Aisyah Allisa (11 tahun) bocah yang sempat hidup sebatang kara usai sang ibu meninggal dunia karena Covid-19 itu, di kediaman keluarga asuhnya. | Eva Rianti/Republika

Kisah Dalam Negeri

Anak-Anak yang Kehilangan di Masa Pandemi

Diperkirakan, sedikitnya 26 ribu anak-anak kehilangan ayah, ibu, atau keduanya akibat pandemi.

OLEH DADANG KURNIA, EVA RIANTI

Cerita pilu akibat Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir, di tengah belum terkendalinya wabah virus mematikan tersebut. Bukan saja terkait para korban yang meninggal akibat paparan virus Covid-19, tapi juga tentang anak-anak yang ditinggalkan orang-orang tercinta.

Seperti cerita dari tiga bersaudara di Jalan Kali Kepiting, Tambaksari, Surabaya, Jawa Timur. Heri Pusponugroho (16 tahun), Sigit Budianto (14), dan Aulia Maressa (10) ditinggal kedua orang tuanya pada Jumat (23/7).

"Jumat dini hari sekitar jam 01.00 WIB bapaknya meninggal. Jumat siang sekitar jam 10.00 WIB sebelum jumatan itu ibunya yang meninggal," kata Camat Tambaksari Ridwan Mubarun kepada Republika, Jumat (6/8).

Ridwan menjelaskan, bapak dari ketiga anak itu, Sugianto (60), sempat mengalami sakit. Namun belum sempat berobat, ia dinyatakan meninggal dunia. "Pak RT sebenarnya sudah memberitahukan kepada salah satu kader kesehatan bahwa ada yang sakit di rumah itu. Si kader menyarankan kalau bisa ke puskesmas dicek, tapi mereka nggak mau," ujar Ridwan.

Setelah petugas kesehatan melakukan pemeriksaan, diketahuilah bahwa Sugianto, istri, serta dua anaknya positif Covid-19. Masih dalam suasana berkabung, tak lama setelah jenazah Sugianto dimakamkan, istrinya meninggal dunia.

photo
Iona Annora Nurani Anindia (11 tahun), anak yatim piatu akibat orangtuanya meninggal terpapar Covid-19, didampingi kerabatnya di Jagiran Gang I, Tambaksari, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (5/8/2021). - (Istimewa)

Petugas keesokan harinya menjemput tiga anak tersebut untuk diisolasi di tempat yang disediakan pemerintah. Setelah seminggu menjalani karantina dan dinyatakan negatif Covid-19, ketiga anak yatim piatu tersebut kemudian dikembalikan kepada saudara kandung orang tuanya, yang kebetulan memiliki rumah bergandengan.

Ridwan mengeklaim, Pemkot Surabaya tidak tinggal diam terkait kejadian ini. Selain memberi bantuan kebutuhan makanan, Ridwan menyatakan, Pemkot Surabaya menjamin sekolah ketiganya akan digratiskan.

Di kawasan Jagiran Gang I, Tambaksari, Surabaya, ada Iona Annora Nurani Anindia (11) atau akrab dipanggil Rara. Rara juga menjadi yatim piatu setelah sang ayah meninggal akibat terpapar Covid-19. Ibunya, sudah meninggal terlebih dahulu. Tidak saja sang ayah yang meninggal akibat Covid-19, kakek dan nenek Rara juga meninggal terpapar virus korona.

Setelah meninggalnya sang ayah, kakek, serta neneknya akibat Covid-19, gadis kecil berambut ikal tersebut saat ini diasuh bibinya yang mengalami tuna wicara. “Keluarganya tertular dari ayahnya yang bekerja sebagai sopir. Tidak berapa lama mendapatkan perawatan, kakek, nenek meninggal dunia kemudian disusul ayahnya," ujar Ketua RW 03 Jagiran, Tambaksari, Surabaya, Kasman.

Kasman mengungkapkan, untuk sementara, kebutuhan sehari-hari Rara dipenuhi masyarakat yang sering memberi bantuan kebutuhan sehari-hari. Ia berharap semakin banyak pihak lain yang terketuk memberi bantuan kepada Rara. Karena, kata dia, tidak dapat dipastikan sampai kapan warga sekitar bisa memberikan bantuan. 

Di Tangerang Selatan, Banten, senyum dan tawa sudah tampak terpancar dari wajah Aisyah Allisa (11 tahun). Bocah yang sempat hidup sebatang kara usai sang ibu meninggal karena Covid-19 itu kini hidup bersama keluarga asuhnya. 

Kondisi Aisyah saat ini tampak lebih baik. Dibandingkan pada awal 2021 lalu, saat dia mendapati sang ibu tergeletak tak bernyawa di kamar kontrakan di kawasan Pamulang lantaran terpapar Covid-19. Anak yang hanya hidup bersama ibunya itu pun menjadi bocah sebatang kara.

Usai menjalani isolasi di rumah lawan Covid (RLC) dan dinyatakan negatif Covid-19 pada akhir Januari lalu, Aisyah ditempatkan sementara di kediaman Kepala Dinas Sosial Kota Tangsel Wahyunoto, sembari menunggu keputusan pengadilan terkait masalah pengangkatan anak.

Hingga saat ini, terhitung sudah sekitar enam bulan Aisyah tinggal bersama keluarga Wahyunoto yang beralamat di Jalan Saran, Ciater, Serpong, Tangsel. “Alhamdulillah betah dan nyaman. Di sini ada ibu dan bapak yang baik karena jarang ada orang yang mengasuh orang, tapi baik. Sudah bilang ke ibu dan bapak kalau mau tinggal lebih lama di sini, mereka bilang boleh,” kata Aisyah saat ditemui Republika di kediamannya, Kamis (5/8).

 
Kadang masih suka sedih, mikir kok Mama ninggalin aku, padahal waktu kecil mikirnya nggak akan ada orang (anggota keluarga) yang meninggal sampai aku dewasa.
 
 

Aisyah menuturkan, kerapkali masih merasakan kesedihan yang mendalam atas berpulangnya sang ibu. Namun dia menyebut amat bersyukur karena dipertemukan dengan orang-orang yang menyemangatinya, terutama Wahyunoto dan istrinya, Rina Melda Hutagalung. 

“Kadang masih suka sedih, mikir kok Mama ninggalin aku, padahal waktu kecil mikirnya nggak akan ada orang (anggota keluarga) yang meninggal sampai aku dewasa,” ungkapnya.

Istri Wahyunoto, Rina, bisa dibilang sebagai orang yang banyak berperan dalam perkembangan psikologi Aisyah selama enam bulan terakhir. Rina mengaku telah menganggap Aisyah sebagai anak kandung sendiri, seiring dengan proses adaptasi yang diusahakan bersama-sama.

“Kami sekolahkan dia sampai selesai, katanya cita-citanya mau jadi dokter. Saya bilang ke dia, Aisyah di sini saja, tenang. Yang penting Aisyah terus semangat, rajin belajar, dan doain mamanya yang terbaik,” ujarnya.

Heri, Sigit, Aulia, Rara, dan Aisyah hanya sedikit saja dari puluhan ribu anak-anak yang kehilangan orang tua pada masa pandemi ini. Meski pemerintah belum mendata, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC), WHO, dan Bank Dunia memperkirakan sedikitnya ada 26 ribu anak-anak kehilangan ayah, ibu, atau keduanya akibat pandemi.

Jumlah ini bisa melonjak jika kenaikan sejak Juni lalu disertakan. Terlebih, menurut Satgas Penanggulangan Covid-19, pada Juli lalu terjadi lonjakan kematian pasien usia produkif (31-45) tahun sebesar 450 persen. Dengan statistika itu, bisa dikira-kira tak sedikit pula mereka yang kehilangan orang tua masih pada usia anak-anak.

"Melihat fenomena yang memilukan ini, kami mendorong semua stakeholder terkait baik pemerintah maupun masyarakat secara umum, perorangan maupun lembaga harus bersama berjibaku meringankan beban duka mereka terutama bagi mereka yang berada dalam kategori keluarga prasejahtera," kata Direktur Utama Rumah Yatim, Nugroho kepada Republika, Jumat (6/8).

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat