Penulis buku-buku Islam kontemporer, Nur Khalik Ridwan. Sosok pengagum Gus Dur ini memandang, dakwah melalui tulisan perlu lebih digiatkan para dai. | DOK IST

Hiwar

Kasab di Dakwah Literasi

Kalau dikerjakan sebagai jalan tarekat, semua akan menjadi ringan dan mudah.

 

 

Secara kebahasaan, dakwah berasal dari kata kerja dalam bahasa Arab, da'a-yad'u. Artinya, panggilan, seruan, atau ajakan. Secara istilah, dakwah berarti kegiatan yang bersifat mengajak atau memanggil orang untuk taat kepada Allah SWT sesuai dengan garis akidah, syariat, dan akhlak Islam.

Menurut seorang penulis banyak buku keislaman, Nur Khalik Ridwan, literasi layak menjadi medium dakwah yang ditekuni para mubaligh. Salah satu intelektual Nahdliyin itu memandang, pada dasarnya dakwah adalah perjuangan atau jihad.

Sering kali, jihad itu tidak cukup hanya di jalan penyampaian lisan, tetapi juga memerlukan tulisan. Antara keduanya tidak perlu dipertentangkan, umpamanya, dengan penilaian mana yang lebih efektif-efisien.

Sebab, bisa jadi publik sasaran dakwah tersentuh hatinya setelah diberi nasihat-nasihat secara lisan. Di sisi lain, ada pula kalangan yang tertarik dengan ajaran Islam setelah membaca tulisan-tulisan. “Bukan tugas seorang dai untuk menentukan apakah orang bisa tertarik melalui lisan ataukah tulisan. Akan tetapi, tugasnya adalah menyampaikan, tabligh,” ujarnya.

Nur Khalik Ridwan telah menulis berbagai buku dengan beragam topik keagamaan, mulai dari komunikasi dakwah hingga tasawuf. Ia pun mengajak para dai untuk mempertajam kasab di dunia literasi. Apalagi, pada masa kini masyarakat-pembaca kian bertumbuh pesat, utamanya sebagai pengguna media sosial.

Apa saja kiat-kiat usaha atau ikhtiar untuk berdakwah dengan jalan literasi? Berikut wawancara lengkap wartawan Republika, Muhyiddin, bersama dengan penulis buku Suluk dan Tarekat (2019) ini beberapa waktu lalu.

Bagaimana Anda memaknai dakwah?

Saya memaknai dakwah sebagai jihad untuk ikut terlibat mewujudkan kemaslahatan di tengah masyarakat. Caranya melalui jalan ishlahiyah, perbaikan terus-menerus, gradual. Jihad ini menyangkut segala aspek yang dapat dilakukan, misalnya, tenaga, pikiran, dan harta.

Sebagai seorang penulis, apakah literasi juga Anda pandang sebagai medium dakwah?

Sering kali disebut jihad bil qalam, ‘jihad dengan pena'. Tulisan dan buku termasuk bagian dari jihad yang barangkali tidak banyak ditekuni secara massal. Padahal, jihad bil qalam ini adalah bagian dari amal-amal naysrul ‘ilmi (menyebarkan ilmu). Karena itu, sangat penting untuk dilakukan. Banyak para masyayikh di masa lalu mencontohkannya.

Menurut Anda, apa saja perbedaan antara dakwah dengan tulisan dan lisan?

Sebagaimana dakwah bil lisan, aspek menyebarkan ilmu adalah menyuluhi diri sendiri dan para audiens dengan ilmu. Namun, menguasai ilmu saja tidak cukup. Tidak bisa pula berhenti pada tataran mengerti ilmu saja atau memperdebatkan ilmu. Sebab, ilmu itu perlu diamalkan, dihayati, diulang-ulang dengan meminta keridhaan-Nya. Maka ilmu melahirkan adab-adab yang mencerminkan jamaliyah-Nya Allah.

Ilmu itu adalah nur, cahaya yang menerangi lapangan kehidupan dan perjalanan seseorang atau masyarakat untuk memperoleh keridhaan-Nya, sehingga menyadari bagian ilmu yang menjadi nur ini menjadi penting.

Baik lisan maupun tulisan, berdakwah adalah menyebarkan ilmu?

Ilmu sebagai cahaya, nur, dalam dakwah. Yang saya rasakan, dalam dakwah bil qalam, penyebaran atau penyampaian ilmu itu akan dilakukan dengan hati-hati, bertanggung jawab, dan meletakkannya sebagai kasab-kasab dan amal-amal yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah, sehingga niatnya perlu dibersihkan atau dijernihkan.

Sebagai kasab-kasab dan amal-amal, nasyrul 'ilmi tentu memiliki harapan perubahan dan perbaikan. Namun, ijabahnya tetap diletakkan, dengan terus-menerus kepada Sang Maha Pemberi ijabah. Itu melalui munajat dan kesungguhan dalam kasab-kasab.

Hingga kini, dunia dilanda pandemi Covid-19. Inikah momentum untuk lebih menyemarakkan dakwah bil qalam?

Pandemi atau wabah ini—semoga lekas teratasi dan mengalami pemulihan—memang menjadikan situasi keterbatasan dalam melakukan dakwah bil lisan. Karenanya, menjadi tantangan untuk diperkuatnya dakwah bil qalam. Akan tetapi, dakwah bil qalam memerlukan keterampilan tersendiri. Itu perlu disadari. Tidak semua orang ahli dalam menulis. Begitu pula sebaliknya.

Bagaimanapun, situasi sekarang memperjelas keadaan, para dai perlu menyadari pentingnya menggunakan dakwah bil qalam. Mediumnya bisa macam-macam, baik media sosial, cetak, ataupun tulisan-tulisan ringan. Ketika ruang offline untuk (dakwah) bil lisan semakin terbatasi, maka perlu mempelajari aspek bil qalam ini.

Mana yang lebih lebih efisien antara dakwah dengan lisan dan tulisan?

Dalam memahami dakwah bil lisan dan bil qalam, saya tidak memakai prinsip efisien atau tidak. Saya memahami keduanya perlu dilakukan, sebagai bagian dari kasab dan amal-amal. Ketika keadaan bil lisan memungkinkan dan ada amanah untuk itu, umpamanya melalui khutbah di masjid ketika situasi normal, maka ya harus dilakukan.

Jadi, saya memahami semuanya sebagai jalan tarekat, menghaluskan budi, memperbaiki akhlak, yakni untuk pertama-tama diri saya sendiri. Maka saya tidak melihat (manakah yang lebih) efisien atau tidak. Sebab, sesuatu yang kelihatan besar, bisa saja nilainya kecil. Atau sebaliknya, sesuatu yang kelihatan efisien bisa saja sebenarnya tidak efisien. Yang penting, jalani secara ikhlas, terus menerus.

Dakwah baik dengan lisan atau tulisan, semua insya Allah bisa dijalani. Kalau dikerjakan sebagai jalan tarekat, semua akan menjadi ringan dan mudah. Bahwa setiap jalan tarekat ada tikungan, hijab, adalah sesuatu yang wajar. Ketika ada kesulitan-kesulitan, puncaknya dimintakan tafrijul kurub-nya kepada Allah. Yang terpenting, perlu juga adanya pembimbing, sampai pada batas tertentu si dai itu sendiri yang menempati maqam itu.

Aspek penerimaan dakwah juga mesti diperhatikan?

Tentu, dalam dakwah bil qalam maupun bil lisan, semuanya berhubungan dengan orang lain. Mereka mendengar, membaca. Saya melihatnya bagian dari amalan saling berwasiat, saling mengingatkan, dan saling berbagi ilmu. Karenanya, saya tidak menempatkan (sasaran dakwah) sebagai objek.

Kadang, ada orang yang tertarik setelah mendengar sebuah uraian lisan yang menyentuh hatinya. Dan, kadang juga ada yang tertarik melalui uraian dari tulisan. Bukan tugas seorang dai untuk menentukan apakah orang bisa tertarik melalui lisan ataukah tulisan. Akan tetapi, tugasnya adalah menyampaikan, tabligh, melalui prinsip biqodri uqulihim, sesuai dengan tingkat akalnya. Biqodri manazilihim, sesuai dengan tingkat kebudayaan setempatnya. Biqodri alisnatihim, sesuai dengan tingkat bahasanya.

Bagaimana Anda melihat prospek literasi sebagai metode komunikasi dakwah?

Dakwah bil qalam sangat diperlukan, tanpa harus mengatakannya prospektif atau tidak. Apalagi pada masa kini. Pada faktanya, masyarakat sudah menjadikan media sosial (medsos) sebagai sarana atau bahkan bagian dari kehidupannya. Dari detik ke detik, menit ke menit, berbagai tulisan berlalu lalang di medsos. Dakwah harus pula ada dan mengemuka di sana.

Kalau kita berbicara prospek, seperti ada nuansa menguntungkan atau tidak menguntungkan. Maka, kita bicara berdasar kenyataannya, beberapa penelitian tentang penggunaan internet di tengah masyarakat semakin hari semakin meningkat. Maka, temuan itu memperkuat perlunya dakwah bil qalam ini digeluti para mubaligh.

Tantangannya, menurut saya, bagaimana agar dakwah bil qalam bisa ikut berkontribusi memperbaiki masalah-masalah di tengah masyarakat dalam sudut pandang seorang dai yang tinggal di Indonesia, untuk kepentingan masyarakat Indonesia pula.

Seorang dai yang tidak hanya menjadi pengutip ayat atau hadis. Ia pun harus mengerti tahap-tahap perkembangan masyarakatnya, masalah dehumanisasi yang ditimbulkan dari perkembangan zaman kini, atau masalah karat-karat sosial yang muncul.

Apa saja yang perlu diperhatikan dalam melakukan dakwah via media sosial?

Dakwah di medsos berarti berbicara kepada audiens yang berbeda dengan, misalnya, publik era 1990-an atau 1980-an. Generasi melek internet kini kebanyakan adalah anak-anak muda yang tidak hanya beragama, tetapi juga menyadari identitasnya sebagai bukan hanya manusia Indonesia, tetapi juga warga dunia.

Mereka merindukan dalil-dalil yang kuat untuk beragama di tengah kegamangan hidup menghadapi laju perubahan. Ini juga perlu dimengerti. Penting pula untuk dimengerti bahwa agama bukan hanya urusan ritual, tetapi juga seluruh aspek kehidupan manusia. Semua perbuuatan bisa menjadi bagian dari ibadah bila memang diniatkan untuk mengabdi kepada Allah SWT, termasuk tentu dalam bermedia sosial.

Pada akhirnya, kepedulian dan kemauan para dai untuk terlibat di dalam media sosial sangat diperlukan. Ini supaya medsos tidak hanya diisi para petualang yang hanya mencari keuntungan materiil. Inilah tantangan dai agar mau terlibat ke dalam kancah jihad-pena ini.

Bagaimana menyikapi adanya banjir informasi, termasuk di media sosial yang Anda katakan tadi dapat menjadi medium dakwah?

Tidak semua yang ada di media sosial harus ditelan mentah-mentah. Perlu dicerna, dipikir, ditimbang, kalau perlu ditabayun. Tidak perlu terburu-buru. Bila memang sulit, perlu ditanyakan kepada ahlinya. Kalau dalam soal agama, ya para kiai atau ustaz yang benar-benar jelas sanad keilmuannya.

Bahkan, kalau bisa, cari guru-guru yang arif, memiliki ilmu lahir dan batin yang mendalam. Guru-guru yang demikian, dalam setiap pertemuan, akan dirasakan manfaatnya. Sebab, menyadarkan kita untuk meluhurkan Asma’ Allah, melalui tindakan-tindakan kita, dalam lapangan pengabdian di seluruh kasab-kasab kita.

Intinya, seperti banyak hal, medsos pun memiliki sisi negatif dan positif. Mencegah audiens untuk tidak menggunakan medsos pun tidaklah tepat. Yang penting, membekalinya agar cenderung mengakses hal-hal yang perlu dan bermaslahat. Dengan adanya internet, orang bisa mengakses apa saja yang diperlukannya secara mudah tanpa harus keluar dari ruang-ruang pribadi mereka.

photo
Santri belajar memaknai Kitab Kuning saat mengaji Kilatan Kitab di Pondok Pesantren Almiizan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (21/5). Ngaji kitab kuning ini merupakan tradisi di pondok pesantren tradisional (salaf) maupun semi modern pada saat bulan suci Ramadan. ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/ama/18. - (ANTARA FOTO)

Agar Tulisan tak Melawan Penulis

 

Nur Khalik Ridwan mengaku, dirinya mulai menekuni dunia tulis-menulis sejak masih menempuh sekolah menengah atas. Kemampuannya dalam menuangkan pikiran dan perasaan dalam tulisan terus diasahnya, terutama saat menjadi santri. Pondok Pesantren Darunnajah di Tanjungsari, Banyuwangi, adalah tempat pertamanya menimba ilmu di lembaga tradisional keislaman.

Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya di Madrasah Aliyah Negeri Program Keagamaan (MAN PK) sambil berguru kepada beberapa kiai di Jember, Jawa Timur. Sebagai pelajar, dia aktif di organisasi sayap Nahdlatul Ulama (NU). Pendidikan sarjana ditempuhnya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sembari nyantri di Pondok Pesantren Inayatulloh.

Saat menjadi mahasiswa, ia pun semakin tekun dalam menulis. Awalnya, ia hanya menulis di kolom debat mahasiswa, opini, dan resensi di koran-koran, jurnal, dan bahkan majalah. Akan tetapi kemudian memilih fokus menulis buku, sampai saat ini.

“Saya diwasiati oleh guru saya agar menyebarkan ilmu-ilmu yang telah dipelajari dengan kesabaran dan ikhlas. Ini yang saya pegang selalu,” ujar pria kelahiran Banyuwangi, 15 Maret 1974, ini kepada Republika, baru-baru ini.

Dalam menulis buku, Nur cenderung menggeluti bidang keagamaan. Berbagai tema pernah diangkatnya dalam tulisan. Misalnya, pribumisasi Islam, tarekat, gerakan keagamaan, babad para sufi, dan lain-lain.

“Aspek dan bidang apa pun ternyata memerlukan perspektif keagamaan. Maka, akhirnya saya merasa penting untuk bergelut dalam medan ini,” ucapnya.

Dalam menulis buku keagamaan ada tantangan tersendiri bagi Nur. Menurut dia, tantangan utamanya adalah mengalahkan kemalasan untuk duduk tekun dan membaca mutholaah. Minimal, agar dirinya sendiri tidak menjadi bodoh.

Tak ketinggalan, menurutnya, seorang penulis Muslim hendaknya sering berupaya melakukan penghayatan terhadap ajaran Islam. Cara favoritnya ialah melalui wirid-wirid. “Itu penting dimiliki seorang penulis, terutama yang bergelut dalam bidang keagamaan, agar tulisan yang kita buat tidak justru melawan diri sendiri,” katanya.

Beberapa karyanya ialah: Ensiklopedia Khittah NU (4 jilid), Suluk dan Tarekat (4 jilid), Tafsir Surat Al-Maun, Regenerasi NII, Gerakan Wahabi, Masa Depan NU, Dalil-Dalil Agama Gus Dur, Suluk Gus Dur, Syarah 9 Nilai Gus Dur, serta Gus Dur dan Negara Pancasila.

Adapun buku-bukunya yang akan segera terbit adalah Pribumisasi Islam di Jawa 1300-1500 M, Babad Para Wali Sufi di Jawa 1300-1500 M, dan Gerakan Tarekat di Asia 1300-1500 M.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat