan peradilan khusus untuk Pemilu 2024. Ia menilai badan itu dapat menyempurnakan tata kelola pemilu. Dimas menyampaikan badan peradilan khusus pemilu penting untuk segera dibentuk.

Dimas menyinggung penyelesaian perkara pemilu selama ini menumpuk di Bawaslu sehingga Bawaslu menjadi hakim dan jaksa sekaligus. "Dengan segala keterbatasannya, keputusan yang dikeluarkan oleh Bawaslu terkait masalah yang menjadi perkara seringkali terlambat dari hasil pemilu tersebut," ujar Dimas, Sabtu (28/8).

Dimas mengamati kalau pun keputusan yang dibuat Bawaslu tepat waktu, tapi kadang bersifat prematur karena dibuat terburu-buru. Bahkan sebagian keputusan masih bisa berubah jika pihak yang tidak puas maju ke PTUN.

Sebelumnya, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan, pihaknya saat ini tengah melakukan kajian yang sangat mendalam mengenai badan peradilan khusus pemilu. Menurutnya, ada kemungkinan badan peradilan khusus pemilu tidak ditempatkan sebagai bagian sistem hukum di Indonesia, tetapi dikoordinasikan dengan institusi peradilan hukum lain, seperti Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).

Sebab, menurut Doli, jika badan peradilan khusus pemilu berdiri sendiri justru akan menambah kerumitan baru. Sama halnya dengan ketidakharmonisan yang selama ini terjadi antara tiga lembaga penyelenggara pemilu yang sudah ada, yakni KPU, Bawaslu, dan DKPP.

"Mungkin nanti kita perlu berkoordinasi dengan pemerintah khususnya Kementerian Dalam Negeri bisa mengkaji kehadiran lembaga ini yang betul-betul bisa menjawab," kata Doli. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat