KH Abdullah Syathori. | DOK PESANTREN Dar al-Tauhid

Mujadid

KH Abdullah Syathori, Ulama Besar dari Arjawinangun

Pendiri Ponpes Dar al-Tauhid itu merupakan murid kesayangan Hadratussyekh Hasyim Asy’ari.

 

OLEH MUHYIDDIN

 

 

Cirebon, Jawa Barat, merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki banyak pesantren. Di antara beragam institusi pendidikan tradisional Islam di sana ialah Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun. Seorang tokoh yang berjasa mendirikan lembaga tersebut adalah KH Abdullah Syathori.

Sosok ini akrab disapa Mbah Kiai atau Kiai Besar oleh masyarakat setempat. Itu menandakan besarnya penghormatan yang mereka berikan untuknya. Khususnya bagi warga Nahdliyin, ulama tersebut juga dikenang sebagai salah satu murid kesayangan (santri kinasih) Hadratussyekh Hasyim Asy’ari. Memang, dalam suatu fase hidupnya dirinya pernah berguru kepada sang pendiri Nahdlatul Ulama (NU) itu.

KH Abdullah Syathori lahir pada 1905 M di Dusun Lontang Jaya, Desa Panjalin, Majalengka, Jawa Barat. Kampung halamannya berjarak sekira tiga kilometer dari arah barat Babakan, Ciwaringin, Cirebon. Ia berasal dari keluarga ulama dan bangsawan.

Ayahnya, KH Sanawi, merupakan seorang penghulu yang berpengaruh. Kakek Abdullah Syathori, yakni KH Abdullah, adalah seorang mubaligh sekaligus pejuang kemerdekaan. Salah satu kiprahnya tercatat dalam Perang Kedongdong di Cirebon pada 1825-1830 M. Dalam jihad tersebut, Kiai Abdullah turut serta bersama dengan rakyat lokal dalam melawan penjajah.

Dari jalur ibu, Abdullah Syathori mendapatkan garis keturunan ningrat. Sebab, ibundanya yakni Hajjah Arbiyah merupakan putri Kiai Abdul Aziz bin Arja’in, yang nasabnya sampai kepada Sultan Banten dari Sura Manggala yang berkuasa pada 1808. Selain itu, pada ujung silsilahnya ia pun masih berhubungan dengan Syarif Hidayatullah atau yang lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.

 
Pada ujung silsilahnya, ia pun masih berhubungan dengan Syarif Hidayatullah atau yang lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.
 
 

Sejak kecil, Abdullah Syathori sudah diarahkan untuk mencintai ilmu-ilmu agama. Keluarganya yang sangat religius mendukung perkembangannya sebagai seorang calon ulama. Terlebih lagi, anak lelaki ini sudah menunjukkan tanda-tanda kecerdasan.

Saat belum mencapai usia akil baligh, dia sudah mampu menghafal Juz Amma dengan amat fasih. Kemampuannya dalam membaca Alquran juga cukup bagus. Walaupun gemar belajar, Syathori kecil juga dikenal sebagai anak periang dan suka berolahraga, khususnya bermain sepak bola.

Menginjak usia remaja, Syathori memulai rihlah keilmuannya ke beberapa pesantren. Inilah langkah awalnya untuk lebih memperdalam ilmu-ilmu agama. Menurut berbagai sumber, ia pertama-tama melangkahkan kakinya ke Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon.

Usai tuntas belajar di Babakan, ia kemudian nyantri di Pesantren Ciwedus, Cilimus Kuningan. Saat itu, lembaga tersebut diasuh KH Sobari, seorang alim yang sangat dihormati penduduk Cirebon.

Syathori muda pun mengagumi pribadi dan keteladanan gurunya itu. Satu hal yang diingatnya, Kiai Sobari sangat fasih dalam melantunkan bait-bait Kasidah Barzanji. Teks sastra ini kerap dibawakan di pelbagai kesempatan, utamanya perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW.

Setelah itu, Syathori muda melanjutkan belajar di Pondok Pesantren Jamsaren Solo, Jawa Tengah, di bawah asuhan KH Idris Jamsari. Secara bersamaan, ia juga menempuh pendidikan di Sekolah Mambaul Ulum, Kauman—dekat Keraton Solo. Madrasah tersebut berdiri atas kerja sama pihak Kesunanan Surakarta Hadiningrat dan pemerintah kolonial Belanda. Biasanya, lulusan Mambaul Ulum akan menjadi calon pendakwah sekaligus penghulu kerajaan.

 
Di Jamsaren Solo inilah karakter keilmuan dan kealiman Syathori mulai terbentuk.
 
 

Di Jamsaren Solo inilah karakter keilmuan dan kealiman Syathori mulai terbentuk. Dari Kiai Idris, ia banyak belajar. Banyak waktu dihabiskannya untuk mengaji dan menghafal Alquran, serta muthala’ah berbagai kitab kuning. Adapun dari Madrasah Mambaul Ulum Solo, dia tetap menerapkan disiplin dalam belajar. Alhasil, ijazah sekolah formal pun dengan sukses dapat diraihnya.

Namun, uniknya, pemuda ini merasa fokusnya pada ilmu-ilmu agama berkurang lantaran waktu belajarnya terbagi pada sekolah formal. Akhirnya, ijazah dari Mambaul Ulum itu dibakarnya.

Tindakan itu dilakukan agar rasa ikhlas tidak berkurang dalam dirinya untuk menimba ilmu-ilmu keislaman. Syathori khawatir, dengan ijazah itu niat tulusnya sebagai penuntut ilmu agama tergoyahkan.

Selanjutnya, dengan semangat yang tinggi ia merantau ke Jawa Timur. Tebuireng menjadi tempatnya melabuhkan diri. Remaja ini memutuskan untuk menjadi santri Pondok Pesantren Tebuireng, yang diasuh Mbah Hasyim Asy’ari. Di sanalah, anak pendiri Pesantren Dar al-Tauhid Cirebon itu memiliki kesempatan untuk belajar langsung kepada sang perintis NU.

Sejak nyantri di Tebuireng, wawasannya kian bertambah luas. Ada banyak kitab yang sebelumnya hanya dikenal judul-judulnya saja oleh Syathori, tetapi kini dengan mudah diperolehnya. Sebut saja, kitab Tafsir Baidlawi yang biasanya dikaji para pembelajar di Makkah, bisa dibaca dengan leluasa di Tebuireng.

Dengan tekun mempelajarinya, Syathori pun memiliki sanad yang langsung sampai kepada penulis buku tersebut. Malahan, Mbah Hasyim sendiri yang mengijazahi dirinya terkait kitab tersebut dan Al-Kifayah al-Mustafid, sebuah karya KH Mahfudz Termas.

Selain mengaji dan melakukan muthala’ah, kesibukannya di Tebuireng pun bertambah. Sebab, sang hadratussyekh menganggapnya sudah mampu untuk menjadi asisten ustaz.

Dalam beberapa kesempatan, Syathori diminta untuk mengajar para santri lainnya, umpamanya, tentang kitab Alfiyah karya Ibnu Malik. Di antara murid-muridnya kala itu ialah Muhammad Ilyas, yang kelak menjadi menteri agama RI pada zaman Orde Lama. Bahkan, KH Abdul Wahid Hasyim—putra sang pengasuh Tebuireng—pun pernah menimba ilmu darinya.

 
Mbah Hasyim diketahui sangat menyenangi cara Syathori mengajar.
 
 

Mbah Hasyim diketahui sangat menyenangi cara Syathori mengajar. Karena itu, kakek presiden keempat RI itu memberikan kepercayaan kepadanya untuk terus melakoni peran sebagai ustaz. Pernah ulama besar ini berkata di hadapan para murid, “Anak-anak Cirebon, Indramayu dan lain-lainnya, kalau tidak bisa belajar sama saya, cukup belajar dengan Syathori.”

Sebenarnya, Tebuireng bukanlah menjadi tambatan hatinya yang terakhir. Dalam arti, Syathori ingin meneruskan rihlah intelektualnya ke pesantren lain, terutama yang diasuh KH Kholil Bangkalan. Kiai berjulukan Syaikhona itu merupakan guru bagi banyak ulama besar di Tanah Jawa, termasuk Mbah Hasyim sendiri.

Sayang sekali, sosok yang diyakini sebagai waliyullah itu terlebih dahulu wafat pada 1925. Maka Syathori pun mengurungkan niat beranjak ke pesantren selain Tebuireng.

Setelah melihat kecerdasan Syathori, Mbah Hasyim Asy’ari kemudian bermaksud menikahkan santri yang sangat dikasihinya tersebut dengan seorang putrinya. Namun, pemuda ini merasa tidak layak mendapatkan penghormatan sedemikian tinggi itu.

Berbagai alasan pun coba ditunjukkannya. Bahkan, pernah suatu ketika dia sengaja bermain bola, suatu olah raga yang tidak disukai Mbah Hasyim.

Pada saat yang sama, Syathori mendengar kabar dari desanya. Ternyata, kedua orang tuanya sudah menjodohkannya dengan seorang gadis yang bernama Masturoh, putri Kiai Adzro’i bin Muhammad Nawawi. Pernikahan antara Syathori dan perempuan tersebut berlangsung pada 1927. Mbah Hasyim turut hadir dalam acara akad nikah santri kinasihnya tersebut.

Setelah melaksanakan akad nikah, Kiai Syathori kemudian berangkat ke Tanah Suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah pulang Tanah Air, pesta pernikahannya diselenggarakan pada 1928. Selanjutnya, untuk beberapa lama Kiai Syathori menetap di Kali Tengah, Plered, Cirebon.

Di sana, dia juga belajar ilmu hikmah kepada Kiai Rofi’i. Ulama-sufi itu juga merupakan ayah tiri dari istrinya. Selain itu, Kiai Syathori juga membuka pengajian kitab kuning untuk masyarakat umum. Salah satu kitab yang ditelaahnya ialah Shahih Bukhari.

Setelah beberapa lama tinggal di Kali Tengah, Kiai Syathori kemudian pindah ke Arjawinangun. Di sanalah dia membangun Pondok Pesantren Dar al-Tauhid pada 1930. Setelah memiliki pesantren sendiri, ia lebih banyak mendedikasikan waktunya untuk mengajar dan mengembangkan lembaga pendidikan tersebut.

 
Ia tidak hanya bergelut dengan lembaran-lembaran kitab kuning, tetapi juga aktif dalam ranah sosial dan politik.
 
 

Sebagai ulama, Kiai Syathori dikenal sebagai sosok yang karismatik. Ia tidak hanya bergelut dengan lembaran-lembaran kitab kuning, tetapi juga aktif dalam ranah sosial dan politik dengan telibat aktif di organisasi NU antara tahun 1950-an hingga 1970-an. Ia tercatat pernah menjadi syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Ide-ide dan langkah Kiai Syatori cukup progresif dalam dunia pendidikan. Misalnya, saat para ulama Cirebon mengharamkan menulis Alquran dengan kapur tulis karena takut debunya diinjak-injak saat dihapus, Kiai Syathori justru membolehkan dan melakukannya.

Tidak hanya itu, ia juga mendukung emansipasi kaum perempuan Muslimah. Hal ini dilakukan dengan menyelenggarakan pengajian keagamaan secara khusus bagi wanita.

Kiai Syathori juga dikenal sangat tekun dan teliti dalam mengembangkan majelis taklim dan madrasahnya. Jika memiliki jadwal mengajar, sang alim tidak pernah meninggalkan kelas sebelum para sisiwanya memahami dengan baik apa yang disampaikannya.

photo
ILUSTRASI Alun-alun Kota Cirebon, Jawa Barat. Daerah tersebut memunculkan banyak ulama besar. Di antaranya ialah KH Abdullah Syathori. - (DOK ANTARA Dedhez Anggara)

Panutan Masyarakat Lokal Majemuk

KH Abdullah Syathori merupakan seorang dai kebanggaan masyarakat Muslim khususnya di Cirebon, Jawa Barat. Berasal dari lingkungan pesantren, dia dikenal sebagai sosok yang bersahaja dan ramah terhadap siapa saja. Tidak pernah dia membeda-bedakan dan menstigmakan seseorang hanya karena identitas suku, ras, atau agamanya.

Sebagai seorang mubaligh, Kiai Syathori juga merupakan ulama yang cerdik pandai pada zamannya. Selain karena darah ulama yang mengalir dalam dirinya, penguasaannya dalam kajian kitab-kitab kuning dan sikap kebersahajaannya, membuat masyarakat jatuh hati dan segan.

Salah satu hobinya ialah mengunjungi rumah-rumah warga setempat. Itu dilakukannya terutama setiap bakda shalat Jumat. Setiap menjumpai adanya pintu rumah warga yang terbuka, ia tanpa sungkan mengetuk pintu itu dan mengucapkan salam. Kalau dipersilakan, dia akan bertamu dan silaturahim dengan mereka.

Apa yang dilakukannya memang terlihat sepele, tapi dengan demikian Kiai Syathori dapat merasakan langsung persoalan dan apa yang dirasakan masyarakat sekitarnya. Sehingga dakwah Islam yang dilakukannya melalui jalur pesantren dapat terasa lebih mengakar.

Dalam hubungan antar etnis dan agama yang berbeda, Kiai Syathori bukan hanya menghormati dan menghargai perbedaan yang ada, tetapi juga aktif menciptakan hidup bersama secara damai. Misalnya, ketika bulan suci Ramadhan, ia memperbolehkan para warga Tionghoa, baik Muslim maupun non-Muslim untuk mengirimkan takjil kepada kepada para santrinya. Sajian itu lalu dinikmati bersama hadirin jamaah di masjid pesantren.

 
Kiai Syathori bukan hanya menghormati dan menghargai perbedaan yang ada, tetapi juga aktif menciptakan hidup bersama secara damai.
 
 

Tidak hanya itu, Kiai Syathori juga menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah tempat anak-anak Tionghoa dan non-muslim sekolah. Ia membiarkan generasi penerusnya memahami keragaman sejak awal, tanpa harus khawatir anak-anaknya terbawa atau terpengaruh agama lain.

Kiai Syathori juga melakukan kerja sama dengan non-Muslim dalam rangka membangun masyarakat secara bersama-sama. Karena ketulusannya dalam membangun hubungan yang harmonis, akhirnya ada seorang tokoh Tionghoa yang kemudian masuk Islam. Mualaf itu rupanya terpesona oleh akhlak islami, yang ditunjukkan sang alim.

Apa yang dilakukan Kiai Syatori dalam menghargai dan mengusung keragaman sedikit banyak berdampak pada kerukunan masyarakatnya. Ini mengingat ketokohannya dalam bidang agama dan bermasyarakat.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat