Syekh Abdurrahman al-Khalidi. Kakek Bung Hatta ini merupakan seorang ulama-mursyid terkemuka di ranah Minang. | DOK WIKITREE

Mujadid

Syekh Abdurrahman al-Khalidi, Pelita Ilmu dari Batuhampar

Surau yang dibangun mursyid Naqsyabandiyyah Khalidiyah itu menjadi model pendidikan di Minang.

OLEH MUHYIDDIN

Dalam sejarah Islam di Indonesia, Ranah Minangkabau memunculkan banyak ulama besar. Mereka berpengaruh luas tidak hanya di Tanah Air, tetapi juga region Asia Tenggara atau bahkan dunia.

Salah seorang di antaranya adalah Syekh Abdurrahman. Pendiri Surau Batuhampar itu juga merupakan kakek dari seorang proklamator Republik Indonesia, Mohammad Hatta.

Pengamal tasawuf itu dikaruniai umur panjang, hingga lebih dari 100 tahun. Nyaris seluruh usianya dihabiskan di jalan dakwah dan pendidikan. Lelaki yang pernah menimba ilmu di Tanah Suci, Makkah dan Madinah, itu dengan tulus ikhlas mendidik umat, terutama generasi muda, agar mereka selalu teguh beriman dan berislam.

Nama lengkapnya adalah Maulana Syekh Abdurrahman bin Abdullah al-Khalidi Batuhampar. Seperti tampak dari gelar maulana tersebut, tokoh ini merupakan seorang ahli tarekat. Namun, keahliannya tidak hanya di sana, tetapi juga meliputi bidang fikih, syariat, ilmu Alquran, dan lain-lain.

Berdasarkan literatur yang ada, Syekh Abdurrahman disebutkan lahir pada 1777 M di Desa (Nagari) Batuhampar, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra Barat. Akan tetapi, keterangan yang berbeda tertera pada nisan makamnya. Tergurat di sana, ulama besar ini lahir pada 1783 M dan wafat pada 23 Oktober 1899.

Ayahnya adalah Abdullah, bergelar Rajo Intan. Adapun ibundanya dikenal sebagai Ibu Tuo Tungga. Sebagai anak satu-satunya, Abdurrahman sangat disayang oleh kedua orang tuanya. Dia dididik dengan pengetahuan agama agar kelak menjadi seorang mubaligh.

Dalam tulisannya yang termuat di buku Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat (1981), Mansur Malik menuturkan profil sang penyebar Tarekat Naqsyabandiyyah Khalidiyah itu. Sejak kecil, Abdurrahman sudah menunjukkan tanda-tanda kecerdasan. Selain itu, dia juga bermental baja serta berkemauan keras.

 
Sejak kecil, Abdurrahman sudah menunjukkan tanda-tanda kecerdasan. Selain itu, dia juga bermental baja serta berkemauan keras.
 
 

Dalam menuntut ilmu, ia sangat gigih. Abdurrahman muda mengadakan rihlah intelektual ke berbagai pusat keagamaan Islam. Puluhan tahun lamanya perjalanan itu dilakukannya, mulai dari daerah Minangkabau sampai ke Aceh. Bahkan, pada akhirnya langkah kakinya tiba di Makkah al-Mukarramah.

Abdurrahman pertama kali berpamitan kepada ibundanya untuk pergi menuntut ilmu saat berusia 15 tahun. Setelah mendapat restu dari sang ibu, ia pun berangkat ke Batusangkar untuk belajar kepada Syekh Galogandang. Bekal yang ia bawa saat itu hanya berupa sedikit beras, uang sepiak, dan satu buah mushaf Alquran.

Setelah bertahun-tahun belajar kepada Syekh Galogandang, Abdurrahman kemudian pamit. Ia lalu berjalan kaki ke Tapak Tuan, Aceh. Di kota berjuluk Serambi Madinah ini, dirinya berguru kepada Syekh Abdurrauf Singkil. Ulama dari Singkel tersebut berpengaruh besar dalam penyebaran agama Islam di Nusantara, khususnya Pulau Sumatra.

Setelah delapan tahun belajar kepada Syekh Abdurrauf, Abdurrahman kemudian memutuskan berangkat ke Makkah. Niat awalnya adalah untuk menunaikan ibadah haji. Usai musim haji, dirinya menjadi murid sejumlah masyayikh termuka di kota kelahiran Nabi Muhammad SAW itu. Hingga tujuh tahun lamanya, putra daerah Batuhampar tersebut menuntut ilmu di sana.

Mulai berdakwah

Bila ditotal, masa yang ditempuh Syekh Abdurrahman dalam mengadakan rihlah keilmuan ialah 48 tahun. Setelah nyaris setengah abad menghabiskan usia dalam thalabul ‘ilmi, ia akhirnya pulang ke kampung halaman. Saat itu, usianya sudah mencapai 63 tahun.

Satu hal yang merisaukannya, Batuhampar kala itu masih jauh dari akhlak Islam. Banyak penduduk setempat yang sering berbuat maksiat secara terang-terangan. Para pria gemar berjudi dan meminum minuman keras. Hampir setiap pekan, mereka menggelar sabung ayam sebagai ajang taruhan.

Sebagai seorang alim, hatinya tergerak untuk membina umat. Ingin rasanya melihat masjid kembali ramai dan makmur. Dalam berdakwah, Syekh Abdurrahman melakukan pendekatan secara bertahap. Sikap ramah dan pemurah menjadi langkah awal baginya untuk mendekati masyarakat.

Berbagai lapisan sosial dirangkulnya, mulai dari anak-anak hingga dewasa. Dirinya tidak membeda-bedakan perlakuan antara, umpamanya, para penjudi dan petinggi adat. Mereka diajaknya untuk meramaikan masjid.

 
Syekh Abdurrahman menjalankan misi dakwahnya dengan lembut. Ia tak pernah keras dalam menanamkan nilai-nilai Islam.
 
 

Syekh Abdurrahman menjalankan misi dakwahnya dengan lembut. Ia tak pernah keras dalam menanamkan nilai-nilai Islam. Sebaliknya, syiar Islam disampaikannya dengan sopan santun. Alhasil, orang-orang yang diajaknya untuk berbuat baik tak merasa sedang digurui.

Dalam tulisannya yang berjudul “Dakwah Kelembutan Maulana Syekh Abdurrahman bin Abdullah al-Khalidi Batuhampar”, Apria Putra menuturkan sebuah kisah. Pernah suatu ketika, ada segerombolan pemuda datang kepada Syekh Abdurrahman. Mereka membawa beberapa ayam aduan. Tujuannya untuk meminta doa agar ayam-ayam itu nantinya menang di gelanggang.

Bukannya marah, Syekh Abdurrahman justru hanya tersenyum. Dengan ramah, ia menerima kedatangan mereka. Mulailah dipegang ayam-ayam itu. Lisannya tampak komat-kamit membacakan sesuatu. Namun, doa yang dirapalkan Syekh Abdurrahman sejatinya adalah munajat kepada Allah SWT, agar para pemuda tersebut diberikan hidayah.

Setelah didoakan, ayam-ayam itu diserahkan kepada mereka. Keluar dari rumah sang syekh, bukan kepalang gembiranya orang-orang itu. Sesampainya di gelanggang, ayam yang telah “didoakan” itu pun diadu—dan menang.

Akhirnya, anak-anak muda ini semakin percaya dan hormat kepada Syekh Abdurrahman. Rasa respek itu menimbulkan kedekatan. Dan, lambat laun perangai mereka pun berubah menjadi lebih baik. Kebiasaan sabung ayam ditinggalkannya sama sekali.

Membangun surau

Untuk kepentingan syiar Islam, Syekh Abdurrahman mendirikan kompleks pendidikan tradisional Islam. Kalau di Jawa, lembaga demikian disebut sebagai pesantren. Namun, orang-orang Sumatra Barat menamakannya surau.

Pembangunan surau itu sangat didukung masyarakat Nagari Batuhampar. Mereka bergotong royong untuk mewujudkannya. Begitu selesai dibangun, institusi itu segera menarik minat banyak orang. Alhasil, dari waktu ke waktu jumlah murid Syekh Abdurrahman kian bertambah. Dari yang semula puluhan, kini sudah mencapai ratusan orang. Para santri itu berasal dari dalam maupun luar Minang.

Rumah-rumah penduduk menjadi ramai karena diinapi santri Syekh Abdurrahman. Karena sudah tak muat di rumah penduduk, Syekh Abdurrahman akhirnya memperluas kompleks surau itu. Akhirnya, kawasan ini menyerupai sebuah desa baru, yang dinamakan Kampung Dagang (kampung para perantau; perantau penuntut ilmu).

Kampung Dagang itu terdiri atas masjid utama (surau gadang). Fungsinya tidak hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga pusat majelis ilmu yang diadakan sang syekh. Di depan surau gadang, terdapat kolam ikan. Di dekatnya, berdirilah sebuah rumah gadang. Pada sekeliling surau dan rumah gadang itu, ada surau-surau kecil yang umumnya bertingkat dua. Jumlahnya mencapai 30 unit.

Surau-surau itu berfungsi sebagai pondok tempat tinggal para penuntut ilmu. Mereka disebut sebagai orang siak --sepadan dengan sebutan santri. Kaum siak itu belajar siang-malam kepada sang syekh. Pihak surau tidak memungut biaya alias gratis.

Menurut Mansur Malik, jumlah murid yang belajar pada Syekh Abdurrahman mencapai 2.000 orang. Tren peningkatan terjadi pada masa sesudah sang mubaligh. Seorang putranya yang bernama Syekh Arsyad meneruskan kepemimpinan atas lembaga itu.

Dalam buku Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, Prof Azyumardi Azra menjelaskan, sistem yang dibangun Syekh Abdurrahman merupakan surau besar. Secara garis besar, metode pengajaran yang diterapkan di sana tak ubahnya kebanyakan pesantren di Jawa.

Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah ini menerangkan, Surau Batuhampar telah mewariskan kekayaaan historis yang luar biasa. Legasi sang syekh dinilai berhasil mencetak generasi alim ulama di Minangkabau.

Azra menyimpulkan, surau yang dibangun Syekh Abdurrahman di Batuhampar itu dapat dikatakan sebagai model atau representasi sistem ‘pesantren’ ala Minangkabau. Memang, diakuinya, banyak surau lain di Sumatra Barat pada periode yang sama dengan Surau Batuhampar. Namun, menurut dia, dari segi kelengkapan sarana dan fasilitas, surau yang didirikan sang syekh itulah tetap nomor wahid.

Selama hidupnya, Syekh Abdurrahman telah mendidik ribuan orang dengan sistem pendidikan surau yang digagasnya. Banyak muridnya yang di kemudian hari mengikuti jejaknya, menjadi ulama-ulama besar. Di antaranya adalah Syeikh Salim Batubara, Syekh Ibrahim Kubang dan Syekh Sulaiman Ar Rasuli (Inyiak Canduang).

photo
Kompleks surau di Batuhampar, Sumatra Barat, yang dibangun Syekh Abdurrahman al-Khalidi. - (DOK WIKIPEDIA)

Kesan Bung Hatta tentang Kakek Tercinta

Syekh Abdurrahman al-Khalidi merupakan seorang ulama besar dari Batuhampar, Sumatra Barat. Mursyid Tarekat Naqsyabandiyyah Khalidiyah itu hidup pada abad ke-19 M. Sejak kecil, dia tumbuh dalam lingkungan yang sangat mencintai ilmu-ilmu agama Islam.

Sosok yang pernah bertahun-tahun belajar di Tanah Suci itu mendirikan Surau Batuhampar tatkala usianya sudah cukup sepuh: 63 tahun. Sejak itu, lembaga yang didirikannya menjadi salah satu pusat terkemuka pengajaran Islam di daerah Minangkabau. Di sana pula, dirinya mengajarkan tasawuf kepada para muridnya.

Pada 1899 M, mubaligh tersebut berpulang ke rahmatullah. Jenazahnya dikebumikan di kompleks permakaman setempat. Hingga kini, banyak peziarah mengunjungi kuburannya, di samping untuk melihat-lihat keadaan Surau Batuhampar.

Bagi publik Indonesia, nama sang syekh barangkali kurang begitu tenar. Akan tetapi, seorang cucunya merupakan pahlawan bangsa yang sangat dikenal masyarakat Tanah Air. Dialah Drs Mohammad Hatta. Sosok yang akrab disapa Bung Hatta itu adalah seorang cucu Syekh Abdurrahman al-Khalidi.

Mengutip naskah silsilah yang dimuat dalam buku Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat, mubaligh asal Batuhampar itu memiliki 10 anak dari lima istri. Dua orang putranya menjadi ulama besar, yakni Syekh Arsyad bin Abdurrahman (1849-1924) dan Syekh Muhammad Djamil bin Abdurrahman Batuhampar (1873-1903). Sosok yang kedua itulah ayahanda Bung Hatta.

photo
Sandiaga Salahuddin Uno (kanan) berfoto bersama warga dengan latar belakang lukisan Wakil Presiden ke-1 RI Bung Hatta saat berkunjung di Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta di Bukittinggi, Sumatra Barat, Rabu (6/3/2019). -- ANTARA FOTO/Muhammad Arif Pribadi/wsj. - (ANTARA FOTO)

Dalam buku Memoir (1981), sang proklamator RI mengungkapkan kesan dan kenang-kenangan tentang kakeknya. Menurut Hatta, Syekh Abdurrahman merupakan seorang pengasuh surau yang ahli tarekat. Murid-muridnya berasal dari banyak daerah se-Indonesia.

Keterangan tentang nama besar sang kakek diperolehnya dari cerita ayahnya sendiri serta pamannya, terutama ketika sedang mengunjungi sanak famili di Batuhampar.

“Ia (Syekh Abdurrahman) bercita-cita menjadikan Batuhampar sebagai benteng pertahanan agama Islam, karena penyerbuan bangsa kulit putih ke Minangkabau sudah mendesak umat Islam ke pinggir,” tulis Hatta.

Diakuinya, pertemuan langsung dengan Syekh Abdurrahman tidak pernah dialaminya. Sebab, ia sendiri lahir beberapa tahun pasca-wafatnya sang kakek. Hatta diketahui lahir pada 1902, sedangkan pemuka Tarekat Naqsyabandiyyah Khalidiyah itu meninggal pada 1899.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat