Pameran foto dalam rangka peringatan Hari Tuberkulosis (TBC) yang digelar Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Kelas II Bandung di Bandara Husein Sastranegara, Kota Bandung, beberapa waktu lalu. | Republika/Edi Yusuf

Opini

Eliminasi Tuberkulosis

Saat ini Indonesia ternyata penyumbang kasus kedua tuberkulosis (TB) terbanyak di dunia.

YJANDRA YOGA ADITAMA, Direktur Pascasarjana Universitas YARSI dan Guru Besar FKUI

Kendati kini dunia sedang berjuang habis-habisan mengendalikan pandemi Covid-19, kita harus juga menangani masalah kesehatan lainnya. Salah satu yang harus kita tangani dengan amat saksama adalah tuberkulosis.

Setidaknya karena tiga hal. Pertama, saat ini Indonesia ternyata penyumbang kasus kedua tuberkulosis (TB) terbanyak di dunia. Kedua, kematian akibat TB di negara kita 98 ribu setahun atau setara 11 kematian setiap jam, menyedihkan.

Ketiga, sudah ditentukan bahwa Indonesia akan mengeliminasi tuberkulosis pada 2030. Artinya, tinggal sembilan tahun lagi dan sekarang kasus masih tinggi.

Kuman penyebab tuberkulosis ditemukan Robert Koch, ilmuwan Jerman dan secara resmi dipresentasikan pada 24 Maret 1882. Tanggal itu sampai sekarang diperingati setiap tahunnya sebagai hari tuberkulosis sedunia.

Walaupun sudah lebih dari 130 tahun ditemukan,  tuberkulosis masih jadi masalah kesehatan penting dunia sekarang ini.

 
Penurunan angka pengobatan ini, tentu karena kesibukan kita menangani pandemi Covid-19, sehingga masalah kesehatan lain seperti TB tidak mendapat prioritas utama.
 
 

Kini, diperkirakan, seperempat (25 persen) penduduk dunia pernah terinfeksi kuman Mycobacterium tuberculosis penyebab TB. Data “Global TB Report 2020” yang menyajikan data 2019 menunjukkan, 1,4 juta orang meninggal dunia dalam setahun akibat TB.

Ada 10 juta orang serta 1,2 juta anak sakit TB dalam setahun. Laporan ini juga menyampaikan, 30 negara menjadi sumber dari 87 persen kasus TB di dunia. Delapan negara menyumbang dua pertiga kasus. Yakni, India (26 persen), Indonesia (9 persen), Cina (8 persen), Filipina (6 persen), Pakistan (6 persen), Nigeria (4 persen), Bangladesh (4 persen), dan Afrika Selatan (4 persen).

“Global TB Report 2020” ini juga menyebutkan, kasus TB di negara kita pada 2019 adalah 845 ribu dan baru 67 persen yang ditemukan dan diobati. Artinya, terdapat 283 ribu pasien TB belum diobati dan berisiko menjadi sumber penularan bagi orang di sekitarnya.

Ini data 2019, sebelum Covid-19. Data 2020 lebih memprihatinkan lagi karena hanya 41,4 persen yang diobati. Jadi, ada sekitar 495 ribu pasien TB belum diobati dan mungkin sudah menularkan ke orang di sekitarnya.

Penurunan angka pengobatan ini, tentu karena kesibukan kita menangani pandemi Covid-19, sehingga masalah kesehatan lain seperti TB tidak mendapat prioritas utama.

Di sisi lain, sejak awal Indonesia mencanangkan akan mengeliminasi tuberkulosis pada 2030, tentu perlu kerja yang sangat keras.

Perpres tuberkulosis

Satu langkah besar dalam mengeliminasi tuberkulosis di Indonesia pada 2030 adalah terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis.

 
Di sisi lain, sejak awal Indonesia mencanangkan akan mengeliminasi tuberkulosis pada 2030, tentu perlu kerja yang sangat keras.
 
 

Perpres ini menjadi landasan bagi kementerian/lembaga, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, pemerintah desa, serta pemangku kepentingan lainnya dalam melaksanakan penanggulangan TB.

Perpres yang diundangkan pada 2 Agustus 2021 ini diluncurkan pada 19 Agustus 2021. Dapat dikatakan, ini salah satu kado di hari kemerdekaan bagi pemberantasan tuberkulosis di Indonesia.

Dalam Perpres No 67 Tahun 2021 disebutkan, eliminasi tuberkulosis adalah pengurangan terhadap tuberkulosis secara berkesinambungan guna menekan angka penyakit serendah mungkin agar tidak menjadi masalah kesehatan.

Target eliminasi disebutkan pada Pasal 4, yaitu pada 2030 terjadi penurunan angka kejadian (“incidence rate”) TB menjadi 65 per 100 ribu penduduk dan penurunan angka kematian akibat TB menjadi enam per 100 ribu penduduk.

Ini kerja besar karena saat ini angka kejadian (incidence rate) masih 312/100 ribu penduduk dan angka kematian 34/100 ribu penduduk. Jadi, harus turun amat jauh untuk mencapai target yang sudah dicanangkan ini.

Perpres ini mengatur target dan strategi nasional eliminasi TB, pelaksanaan strategi nasional eliminasi TB, tanggung jawab pemerintah pusat dan pemda, koordinasi percepatan penanggulangan TB, peran serta masyarakat, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan serta tentang pendanaan.

Sesudah ada perpres, tahap berikutnya adalah implementasi di lapangan. Tantangan tentu akan ada, terutama pandemi Covid-19 sekarang ini dan masalah lainnya. Penanggung jawab program TB di seluruh Indonesia tentu akan berupaya agar implementasi berjalan optimal.

TB dan Covid-19

Sejak Juli 2020, Presiden Jokowi memberi arahan agar penanganan TB dapat mengikuti model seperti pengendalian Covid-19.

 
Ada tiga inisiatif yang dapat dilakukan, yaitu inovasi, kolaborasi, dan integrasi agar tujuh kegiatan pengendalian Covid-19 dapat juga berjalan dengan model yang sama untuk penanggulangan tuberkulosis.
 
 

Ada tiga inisiatif yang dapat dilakukan, yaitu inovasi, kolaborasi, dan integrasi agar tujuh kegiatan pengendalian Covid-19 dapat juga berjalan dengan model yang sama untuk penanggulangan tuberkulosis.

Ketujuh kegiatan pengendalian itu adalah testing untuk menemukan yang sakit, penelusuran kontak, surveilans, penanganan di fasilitas pelayanan kesehatan, pedoman pencegahan infeksi, komunikasi risiko, dan keterlibatan masyarakat.

WHO menyampaikan, empat aktivitas harus berjalan bersama antara TB dan Covid-19. Pertama, pencegahan. Kita tahu, memakai masker dan menjaga jarak baik untuk mencegah Covid-19 dan itu juga baik mencegah penularan tuberkulosis.

Kedua, diagnosis. Pemeriksaan TCM (tes cepat molekuler) yang tadinya dipakai untuk diagnosis TB,  kini setiap hari digunakan untuk tes Covid-19. Ketiga, pengobatan dan perawatan serta keempat tentang SDM.

Kita tahu, petugas kesehatan yang biasa menangani tuberkulosis, kini disibukkan oleh Covid-19 yang juga menyerang paru-paru. Berikutnya, menemukan kasus-kasus TB yang sepanjang 2020 dan 2021 tak ditemukan karena kesibukan menangani Covid-19.

Untuk ini, perlu pemetaan di daerah mana saja ada penurunan penemuan kasus TB dan di sana perlu dilakukan penemuan kasus secara aktif, turun langsung ke lapangan.

Akselerasi

Selain penanganan TB dan Covid-19, perlu upaya mengakselerasi program tuberkulosis melalui tiga hal.  

 
Kedua, penanganan tuberkulosis yang harus dilakukan bersama penanganan penyakit/keadaan kesehatan yang mungkin menyertainya, misalnya diabetes melitus, HIV/AIDS, kebiasaan merokok, dan kekurangan gizi.
 
 

Pertama, penggunaan teknologi digital. Bisa meliputi telekonsultasi kesehatan, pemantauan secara virtual untuk menilai kepatuhan minum obat serta pemanfaatan teknologi digital untuk memantau ketersediaan logistik obat dan alat pengendalian tuberkulosis.

Kedua, penanganan tuberkulosis yang harus dilakukan bersama penanganan penyakit/keadaan kesehatan yang mungkin menyertainya, misalnya diabetes melitus, HIV/AIDS, kebiasaan merokok, dan kekurangan gizi.

Ketiga, penggunaan teknologi kesehatan mutakhir. Antara lain, penggunaan diagnosis molekuler untuk menilai resistensi obat, penggunaan obat oral untuk pengobatan pencegahan dan penanganan kasus resistensi banyak obat dan menyelesaikan riset operasional untuk regimen obat baru, misalnya BPaL untuk kasus yang tidak bisa diobati dengan regimen yang lazim digunakan.

Akselerasi dengan penerapan prinsip dasar juga perlu dilakukan dalam tiga hal penting. Pertama, keterlibatan masyarakat, penyintas TB, kader kesehatan, serta tokoh masyarakat dalam pengendalian tuberkulosis.

Selanjutnya, implementasi di berbagai daerah yang melibatkan lintas sektor dan lintas program, dengan rencana kerja serta pemantauan  dan evaluasi saksama.

Terakhir, eliminasi tuberkulosis ini harus berorientasi pasien dan keluarganya, jelasnya berorientasi pada masyarakat yang dilayani. Kita menaruh harapan tinggi pada implementasi Perpres No 67 Tahun 2021 ini. Semoga, eliminasi tuberkulosis pada 2030 tercapai.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat