Peneliti menguji coba ventilator Sivenesia di Gedung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jalan Sangkuriang, Kota Bandung, Senin (9/8/2021). | REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA

Opini

Ekonomi Berbasis Pengetahuan

Bangsa yang berdaya saing dunia memiliki karya yang didukung riset. 

DIDIN S DAMANHURI, Guru Besar Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB 

Pada FGD virtual Aliansi Kebangsaan bertajuk "Ekonomi Berbasis Ilmu Pengetahuan" (knowledge based economy, KBE) Jumat (6/8), penulis mengajukan perlunya Indonesia mengadopsi KBE. Pada saat yang sama, menyintesiskannya dengan “kearifan lokal”.

Terbukti dari hasil penelitian belasan disertasi yang penulis ikut bimbing, yakni kasus dalam temuan disertasi doktor bidang sosiologi-ekonomi, merepresentasikan kuatnya ‘’ekonomi lokal’’.

Penulis kemudian memopulerkan, "Nusantaranomics" sebagai agregasi ekonomi lokal secara nasional. Keberadaan ekonomi lokal itu lebih mewakili ekonomi kelas menengah, yang omzetnya pada umumnya sudah puluhan bahkan ratusan miliar rupiah.

Dalam tulisan ini dikemukakan kasus, salah satunya disertasi Dr Jamilah berjudul ‘’Ketahanan Industri Bordir: Studi Etika Moral Ekonomi Islami di Tataran Sunda’’, pengusaha ‘’Islam Sundanis’’ yang berkembang.

 
Kemudian, setelah memasuki kemerdekaan, kegiatan ekonomi bordir itu menjadi skala ekonomi komersial, terutama sejak Orde Baru dan Reformasi, berkat kebijakan pemihakan atau kebijakan afirmatif dari pemerintah.
 
 

Dalam disertasi ini, ditemukan apa yang disebut faktor nilai dan budaya Islam dalam kegiatan ekonomi daerah yang bertahan lebih dari satu abad.

Penelitian tersebut menemukan keberhasilan pengusaha Islam Sundanis, yang awalnya lebih pada kegiatan kerajinan skala rumah tangga sebagai hobi dari kalangan ningrat.  

Kemudian, setelah memasuki kemerdekaan, kegiatan ekonomi bordir itu menjadi skala ekonomi komersial, terutama sejak Orde Baru dan Reformasi, berkat kebijakan pemihakan atau kebijakan afirmatif dari pemerintah.

Produknya lalu menjalar ke banyak daerah, termasuk di Tanah Abang, pusat perdagangan retail terbesar di Asia Tenggara dan ekspor ke Asia Tenggara dan Timur Tengah, dengan omzet ratusan miliar rupiah bahkan secara kolektif bisa triliunan rupiah.

Bagi Indonesia, KBE sudah menjadi kebutuhan, yang mensyaratkan tiga hal. Pertama, kemajuan ekonomi makin dominan bertumpu pada basis dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), termasuk riset dan pengembangan.

Kedua, kontribusi pendidikan terhadap kemajuan ekonomi sangat kuat. Ketiga, pendidikan menjadi penghela utama pembangunan ekonomi, yang mendorong proses perubahan struktural berjangka panjang.

Sebagai contoh, Jepang adalah negara Asia pelopor pembangunan KBE. Setelah Jepang, kemudian ada Korea Selatan, Singapura, Cina, Taiwan, Hong Kong. Dalam konteks ini, bangsa yang berdaya saing dunia memiliki karya yang didukung riset. 

 
Bagi Indonesia, KBE sudah menjadi kebutuhan, yang mensyaratkan tiga hal. Pertama, kemajuan ekonomi makin dominan bertumpu pada basis dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), termasuk riset dan pengembangan.
 
 

Sebagai gambaran, lihatlah negara maju yang begitu mengunggulkan sains dan teknologi.

Berdasarkan catatan Kementerian Riset dan Teknologi, persentase biaya penelitian dan pengembangan terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) pada beberapa negara, tertinggi ditempati Swedia sebesar 3,7 persen.

Lalu, Finlandia (3,11 persen), Jepang (3,06 persen), AS (2,74 persen),Jerman (2,29 persen), Prancis (2,18 persen), Belanda (2,04 persen), dan Denmark (2,00 persen). Di Indonesia, anggaran yang dialokasikan sejak 1986 hingga 2002, rata-rata 0,18 persen dari PDB.

Dalam era persaingan global yang ketat, KBE merupakan kemutlakan. KBE adalah sistem ekonomi yang penggerak utamanya iptek, mulai dari produksi, konsumsi, sistem informasi, distribusi, hingga elemen ekonomi lainnya.

Artinya, kemajuan ekonomi bangsa tidak terwujud tanpa membangun masyarakat berbasis KBE. Sebagai contoh konkret, dalam hal proporsi antara pemanfaatan SDM terampil dengan SDA dan tanah.

Di Australia dan Kanada, SDA dan luas tanah menyumbang 80 persen kekayaan produktif, SDM yang terampil 20 persen. Ini berbanding terbalik dengan Jepang yang ipteknya maju, yang mengandalkan 80 persen SDM terampil dan 20 persen SDA dan tanah.

Sementara di AS, 60 persen mengandalkan SDM terampil dan pengetahuan, 40 persennya SDA dan tanah.

 
Pada dekade antara 1960-an dan 1980-an, pengusaha Jepang dan Korea Selatan membangun hubungan dagang dan akses pasar ke negara maju, yaitu AS dan Eropa. Mereka sukses melakukan inovasi karena mendapatkan transfer teknologi dari negara-negara maju.
 
 

Pada dekade antara 1960-an dan 1980-an, pengusaha Jepang dan Korea Selatan membangun hubungan dagang dan akses pasar ke negara maju, yaitu AS dan Eropa. Mereka sukses melakukan inovasi karena mendapatkan transfer teknologi dari negara-negara maju.

Namun, berbeda dari Barat, kedua negara ini sejak awal hingga proses take off, secara sistematis merevitalisasi nilai lokal (tradisi positif dan agama), kemudian menyintesiskannya dengan nilai modern yang diadopsi dari Barat.

Maka itu, sangat menarik pandangan Prof Kishore Mahbubani, intelektual Lee-Kuan Yew School of Public Policy Singapura, yang sangat disegani kalangan intelektual AS ataupun Eropa karena pandangannya tentang ekonomi Asia.

Menurut Mahbubani, negara di Asia menempatkan ekonomi pasar dengan pragmatis dalam apa yang ia sebut march to modernity. Ia mengatakan, Asia akan menjadi “pusat peradaban dan pembangunan”, yang kini masih di Barat.

Namun, menurut dia, negara-negara, seperti Jepang, Cina, Korea Selatan, India, Malaysia, Thailand, Singapura yang sukses, mekanisme pasarnya tanpa harus meninggalkan nilai agama, nilai tradisional, serta memiliki peran dan demokrasi politik yang unik dan bervariasi.

Ia mencontohkan, di Cina, rakyatnya sekarang bukan hanya menikmati kemakmuran lebih tinggi, melainkan juga mulai terdapat kebebasan atau demokratisasi secara riil berkat kemajuan ekonominya.

Menurut penulis, ekonomi pasar di Asia menyempal dari arus tengah ekonomi pasar AS dan Eropa. Penulis menyebutnya ekonomi heterodox. Dan Nusantaranomics sebagai pilar ekonomi nasional berbasis iptek dan inovasi yang berkarakter nilai luhur bangsa. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat