KH Muhammad Syanwani. Kiai Syanwani termasuk mubaligh yang istiqamah berjuang di jalur dakwah maupun pendidikan. | DOK REPRO BUKU KH Syanwani Banten Perjalanan

Mujadid

KH Muhammad Syanwani, Ulama-Pendidik Istiqamah

Kiai Syanwani termasuk mubaligh yang istiqamah berjuang di jalur dakwah maupun pendidikan.

OLEH MUHYIDDIN

Syiar Islam di Banten tidak terlepas dari peran para ulama. Sejak abad ke-16 M, dakwah tauhid disokong para wali, utamanya Sunan Gunung Jati. Hingga masuknya kolonialisme Belanda, mayoritas penduduk lokal telah memeluk agama ini.

Pada abad ke-20, banyak ulama yang berkiprah memimpin dan mengajarkan umat Islam di Banten. Salah seorang di antaranya adalah KH Muhammad Syanwani. Ia termasuk mubaligh yang istiqamah berjuang, baik di jalur dakwah maupun pendidikan.

Tokoh ini lahir pada 13 Agustus 1926 M atau pertepatan dengan tahun 1347 Hijriah. Ia berasal dari Kampung Sampang, Desa Susukan, Kecamatan Tirtayasa, Serang, Banten. Putra ketiga dari pasangan KH Abdul Aziz dan Nyai Salhah tumbuh besar dalam lingkungan yang religius.

Dilihat dari silsilahnya, Syanwani mewarisi darah ulama. Dari jalur ayah, nasabnya bersambung kepada Syekh Sulaiman, seorang alim yang bermukim di Kasunyatan, Kasemen, Banten. Dari jalur ibu, garis keturunannya juga sampai kepada Syekh Mansur Cikaduen.

Saat masih kecil, Syanwani termasuk anak yang cukup bandel, keras kepala, dan manja. Kendati demikian, tanda-tanda kecerdasan sudah muncul sejak belia. Ia pun memiliki sifat pemurah dan mudah berempati terhadap orang lain. Orang tuanya juga mengajarkannya untuk selalu jujur.

Syanwani kecil memperoleh pendidikan ilmu agama Islam dari dari kedua orang tuanya. Karena itu, tak heran jika dalam usia yang masih belia, ia sudah mampu membaca Alquran dengan fasih. Ayah dan ibunya menerapkan disiplin yang ketat untuk sang buah hati.

 
Dalam usia yang masih belia, ia sudah mampu membaca Alquran dengan fasih.
 
 

Pada 1939, Syanwani mendapat kesempatan untuk belajar selama dua tahun di sekolah rakyat (volkschool). Di sana, dia menjadi murid yang diperhitungkan oleh guru-guru. Sebab, anak lelaki ini memiliki kemampuan menulis dan berhitung yang paling bagus dibandingkan kawan-kawan sebaya.

Setelah belajar di sekolah formal, barulah Syanwani kecil dikirim orang tuanya untuk mondok. Tercatat, beberapa pondok pesantren pernah menjadi tempatnya menuntut ilmu-ilmu keislaman. Ia mengawali rihlah intelektualnya di Pondok Pesantren Biyongbong, Undar-Andir, Serang. Selama dua tahun, ia banyak mempelajari dasar-dasar ilmu keislaman kepada Kiai Jamin, pengasuh lembaga tersebut.

Setelah dari Pesantren Biyongbong, Syanwani muda kemudian melanjutkan perjalanan keilmuannya ke Pesantren Cengkudu, Baros, Serang. Selama lima tahun di pesantren ini, ia mendapat bimbingan dari Abuya Sidik, seorang kiai karismatik dan alim di Banten. Banyak hikmah dan pelajaran yang diterima Syanwani dari gurunya tersebut.

Di Pesantren Cengkudu, Syanwani termasuk santri yang cerdas. Karena itu, Abuya Sidik mempercayakan padanya untuk mengajar para murid. Bahkan, ada beberapa ustaz yang mengaji sepekan sekali kepadanya. Sang abuya sangat membanggakan santri kinasihnya tersebut.

 
Ia terus belajar dari satu pesantren ke pesantren lainnya untuk mendalami ilmu-ilmu agama.
 
 

Pada masa mudanya, Syanwani mengisi keseharian sebagai seorang santri kelana. Ia terus belajar dari satu pesantren ke pesantren lainnya untuk mendalami ilmu-ilmu agama. Di antara banyak lembaga yang pernah menjadi tempatnya nyantri ialah Pondok Pesantren Sondol Rangkas Bitung, Pesantren Kadu Peusing Pandeglang, Pesantren Cijahe Pandeglang, dan Pesantren Citangkil Cilegon.

Ia juga menjadi santri di sejumlah pesantren luar wilayah Banten. Sebagai contoh, ia pernah belajar di Bandung, Garut, Cianjur, dan Tasikmalaya. Lembaga yang terakhir itu ialah Pondok Pesantren Suralaya, yang diasuh oleh Syekh Mubarok. Sosok yang juga dikenal sebagai Abah Sepuh itu merupakan seorang mursyid Tarekat Qodariyah wa an-Naqsabandiyah.

Syanwani belajar di Pesantren Suralaya selama dua tahun. Ijazah tarekat untuk pertama kali diterimanya, yakni dari Abah Sepuh. Setelah itu, ia pulang ke kampung halamannya di Sampang. Untuk sementara, pemuda ini juga sempat mengikuti kursus penguasaan bahasa Arab di Tangerang.

Pada Rabiul Awal 1371 Hijriah atau bertepatan dengan Juni 1950 M, Syanwani membangun sebuah surau. Bangunan sederhana itu kelak menjadi cikal-bakal pesantren. Dari surau inilah Syanwani menggelar pengajian. Majelis taklim yang digelarnya secara rutin mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam kepada masyarakat.

Keberlangsungan kajian di sana tidak terjaga. Sebab, Syanwani masih harus mondok lagi ke beberapa pesantren. Di antaranya adalah sebuah pesantren tasawuf yang diasuh Kiai Umar di Rancalang. Selama di sana, putra daerah Banten itu menyelami dunia sufisme secara lebih aktual dan kontekstual. Dalam perjalanan kesufiannya, ia pun tetap memegang Syarah al-Hikam sebagai pedoman laku spiritualitas.

Dalam buku berjudul KH Syanwani Banten: Perjalanan Hidup Ulama Pejuang, M Hamdan Suhaemi menjelaskan, tokoh ini menjalani rihlah di banyak pesantren selama 19 tahun. Dalam rentang waktu tersebut, begitu banyak ilmu dan pengalaman diperolehnya. Barulah sesudahnya, ia kembali ke kampung halaman.

Mendirikan pesantren

Setelah belasan tahun berkelana menuntut ilmu di berbagai pesantren, akhirnya Syanwani pulang ke Sampang pada 1962. Dia pun tampil menjadi kiai muda. Kiprahnya dimulai dengan mengasuh sejumlah santri. Setelah pelbagai persiapan, ia pun mendirikan sebuah pondok pesantren kira-kira setahun kemudian.

Kiai Syanwani menamakan pesantrennya, Ashhabul Maimanah. Dengan itu, harapannya adalah bahwa pesantren tersebut dapat mencetak orang-orang beriman yang termasuk ahli surga. Pesantren ini dibangun di atas tanah wakaf keluarga Syanwani, ditambah dengan donasi masyarakat sekitar.

Awalnya, santri pesantren ini hanya sekira 80 orang. Seiring berjalannya waktu, jumlahnya bertambah banyak hingga mencapai ratusan. Mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Dalam perkembangannya kemudian, Kiai Syanwani juga membangun gedung Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (Mts), dan Madrasah Aliyah (MA).

 
Ia termasuk mubaligh yang tegas dan karismatik. Energinya seakan tidak pernah habis untuk mengajar dari satu pengajian ke pengajian lain.
 
 

Selain mengembangkan pesantren dan sibuk mengurus santri, ia juga aktif berjuang dan berdakwah di tengah masyarakat. Ia termasuk mubaligh yang tegas dan karismatik. Energinya seakan tidak pernah habis untuk mengajar dari satu pengajian ke pengajian lain.

Pada 1966, Syanwani sempat menempuh ujian persamaan mualimin di Kubang, Petir, Serang. Di sini juga, dia berdakwah melalui organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Itu dilakukan atas dorongan alumni Pesantren Tebuireng yang menggiatkan NU di Banten.

Dalam lingkup jam’iyah tersebut, Kiai Syanwani menjadi wakil rais syuriah Kabupaten Serang. Ia juga dipercaya untuk memimpin lembaga Ittihadul Muballighin (Persatuan Mubaligh) daerah setempat. Pada 1968, ia berkesempatan menunaikan ibadah haji untuk pertama kalinya. Perjalanan sebulan lamanya ditempuh dengan menggunakan kapal laut dari pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, hingga Arab Saudi.

Sepulang dari berhaji, Kiai Syanwani meneruskan pengembangan pesantrennya ke arah yang lebih maju. Dia juga menggelar pengajian setiap Jumat pagi (jam’iyahan) untuk kalangan kiai dan ustaz muda. Pada Jumat sore, ia menyediakan waktu untuk mengisi pengajian yang diikuti oleh jamaah ibu-ibu. Semua itu sudah menjadi rutinitas baginya hingga ajal menjemput pada 1993.

Seiring dengan meningkatnya keinginan masyarakat akan pendidikan agama bagi putra-putrinya, jamaah pengajian jumatan tersebut kemudian menghadap Kiai Syanwani. Mereka memohon untuk mendirikan cabang-cabang Madrasah Ashhabul Maimanah. Akhirnya, didirikanlah cabang madrasah beberapa daerah di wilayah Banten dan Jawa Barat.

Selain madrasah, Kiai Syanwani juga mendirikan cabang Perguruan Tinggi Islam Banten (PTIB) Serang. Di kampus ini, Kiai Syanwani menjabat sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin, sedangkan posisi rektor dijabat sahabatnya yang mendirikan PTIB Serang, yaitu Prof KH Wahab Afif.

Kiai Syanwani menyelenggarakan perkuliahan di kampus tersebut pada 1987. Kontribusi Kiai Syanwani dengan menyelenggarakan perkualian merupakan cerminan dari jiwa pengabdian dan perjuangan seorang Kiai Syanwani untuk kemajuan Islam dan kemuliaan umat Islam.

Sejak mengajar di kampus ini, ia mulai menderita penyakit darah tinggi. Bahkan, dia sempat dirawat di beberapa rumah sakit. Setelah sakit-sakitan, aktivitas dakwahnya pun mulai dikurangi. Hingga akhirnya Kiai Syanwani berpulang ke rahmatullah pada 17 April 1993. Jenazahnya dikebumikan di tanah permakaman milik keluarga besarnya di Sampang.

photo
ILUSTRASI KH Muhammad Syanwani, seorang ulama karismatik dari Banten telah menghasilkan banyak karya. Kitab-kitabnya menjadi rujukan banyak pesantren. - (DOK ANTARA Muhammad Bagus Khoirunas)

Sang Kiai Produktif Menulis

KH Muhammad Syanwani (1926-1993) adalah seorang ulama asal Banten. Ia memiliki bakat menulis yang tinggi. Ada banyak catatan, risalah ceramah, dan komentar kritis (syarah) yang dihasilkannya.

Karena itu, Kiai M Syanwani bisa dipandang sebagai seorang dai yang cukup produktif dalam menulis. Di antara kitab-kitab karangannya, terdapat karya yang memuat ilmu nahwu, sharaf, tauhid, dan fikih. Bahkan, pendiri Pondok Pesantren Ashhabul Maimanah ini juga menggubah syair-syair didaktis.

Dalam buku KH Syanwani Banten: Perjalanan Hidup Ulama Pejuang, M Hamdan Suhaemi mengungkapkan, ada delapan karya yang ditulis Kiai Syanwani. Pertama, kitab Al-Nahwu wa al-Shorfu.

Menurut Hamdan, karya tulis sang kiai disusun pada era 1950-an ketika Kiai Syanwani masih nyantri di pesantren-pesantren di Banten dan Jawa Barat. Karya ini berisi uraian ilmu nahwu dan sharraf. Meskipun cukup tebal, isinya sangatlah bernas.

Kedua, Tarkib al-Awamil wa al-Murod. Di dalamnya, Kiai Syanwani menjelaskan setiap kedudukan lafaz pada posisi kalam (susunan kalimat) dengan menggunakan bahasa Jawa dan Banten. Selain itu, Kiai Syanwani juga menyusun tarkib terhadap kitab Al-Jurumiyah karya Imam Shonhaji.

Tarkib atas Murod al-Jurumiyah karya Syekh Nawawi Mandaya Carenang juga dibuatnya. Selanjutnya, Kiai Syanwani juga menulis kitab dalam bentuk syair atau nadham, seperti Imroni al-Shibyan fi al-Bayani al-Arkani.

Menurut Hamdan, karya Kiai Syanwani tersebut tersusun dalam nadhan-nadham menggunakan bahasa Jawa-Banten dengan tulisan Arab. Sedangkan jumlah bait nadhaman itu sebanyak 230 bait, yang terdiri dari 18 pasal. Setiap pasal berisi tentang penjelasan dasar-dasar ilmu fikih dengan tutur kalimat yang berorientasi nasihat agama.

Kemudian, ada juga kitab karangan Kiai Syanwani yang diberi judul Ta’sis al-Mawalid fil Bayan al-Aqoid. Isinya adalah penjelasan tentang sifat wajib bagi Allah SWT. Karya nadham ini ditulis pada 9 Juli 1976.

Tiga kitab lainnya yang merupakan karya Kiai Syanwani adalah Kitab al-Tauhid wa al-Fiqih, Majmuat al-Taqrir, dan Tasyrih al-Masail Inda al-Qouli al-Ulama. Kitab yang disebutkan terakhir merupakan tulisan Kiai Syanwani berbentuk makalah yang mengangkat isu-isu penting tentang persoalan bidah.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat