Ilustrasi santri mengaji kitab mawaizh ushfuriyah | ANTARA FOTO

Kitab

Kisah Penggugah Iman dalam Mawaizh Ushfuriyah

Lewat Mawaizh Ushfuriyah, Abu Bakar Al-Ushfuri menyentuh hati kita dengan berbagai kisah inspiratif.

 

Aktivitas yang menyenangkan hati di tengah pandemi Covid-19 adalah membaca buku. Pembaca mendapatkan pengetahuan baru yang menenangkan hati dan menambah keimanan. Pandangan mengenai dunia dan akhirat menjadi lebih jelas. Jauh dari cinta dunia dan upaya membenci kematian. Ibadah menjadi lebih khusyu’. Hati selalu merindukan Rasulullah dan ingin berdekatan dengan Allah.

Salah satu buku yang mengarahkan pembacanya ke sana adalah Mawaizh Ushfuriyah. Ini adalah kumpulan nasihat yang dibuat Abu Bakar Al-Ushfuri.

Riwayat hidup Muhammad bin Abu Bakar al-‘Ushfuri belum ditemukan di kitab lain. Dalam pengantar Mawaizh, dia menulis sangat singkat. Setelah mengarungi lautan dosa dan kemaksiatan, seorang hamba bernama Muhammad bin Abu Bakar bertobat.

“Ia memohon keridhaan Tuhan yang Mahapenyayang dan terus berjuang melawan bisikan setan, mencari keselamatan dari siksa neraka dan berharap masuk surga” tulis pengarang.

Namun, dia belum merasakan kenyamanan hingga akhirnya menemukan hadis tentang pengumpulan sabda. Al-Ushfuri kemudian menjalankan hadis tersebut dengan maksud berharap Allah menganugerahkan ampunan.

Hadis-hadis tersebut berasal dari petuah bijak yang didapatnya dalam pengembaraan mencari ilmu. Pengarang bersekempatan menjadi murid sejumlah guru. Nasihat dan hadis yang mereka sampaikan ditulis, kemudian ditambahkan penjelasan berupa kisah-kisah penggugah hati dari pewaris para Nabi.

Neraka dan siksa di mana - mana 

Suatu ketika Rasulullah SAW terdiam karena menerima wahyu dari Malaikat Jibril. Wajahnya tiba-tiba berderai air mata. Para sahabat bertanya, ada apa gerangan? Rasulullah SAW belum menjawab.

Abdurrahman bin Auf pergi ke rumah Fatimah az-Zahra, anak Rasulullah. Sahabat itu memberitahukan keadaan Rasulullah yang sedih. Istri Ali bin Abi Thalib itu langsung menyambangi ayahnya dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. 

Nabi Muhammad SAW menjelaskan dia baru saja menerima wahyu tentang neraka. “Sesungguhnya neraka Jahannam adalah tempat akhir yang dijanjikan untuk mereka semua.”

photo
Kitab Mawaizh Ushfuriyah - (Erdy Nasrul)

Bagi Rasulullah, surah al-Hijr ayat 43 begitu menyeramkan. Ketika menerima wahyu itu, Nabi Muhammad tak kuasa membayangkan manusia tersiksa di dalam neraka untuk mempertanggungjawabkan dosa-dosanya.

“Seperti apakah pintu-pintu neraka itu?” tanya Fatimah.

Rasulullah kemudian menjawab, yang paling ringan setara dengan 70 ribu gunung dari api. Pada setiap gunung terdapat 70 ribu lembah api. Setiap lembah itu memiliki 70 juta sumber api yang masing-masing berisi sejuta kota. Setiap kota itu mempunyai 70 juta istana api yang di dalamnya terdapat sejuta rumah api. Setiap rumah dipenuhi 70 juta ruangan api yang berisi 70 juta peti api. Ada juga beragam siksaan di sana.

Mendengar penjelasan itu, Fatimah tak kuasa menahan tangis. Dia mengatakan, betapa malangnya orang yang masuk neraka. Para sahabat sempat berpikir, seandainya mereka tidak menjadi manusia, pasti tak akan menyentuh neraka.

Abu Bakar, misalkan, sempat berangan-angan menjadi burung yang terbang ke mana pun. Burung dapat hinggap di satu pohon untuk beristirahat atau makan dan minum. Kemudian terbang lagi menuju kejauhan.

Sahabat Salman al-Farisi mengekspresikan ketakutannya akan neraka dengan cara berbeda. Dia pergi ke pemakaman Baqi’ al-Gharqad. Di sana dia meletakkan tangan di atas kepala sambil berseru lantang tentang perjalanan akhirat yang sangat jauh. “Betapa jauhnya perjalanan akhirat dan betapa sedikitnya bekal berupa amal kebaikan yang aku miliki,” kata dia.

Tiba-tiba Bilal bin Rabah datang menyambangi Salman. Pengumandang adzan itu bertanya, mengapa wajah Salman penuh dengan kesedihan? Ada apa gerangan?

Salman kemudian mengatakan, alangkah celakanya diri ini. Di dunia manusia mengenakan pakaian dari kapas. Kelak di akhirat nanti mereka akan mengenakan pakaian dari potongan api neraka.

Di dunia manusia bisa berkumpul dengan pasangannya. Sedangkan di akhirat bisa jadi akan berkumpul dengan setan. “Sungguh celaka dirimu dan diriku bila di akhirat kelak kita sampai minum air neraka yang mendidih dan makan-makan buah di dalamnya,” kata Salman penuh kecemasan.

Pesan dari kisah ini adalah agar manusia berhati-hati dalam menjalani hidup di dunia. Amal keburukan yang mereka lakukan akan menjorokkan mereka ke jurang neraka yang mengerikan. Sedangkan amal kebaikan mereka belum tentu cukup untuk menjadi bekal perjalanan di akhirat yang begitu panjang. Karena itu, setiap orang harus menghindarkan diri dari perbuatan tercela, dosa, dan maksiat. Kemudian memperbanyak amal kebajikan, menjalankan segala perintah Allah dan rasul-Nya, dan mengingat Allah. Ganjaran ketiganya akan menjadi energi untuk mengarungi perjalanan setelah mati menuju surga.

Burung gagak dan rezeki setiap makhluk

Ada satu lagi kisah menarik yang termaktub dalam Mawaizh Ushfuriyah. Kali ini tentang burung gagak yang beberapa kali terbang dan kemudian kembali ke sebuah perbukitan.

Aktivitas tersebut menarik perhatian seorang penguasa yang hidup bergelimang harta bernama Ibrahim bin Adham yang sedang menunggangi kuda. Hatinya bertanya-tanya, apa sih yang dilakukan burung gagak itu.

Diam-diam, Ibrahim mengikuti burung itu pergi. Oh, ternyata dia mengambil makanan yang disimpan dalam paruhnya. Gagak kemudian terbang. Ibrahim memacu kudanya mengikuti ke mana gagak terbang sampai ke atas perbukitan. Tiba di sana, gagak tadi mendarat. Ibrahim turun dari kuda dan berjalan.

Di sana dia melihat gagak tadi menyuapkan makanan ke mulut seseorang yang terbaring lemah. Orang itu adalah pengembara yang tak lagi mempunyai perbekalan.

Segala yang dibawanya telah dirampok orang tak dikenal di pertengahan jalan. Dia kemudian berjalan dan terbaring lemah di bukit tadi. Tapi anehnya, burung gagak tiba dan selalu membawa makanan dengan paruhnya yang kemudian disuapkan ke dalam mulut si pengembara.

Dari sini Ibrahim mendapatkan pelajaran berharga bahwa Allah memberikan rezeki kepada semua ciptaan-Nya, termasuk orang tak berdaya seperti pengembara tadi.

Setiap orang tak usah mengkhawatirkan rezekinya. Yang harus dilakukan adalah selalu berbuat kebaikan sampai kapan pun, sehingga dia dan lingkungan sekitarnya memancarkan kebaikan dan mendapatkan kasih sayang Allah.

Tentang buku

Mawaizh Ushfuriyah  menjadi bacaan santri di berbagai pondok pesantren. Ada pesantren yang mewajibkan pengajian kitab ini dalam kurikulum. Ada juga yang hanya mempelajarinya ketika Ramadhan tiba sebagai ‘hiburan’ setelah mempelajari kitab-kitab yang sulit dipahami.

Kini kitab yang berisikan kisah menarik ini dibaca semua orang dari berbagai kalangan. Dengan menikmati kisah-kisah di dalamnya, seseorang tak hanya mendapatkan keimanan, tapi juga kesyukuran telah diberikan hidup dan segala apa yang ada di sekitarnya.

Buku ini memiliki sejumlah keunikan. Pertama, kisah menarik yang tak lekang oleh waktu. Siapa pun dan kapanpun akan selalu enak dibaca. Sumbernya tak hanya dari Alquran, tapi juga hadis dan kisah para ulama yang menyentuh hati. 

Kedua, buku ini disusun secara tematik sesuai pembahasan yang diangkat. Ada tentang kesyukuran, ibadah, keimanan, dan lainnya. Semua adalah tema yang menyangkut kehidupan lahir dan batin.

Ketiga, buku ini mengarahkan pembacanya untuk berakhlak mulia, baik kepada sesama makhluk maupun Allah. Dengan membaca buku ini kita mengetahui bagaimana harus bersikap dalam hidup.

Karena menarik, penerbit Turos Pustaka menerjemahkan buku ini ke Bahasa Indonesia. Proses pengalihbahasaan cukup baik. Meski berasal dari Bahasa Arab, ketika membacanya, kita serasa membaca buku yang ditulis dengan Bahasa Indonesia. Pembaca akan terasa mudah menangkap pesan buku.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat