Barang bukti senjata api kasus penembakan KM 50 diperlihatkan saat konferensi pers di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Senin (7/12/2021). | Republika/Putra M. Akbar

Nasional

Tersangka Kasus Km 50 tak Ditahan

Kejaksaan beralasan dua tersangka kasus pembunuhan laskar FPI adalah polisi aktif.

JAKARTA — Pihak kejaksaan memilih untuk tak melakukan penahanan terhadap Briptu FR dan Ipda MYO, dua anggota polisi aktif, tersangka kasus pembunuhan enam laskar Front Pembela Islam (FPI).

Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Leonard Ebenezer Simanjuntak mengatakan, alasan tak menahan dua tersangka unlawful killing tersebut karena status keduanya adalah petugas kepolisian aktif di Polda Metro Jaya dan dijamin oleh atasannya.

“Terhadap para tersangka, tidak dilakukan penahanan karena pertimbangan objektif. Kedua tersangka anggota Polri aktif serta kooperatif pada saat (menjalani) persidangan,” ujar Ebenezer, saat dikonfirmasi wartawan dari Jakarta, Selasa (24/8).

Kasus pembunuhan enam anggota Laskar FPI yang mengawal Habib Rizieq Shihab (HRS) terjadi pada Desember 2020. Peristiwa tersebut terjadi di Km 50 Tol Jakarta-Cikampek (Japek), Jawa Barat.

Menurut penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM),  sebagian dari peristiwa pembunuhan itu sebagai pelanggaran HAM. Untuk itu, Komnas HAM merekomendasikan kepada pemerintah untuk memproses hukum kasus tersebut.

Menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM, Mabes Polri menetapkan tiga tersangka. Para tersangka itu, yakni FR dan MYO serta Elwira Priyadi Zendrato. Akan tetapi, dari ketiga tersangka, hanya MYO dan FR yang berkas perkaranya dilanjutkan ke penuntutan. Tersangka Elwira tak dapat dilakukan penuntutan karena dinyatakan tewas karena kecelakan.

Pada Senin (23/8), Kejakgung resmi melimpahkan berkas dakwaan tersangka Briptu FR dan Ipda MYO ke Kejaksaan Negeri Jakarta Timur. Berkas perkara kemudian diteruskan dengan pelimpahan ke Pengadilan Negeri Jaktim untuk disidangkan.

Dalam rencana dakwaan, dua tersangka akan dijerat dengan pasal pembunuhan, Pasal 338 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sebagai tuduhan primer. Adapun dalam rencana dakwaan subsider, jaksa penuntut umum (JPU) memakai sangkaan pasal penganiayaan yang menyebabkan kematian, Pasal 351 ayat (3) juncto, Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

HRS terus Ditahan

Berbeda nasib dengan tersangka pembunuhan enam laskar pengawalnya, HRS hingga kini justru masih ditahan oleh penegak hukum. Tim kuasa hukum HRS pun berencana mengadukan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta ke Ombudsman Republik Indonesia terkait penetapan penahanan kembali kliennya tersebut, Rabu (25/8).

"Kita akan mengadukan tindakan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi DKI yang mengeluarkan penetapan penahanan Habib, ke Ombudsman. Karena ini kami duga masuk tindakan malaadministrasi," kata kuasa kukum HRS, Azis Yanuar, di Jakarta Selatan, Selasa (24/8).

Aziz mengatakan, penetapan penahanan kembali Rizieq Shihab tidak sesuai prosedur hukum karena melalui surat yang dikeluarkan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, bukan keputusan majelis hakim dalam persidangan. Selain Pengadilan Tinggi, pihaknya juga akan mengadukan Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang dianggap bertindak diskrimintaif.

Menurut dia, tindakan PN Jakarta Timur yang tidak menerima kasasi terhadap hukuman kliennya telah melanggar hukum. Apalagi, kata dia, pihak pengadilan pernah menerima kasasi di bawah satu tahun hukuman. "Kasasi di bawah yang ancaman hukumannya satu tahun diterima. Kita Habib Rizieq untuk hal yang dibolehkan ditolak," ujarnya.

Sebelumnya, masa penahanan HRS diperpanjang selama sebulan berdasarkan penetapan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor: 1831/Pen.Pid/2021/PT. DKI tanggal 05 Agustus 2021 tentang penahanan pada tingkat banding dalam perkara RS Ummi dengan Nomor Perkara: 225/Pid.Sus//2021/PN. Jkt.

Padahal, HRS dijadwalkan bebas pada 9 Agustus 2021. Namun, HRS harus menjalani penahanan untuk kasus tes usap palsu RS Ummi Bogor hingga 7 September 2021.

HRS mulai ditahan pada 12 Desember 2020 atas perkara kerumunan di Petamburan (vonis delapan bulan penjara) dan Megamendung (vonis denda Rp 20 juta). HRS kemudian dijerat juga dengan perkara tes usap palsu RS Ummi Bogor.

Untuk perkara RS Ummi (vonis empat tahun penjara), HRS tidak ditahan karena telah ditahan untuk perkara sebelumnya, yaitu soal kerumunan di Petamburan dan Megamendung.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat