Asma Nadia | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Kata-kata yang Memberi Energi

Kenyataannya, masih ada di antara kita yang tertatih bahkan gagal memilah kata-kata yang baik.

Oleh ASMA NADIA

OLEH ASMA NADIA

Sebuah tulisan pada meme yang saya temukan di media sosial terasa begitu menggelitik. 

“Kita dulu mengira di tahun 2020 manusia sudah bisa membuat mobil terbang, robot yang berperilaku manusia, dll. Ternyata pada tahun 2020 kita baru diajari cara mencuci tangan yang benar.”

Kelihatan sederhana, tapi  fakta dan makna yang disinggung jauh lebih dalam. Meski  peradaban manusia sudah melampaui lebih dari dua puluh abad setelah masehi, cukup banyak di antara kita yang masih berpikir mundur kalau tidak bisa disebut ‘terbelakang’.

Sesederhana kita yang ternyata belum becus mencuci tangan. Dan jangankan menciptakan mobil terbang, kita bahkan belum piawai berkomentar yang baik. 

Jika ada kejulidan warganet yang uniknya saya syukuri kali ini adalah kegeraman mereka yang terasa sebagai penyeimbang yang menyejukkan, terkait  satu kejadian miris yang viral setelah salah satu atlet Indonesia, pahlawan olimpiade yang baru pulang dari Tokyo mengalami body shaming. 

Sedihnya hal ini berlangsung pada momen di mana seharusnya hanya kebanggaan dan rasa terima kasih atas perjuangan para atlet Indonesia, yang berdetak di hati kita. 

 
Meski peradaban manusia sudah melampaui lebih dari dua puluh abad setelah masehi, cukup banyak di antara kita yang masih berpikir mundur, kalau tidak bisa disebut ‘terbelakang’.
 
 

Terekam di sebuah video yang kemudian viral, saat penyambutan kepulangan beberapa atlet dan ofisial dari Olimpiade Tokyo 2021. Ketika salah satu atlet angkat besi maju untuk berfoto dan menerima bunga,  terdengar komentar seseorang terkait bentuk tubuh lifter asal Aceh itu.  

“Yang paling kurus!”

Kontan warganet bereaksi dan mengecam komentator tak bertanggung jawab tersebut. Kekesalan mereka wajar,  secara begitu banyak ucapan yang padahal bisa kita teriakkan saat itu.  

Terima kasih sudah mengharumkan nama bangsa!

Hebat!

Kamu luar biasa!

Terus membawa nama Indonesia, dik!

Saya gagal paham bagaimana di antara begitu banyak kelebihan adinda kita, masih saja ada yang melihat bagian paling tidak esensial yang bahkan bukan merupakan kekurangan fisik. Siapa pun tahu untuk angkat besi ada kategori terkait berat badan, dan para atlet tak jarang justru harus menaikkan berat badannya agar bisa berlaga membawa nama pertiwi. 

Begitu banyak perjuangan dan pengorbanan, yang dilakukan. Tidak sia-sia, sebab kemudian sosoknya  menjadi salah satu pahlawan di kancah olahraga, Meraih peringkat no 5 dunia  untuk angkat besi pada kategorinya, dan nomor satu di Indonesia. Sebuah pencapaian menakjubkan dan kabar yang menggembirakan rakyat di Tanah Air,  setelah melalui banyak kedukaan sejak pandemi.

Tapi apa komentar salah satu anak bangsa yang ditujukan padanya? Astaga! 

Maka saya yang sering jengah membaca hujatan warga net, kali ini berterima kasih atas bertubi-tubi pembelaan mereka untuk adinda kita. 

“Ini yang komen sudah kasih apa sih sama Indonesia?” 

“Ketahuan dia angkat beban lah situ yang malah jadi beban hidup orang banyak!”

“Kamu cantik de!”

“Itu pemilik mulut yang komen,  mungkin pingin ngerasain diangkat terus dibanting, ya?”

 
Sebab kenyataannya, masih ada saja di antara kita yang tertatih bahkan gagal memilah komentar yang baik. 
 
 

Simpati netizen terus mengalir apalagi setelah mengetahui  body shaming ini bukan pertama diterima sang atlet. Kalimat seperti, ‘sudah gendut banyak makan, jelek kayak kerbau’ pun pernah ditujukan padanya.

Mereka yang cuma bicara dan tidak tahu keras perjuangan sang lifter untuk mengharumkan bangsa. Syukurlah kedua orang tua menyemangati hingga ia terus meniti tangga demi tangga perjuangan hingga saat ini. 

Membaca kisahnya membuat saya emosional. Tiba-tiba membayangkan nun di sana barangkali banyak adinda kita yang sebenarnya punya potensi dan bisa berprestasi di kancah nasional maupun dunia. Namun mundur beribu langkah sebab ocehan negatif di sekitarnya, sementara tak semua beruntung memiliki orang tua atau saudara yang terus mendampingi dan menyemangati. 

Seorang atlet dengan prestasi dunia di depan mata,  namun keberadaannya ternyata tak cukup menyilaukan semua. Masih saja ada  yang melihat  secara negatif dan seolah abai pada hal besar yang telah diraih, pencapaian melebihi sebagian besar anak bangsa saat ini. 

Ya, mustahil mencetak nilai sempurna. Menyenangkan semua pihak, bahkan meski cuma prestasi yang kita torehkan tanpa melakukan hal yang merugikan orang lain. Sebab kenyataannya, masih ada saja di antara kita yang tertatih bahkan gagal  memilah komentar yang baik. Susunan kata yang  menyemangati, menghibur, menghapus kesedihan, serta memberi energi dan bukan sebaliknya- menghempaskan seseorang  dari kancah prestasi dan keberanian bermimpi, buruknya bisa jadi bahkan sebelum mereka memulai. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat