Dari Aceh hingga Kalimantan dan Jawa, para ulama menggerakkan perjuangan melawan Jepang. | Antara/Novrian Arbi

Tema Utama

Perjuangan Umat di Zaman Penjajahan Jepang

Dari Aceh hingga Kalimantan dan Jawa, para ulama menggerakkan perjuangan melawan Jepang.

OLEH HASANUL RIZQA

Sejarah pendudukan militer Jepang atau Nippon di Indonesia berlangsung selama kira-kira tiga tahun, 1942-1945. Dalam periode tersebut, kekaisaran ini tidak hanya mengeruk sumber daya alam, tetapi juga berupaya merebut simpati rakyat setempat.

Dukungan dari massa dibutuhkan karena Nippon masih harus menghadapi kekuatan Sekutu di kancah Perang Dunia II, terutama gelanggang Asia Pasifik.

Nippon mengerti betul bahwa mayoritas orang Indonesia adalah Muslim. Ketidaksukaan mereka terhadap Belanda pun dimanfaatkannya. Caranya dengan mengakomodasi kepentingan kalangan ini.

Maka pemerintah pendudukan membentuk berbagai lembaga untuk itu. Di antaranya adalah Departemen Agama (Shumubu), Kantor Urusan Agama (Shumuka), dan Madjelis Sjuro Muslimin Indonesia (Masjumi).

Pada awalnya, kesan positif masih ditunjukkan Nippon. Akan tetapi, kekejaman dan kebengisan mereka terhadap rakyat tidak lagi dapat ditutup-tutupi. Penderitaan, kemiskinan, dan bahkan kematian akibat kebijakan penguasa merebak di mana-mana.

Terlebih lagi, pemerintah pendudukan Jepang tidak hanya merepresi kaum Muslimin dalam hal politik dan ekonomi, tetapi juga kehidupan keagamaan. Kewajiban pelaksanaan saikeirei adalah salah satu contoh telak—meskipun pada akhirnya aturan itu dicabut.

Dalam tesisnya, “The Role of the Ulama During the Japanese Occupation of Indonesia (1942-45)”, Nourouzzaman Shiddiqi memaparkan beberapa perlawanan yang dilakukan sejumlah ulama Indonesia terhadap penjajahan Jepang. Salah satunya datang dari Tengku Abdul Djalil asal Aceh.

Lelaki yang saat itu berusia 30 tahun tersebut merupakan kepala madrasah (dayah) di Cot Pling. Sejak awal kedatangan Jepang di Bumi Serambi Makkah, dirinya tidak pernah percaya bahwa militer Negeri Matahari Terbit akan menghormati agama Islam dan kedaulatan Aceh.

Shiddiqi mengatakan, bagi Tgk Abdul Djalil, tidak ada beda antara penguasa kolonial Belanda dan Jepang. Keduanya sama-sama kafee (kafir) yang memusuhi kaum Muslimin. Bahkan, yang belakangan itu cenderung lebih barbar. Mereka sangat tidak mengindahkan sama sekali martabat orang Aceh. Para tentara Nippon pun suka bertindak kasar. Banyak masyarakat lokal yang merasakan arogansi militer asing tersebut

Tgk Abdul Djalil merupakan salah seorang dai yang tidak termasuk anggota Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Organisasi ini sudah terbentuk sejak zaman kolonial Belanda. Begitu mendengar kabar pecahnya Perang Dunia II, para pemimpin PUSA sepakat untuk berkompromi dengan Nippon agar Belanda hengkang dari Aceh.

Setelah Nippon menguasai Penang (Malaysia) pada 1941, mereka mengirim utusan ke sana. Disepakatilah terbentuknya Fujiwara-kikan atau Gerakan F untuk menyerang basis-basis pertahanan Belanda di Aceh sebelum Nippon mendarat di Sumatra.

Para pemuka PUSA melakukannya karena pihak Jepang berjanji untuk tidak membombardir Aceh. Akan tetapi, seperti yang dapat dilihat kemudian, para tentara Nippon bertindak semena-mena begitu menguasai Tanah Rencong.

Tgk Abdul Djalil pun mengkritik langkah PUSA yang sejak awal tidak menyadari sifat khianat pada diri Nippon. Sejak 1942, makin banyak tokoh organisasi tersebut yang berpindah ke gerakan lain, semisal Masjumi.

Syahidnya sang tengku

Penguasa militer Jepang memberlakukan banyak aturan yang menindas kebebasan umum di Aceh. Di antaranya, masyarakat dilarang membacakan, mengedarkan, ataupun mengajarkan “Hikayat Prang Sabil".

Nippon sangat paham, pengajaran teks sastrawi itu dapat menginspirasi masyarakat Aceh untuk memberontak. Karya sastra lisan tersebut merupakan sebuah syair kepahlawanan. Isinya membangkitkan semangat rakyat Aceh untuk terus berjuang melawan penjajahan, sejak zaman imperialis Portugis hingga Belanda.

Namun, Tgk Abdul Djalil tidak gentar. Ia tetap mengajarkan “Hikayat Prang Sabi” kepada murid-murid di dayahnya. Maka dirinya pun berkali-kali dikirim surat panggilan pemeriksaan oleh polisi Jepang (kenpeitai). Tidak satu kali pun sang mubaligh meresponsnya.

Sejumlah tokoh lokal berusaha membujuknya agar tidak amat sangat terbuka melancarkan kebencian terhadap Nippon. Tgk Abdul Djalil juga diimbau agar menyerah. Kalau tidak begitu, Nippon dikhawatirkan bisa membakar dayah tempatnya mengajar dan bahkan desa tempat tinggalnya.

“Menyerah belum tentu mati syahid, melainkan mati hina. Tetapi melawan sudah terang syahid!” jawab sang tengku, tegas.

 
Menyerah belum tentu mati syahid, melainkan mati hina. Tetapi melawan sudah terang syahid!
 
 

Perjuangan Tgk Abdul Djalil tercatat dalam buku Buya Hamka, Kenang-kenangan Hidup (jilid tiga). Diceritakannya, dayah mubaligh tersebut akhirnya dikepung pasukan Nippon tepat pada 11 November 1942. Para santri sudah bersiap menghadapi serbuan. Namun, jalannya pertempuran sangat tidak imbang. Persenjataan para prajurit Jepang jauh mengungguli mereka.

Menurut Buya Hamka, sebanyak 98 santri gugur dalam kejadian ini. Tgk Abdul Djalil sendiri kemudian ditangkap. Pengadilan Nippon menjatuhkan hukuman mati kepadanya.

Setelah dieksekusi, jasad sang syuhada dipertontonkan kenpeitai di hadapan publik. Tindakan itu justru semakin meningkatkan resistensi orang Aceh. Saking paniknya, pemerintah militer Nippon lantas menggeledah setiap rumah penduduk dan menyita apa pun benda tajam dari warga—bahkan termasuk pisau dapur.

Pemuda Muhammadiyah

Peristiwa lainnya yang dipaparkan Shiddiqi ialah perlawanan Pemuda Muhammadiyah di Pontianak, Kalimantan Barat. Sama seperti Aceh, masyarakat Kalimantan pun merasakan penindasan di bawah rezim Nippon. Organisasi tersebut lantas mempersiapkan diri untuk bangkit melawan Jepang. Mereka membentuk korps pertempuran yang disebut “Sukarela".

Laskar itu secara diam-diam menjalin kontak dengan milisi serupa di Banjarmasin yang dipimpin Susilo. Kedua kelompok itu berencana, pemberontakan akan dilakukan pada 8 Desember 1943, tepat ketika Nippon merayakan tahun ketiga serangan ke Pearl Harbour. Sasaran utama korps “Sukarela” dan laskar Susilo ialah Markas Kenpeitai di Pontianak.

Sayangnya, rencana tersebut tidak pernah terlaksana. Sebab, kenpeitai setempat telah mengetahuinya terlebih dahulu. Susilo dan teman-temannya di Banjarmasin kemudian diburu. Setelah berhasil ditangkap, mereka semua dieksekusi mati.

Menurut Shiddiqi, Nippon dalam beberapa bulan saja di Kalimantan telah membunuh sekitar 20 ribu orang. Tidak sedikit dari para pribumi itu dimuat dalam truk—yang oleh penduduk lokal dinamakan dengan getir: “Kereta Neraka".

Sesudah itu, para tahanan dibawa ke daerah rawa-rawa di luar kota. Di sanalah, mereka satu per satu ditembak mati. Mengutip Colin Mason dalam Understanding Indonesia (1970), “Orang Jepang menghentikan segala upaya perlawanan dengan efisiensi yang mengerikan.”

Kekerasan yang dilakukan Nippon di Aceh dan Kalimantan juga dapat dijumpai di Jawa. Seperti para saudara seiman dari kedua daerah tersebut, kaum Muslimin setempat pun menunjukkan perlawanan sekuat daya dan upaya. Mereka tidak akan tinggal diam dan menyerah di hadapan kesewenang-wenangan penguasa.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (republikaonline)

Jihad di Singaparna

Satu contoh perjuangan anti-imperialisme Jepang itu terjadi di Pesantren Sukamanah, Desa Cimerah, Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat. Pemimpinnya merupakan seorang kiai muda yang kharismatik, KH Zaenal Mustafa. Dia baru berusia 26 tahun saat mendirikan lembaga tersebut pada 1927.

Dia sudah berjuang sejak zaman kolonialisme Belanda. Berkali-kali, ulama muda tersebut ditahan pihak penguasa. Ketika akhirnya Nippon menguasai Jawa Barat, ia termasuk dalam daftar tahanan yang dibebaskan dari Penjara Sukamiskin, Bandung.

Namun, sikapnya kepada kezaliman Jepang sangatlah tegas. Pada 25 Februari 1944, Kiai Zaenal Mustafa memimpin rakyat lokal dalam Pertempuran Singaparna. Itulah kali pertama perlawanan bersenjata terjadi melawan pemerintah pendudukan Jepang di Jawa.

Shiddiqi menjelaskan, Kiai Zaenal merupakan seorang pejuang yang teguh. Prinsipnya antara lain ialah tidak boleh ada pertumpahan darah antarsesama anak bangsa, terlebih lagi yang saudara seiman. Menjelang peristiwa Singaparna, para santrinya sudah mempersiapkan mental untuk jihad fii sabilillah. Mereka sudah siap gugur demi membela keyakinan.

Namun, para pengikut Kiai Zaenal mendapati hal yang tidak disangka-sangka. Ternyata, ada orang-orang pribumi di antara pasukan Heiho dan kenpeitai yang mengepung Pesantren Sukamanah. Santri-santri ini pun sempat ragu untuk menghadapi para pengepung. Sebelum keputusan diambil sang kiai, tembakan sudah dinyalakan pihak militer Nippon.

Dalam pertempuran ini, menurut Shiddiqi, sebanyak 117 santri Singaparna gugur. Beberapa hari kemudian, otoritas Nippon yang berpusat di Jakarta menangkap Kiai Zaenal bersama para pendukungnya, termasuk 21 orang tokoh agama Tasikmalaya.

Sesudah mengalami siksaan yang berat selama di penjara, sang pejuang lalu dijatuhi hukuman mati. Eksekusi dilaksanakan di Ancol. Jenazahnya sempat dikebumikan di lokasi tersebut, tetapi kemudian dipindahkan ke daerah asalnya.

photo
Hadratussyekh KH Hasyim Asyari (tengah). - (DOK NU)

Mbah Hasyim di Tahanan Nippon

Masih banyak kisah heroisme kaum Muslimin Indonesia pada masa pendudukan Jepang. Dengan dipimpin para ulama, mereka berjuang di hadapan penguasa militer yang keras dan zalim. Salah satu kisah yang menggetarkan hati ialah pengalaman Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari saat menghadapi rezim Nippon.

Mbah Hasyim termasuk dalam tokoh-tokoh agama yang menentang praktik saikeirei. Pendiri Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) itu bahkan mengeluarkan fatwa haramnya mengikuti upacara demikian. Sebab, tradisi Nippon itu menjurus pada kemusyrikan, dosa terbesar menurut ajaran Islam.

Fatwa yang dikeluarkan Mbah Hasyim membuat berang pemerintah pendudukan. Penguasa lalu mencari-cari cara untuk mengintimidasi pendiri Pondok Pesantren Tebuireng itu. Akhirnya, nama ulama ini disangkutpautkan dengan aksi massa di pabrik gula Jombang. Polisi Nippon menudingnya sebagai dalang kerusuhan.

Menurut Ensiklopedia NU, Mbah Hasyim ditahan otoritas Nippon sekitar bulan April-Mei 1942. Awalnya, sang alim dipenjara di Jombang, tetapi kemudian dipindahkan ke Mojokerto selama empat bulan. Sempat pula ditahan di Surabaya, bersama dengan tawanan perang.

Setiap pagi, seluruh tahanan dipaksa melaksanakan saikeirei. Namun, Mbah Hasyim selalu menolak melakukannya. Para sipir penjara pun menyiksanya. Waktu itu, sang ulama telah lanjut usia—70 tahun umurnya.

Kakek presiden keempat RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini selalu teguh mempertahankan akidah. Di dalam selnya, ia tetap rutin mengamalkan wirid-wirid. Lisannya juga melafalkan ayat-ayat suci Alquran serta mengulang hafalan hadis-hadis yang terkandung dalam Shahih Bukhari.

 

Cerita tentang keteguhan hati Mbah Hasyim selama dipenjara rezim Nippon diriwayatkan seorang komandan Hizbullah Jawa Tengah, KH Saifuddin Zuhri. Seperti dinukil dari buku Berangkat dari Pesantren (2013), Kiai Zuhri pernah bertanya kepada KH Abdul Wahid Hasyim, seorang putra tokoh tersebut: “Bagaimana kabar hadratussyekh setelah keluar dari tahanan Nippon?”

Menurut Kiai Abdul Wahid, kesehatan ayahandanya justru kian membaik. Bahkan, Mbah Hasyim disebutnya mampu mengkhatamkan Alquran dan Shahih Bukhari berkali-kali selama dipenjara tersebut.

Pada 18 Agustus 1942, Mbah Hasyim akhirnya dibebaskan. Itu terjadi setelah para tokoh NU menyampaikan protes secara langsung kepada otoritas militer di Jakarta. Belakangan, Nippon justru merangkul kalangan ulama, termasuk sang pendiri NU.

Secara terbuka, kepala pemerintahan pendudukan Jepang meminta maaf kepada umat Islam. Menurutnya, selama ini pihaknya kurang mengenal tradisi budaya Muslim. Aturan yang mewajibkan pribumi untuk melakukan saikeirei pun dicabut.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat