Pegawai bank syariah tengah menunjukkan fitur wakaf sukuk, beberapa waktu lalu. | Yogi Ardhi/Republika

Opini

Kampus Wakaf

Titik kritisnya, pada pengembangan dana wakaf menjadi aset produktif yang menghasilkan surplus.

MUHAMMAD SYAFIIE EL-BANTANIE, Pegiat Wakaf dan Direktur Lembaga Pengembangan Insani Dompet Dhuafa

Kualitas sumber daya manusia (SDM) merupakan modal paling strategis dalam membangun peradaban bangsa. SDM unggul hanya bisa dicapai melalui pendidikan. Dalam konteks ini, tentu saja sampai pendidikan tinggi.

Lulusan pendidikan tinggilah yang baru bisa diukur kualitas SDM-nya. Sayangnya, bangsa ini masih memiliki masalah dalam rasio jumlah penduduk usia sekolah 15 tahun ke atas yang tamat perguruan tinggi.

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020, dari 100 penduduk usia 15 tahun ke atas, hanya 29 orang yang menamatkan pendidikan SMA/sederajat dan hanya sembilan orang yang menamatkan pendidikan tinggi.

Data di lapangan menunjukkan, kendala utamanya adalah faktor biaya pendidikan tinggi yang tidak murah. Meski pemerintah sudah menyiapkan Kartu Indonesia Pintar (KIP) kuliah, faktanya persebarannya tidak merata.

Mahasiswa di daerah-daerah tetap kesulitan mengakses KIP kuliah, sementara kuota KIP kuliah di kampus-kampus besar di Jawa tidak terserap semua. Setidaknya ada dua strategi yang bisa dijalankan untuk memeratakan akses pendidikan tinggi gratis bagi masyarakat.

 
Sayangnya, bangsa ini masih memiliki masalah dalam rasio jumlah penduduk usia sekolah 15 tahun ke atas yang tamat perguruan tinggi
 
 

Pertama, perbaiki kuota dan sebaran KIP kuliah dengan memperhatikan persebaran mahasiswa dari keluarga ekonomi lemah yang tersebar di berbagai kampus daerah, bukan hanya Jawa.

Dalam hal ini, pemerintah bisa menggandeng para penyedia layanan beasiswa dari berbagai unsur masyarakat, seperti Laznas dan organisasi masyarakat berbasis keagamaan, baik skala nasional maupun provinsi dan kabupaten/kota.

Mereka memiliki basis data yang cukup akurat karena melakukan proses seleksi penerima manfaat program. Kedua, mengembangkan model kampus wakaf. Kuota KIP kuliah tetaplah tidak sebanding dengan jumlah penduduk usia kuliah.

Termasuk ketersediaan kuota penerimaan mahasiswa di kampus-kampus negeri. Karena itu, ruang kosong ini mesti diisi oleh umat Islam untuk menyediakan akses pendidikan tinggi gratis dan berkualitas.

Caranya dengan mengembangkan model kampus wakaf. Praktik baik model kampus wakaf adalah Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Universitas Al-Azhar awalnya hanyalah sebuah masjid yang didirikan Jauhar Ash-Shaqaly, panglima besar Dinasti Fathimiyah.

 
Pemerintah bisa menggandeng para penyedia layanan beasiswa dari berbagai unsur masyarakat.
 
 

Penulis tidak ingin membahas motif penyebaran paham Syiah pada awal lahirnya Al-Azhar. Setelah Shalahuddin Al-Ayubi membebaskan Mesir pada 1174 M, paham Al-Azhar berubah menjadi Suni hingga sekarang.

Umat Islam dan para pejabat kerajaan ketika itu berlomba-lomba mewakafkan hartanya untuk pengembangan Al-Azhar. Semula, masjid berkembang menjadi madrasah, kemudian universitas. Universitas Al-Azhar memiliki sekitar 450 ribu mahasiswa. Termasuk 160 ribu mahasiswa asing yang diberikan beasiswa penuh oleh Universitas Al-Azhar.

 Perjalanan Universitas Al-Azhar yang bertahan lebih dari seribu tahun, tak lepas dari skema pengembangan aset wakaf. Aset wakaf Universitas Al-Azhar dikelola secara Islami dan profesional. Menurut Kementerian Wakaf Mesir (Wazirah Al-Auqaf), aset wakaf Universitas Al-Azhar setara dengan sepertiga APBN Mesir.

Belajar dari praktik baik Universitas Al-Azhar, model pengembangan kampus wakaf bisa diimplementasikan dengan melakukan penghimpunan dana wakaf dari umat, yang bekerja sama dengan Laznas dan calon mahasiswa dari ekonomi mapan.

Dana wakaf yang terhimpun, dikembangkan menjadi aset produktif yang menghasilkan surplus wakaf. Surplus wakaf tersebut digunakan untuk memberikan beasiswa calon mahasiswa dari keluarga ekonomi lemah sebagai maukuf ‘alaih (penerima manfaat wakaf).

Dengan skema tersebut, selain bisa memberikan beasiswa bagi mahasiswa dari keluarga ekonomi lemah, juga menjadi pemasukan tetap bagi kampus untuk menjaga keberlangsungan kampus dan kebermanfaatan yang diberikan.

 
Karakteristik wakaf yang lebih luwes (tahan pokoknya, alirkan hasilnya), mestinya mampu memberikan kontribusi penting bagi penyediaan pendidikan tinggi gratis dan peningkatan kualitas SDM.
 
 

Titik kritisnya, pada pengembangan dana wakaf menjadi aset produktif yang menghasilkan surplus. Karena itu, perlu merekrut profesional yang kompeten. Dalam hal ini, kita bisa belajar dari Universitas Harvard meski konteksnya pengembangan dana abadi.

Pada 2007, Universitas Harvard sempat mengalami keguncangan keuangan. Menyadari lembaganya menuju kematian, pemegang otoritas Harvard merekrut Jane L Mendillo, profesional brilian untuk mengembangkan aset dana abadi Harvard yang terus tergerus.

Mendillo didapuk menjadi president Harvard Management Company (HMC). Ia bekerja keras bersama timnya mengapitalisasi aset dana abadi Harvard. Hasilnya, pada 2011 aset dana abadi Harvard berkembang menjadi Rp 286 triliun.

Jika Harvard menyisihkan 10 persen saja dari dana abadinya tersebut, semua mahasiswa Universitas Harvard bisa kuliah gratis.

Karakteristik wakaf yang lebih luwes (tahan pokoknya, alirkan hasilnya) dibandingkan zakat yang saklek secara fikih, mestinya mampu memberikan kontribusi penting bagi penyediaan pendidikan tinggi gratis dan peningkatan kualitas SDM. Syaratnya, sekali lagi dikelola secara Islami dan profesional. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat