Petugas kesehatan menyuntikan vaksin Covid-19 kepada santriwan di Pondok Pesantren Darunnajah, Pesanggrahan, Jakarta, Kamis (15/7). Sebanyak 104 santriwan dan santriwati mendapatkan vaksin Covid-19 tahap pertama untuk menciptakan kekebalan komunal di ling | Republika/Putra M. Akbar

Opini

Peluang dan Tantangan 60 Tahun Pesantren Darunnajah

Momentum 60 tahun Pesantren Darunnajah, juga selayaknya sebagai evaluasi diri dengan pemetaan berbagai persoalan

DR MUCH HASAN DAROJATKepala Biro Pengasuhan Santri Darunnajah Jakarta

Pondok Pesantren Darunnajah per tanggal 1 Agustus memasuki umur ke-60 tahun. Sebuah usia yang tidak muda lagi. Ibarat seseorang yang telah melewati masa kematangan dan keberhasilan dalam berkiprah, berbagai rintangan, badai, dan masalah kelembagaan dilalui dengan banyak pengorbanan. Persoalan kelembagaan seperti pendidikan, pengasuhan, keuangan, unit usaha, manajemen, sumber daya manusia (SDM), dan relasi dengan masyarakat sekitar mewarnai pengelolaan di lingkungan Yayasan Darunnajah.      

Darunnajah yang memiliki 20 pesantren cabang adalah institusi pendidikan berbentuk pesantren terbesar di Jakarta. Lembaga ini menaungi 66 satuan pendidikan dari jenjang play group (pendidikan anak usia dini) hinggga perguruan tinggi. Santri yang tinggal di asrama berjumlah 11.926  orang. Pondok ini telah melahirkan alumnus sebanyak 9.686 orang. Mereka berkiprah di masyarakat dan menyebar di seluruh Indonesia dan luar negeri.

Demikian pula, jaringannya di dalam dan luar negeri begitu luas. Pondok ini telah menjalin kerja sama dengan berbagai institusi di 20 negara dalam berbagai bentuk kegiatan seperti; pelatihan (training/daurah), pertukaran guru dan pelajar (teacher and student exchange), magang, konferensi, seminar, Musabaqah Hifdzil Qur’an (MHQ), dan lain-lain. Sehingga tidak heran, banyak lembaga maupun individu melakukan studi banding ke Darunnajah untuk menggali bagaimana tata kelola yayasan ini.

Para peneliti dari dosen dan mahasiswa S-1 hingga S-3 juga tertarik melakukan aktivitas penelitian di lembaga ini. Mereka mempelajari sistem manajemen pengelolaan dan latar belakang di balik kesuksesan yang telah dicapai.   

Sudah selayaknya sebuah institusi berumur 60 tahun yang dikelola dengan baik mencapai kesuksesan dan kemajuan. Ini merupakan nikmat dan karunia Allah Swt yang diberikan kepada Pondok ini. Kesyukuran yang begitu besar dengan bertambah umur, berbagai bidang telah banyak diraih. Manajemen kelembagaan, kualitas dan kuantitas alumni, tingginya kepercayaan masyarakat dan lain-lain merupakan hasil keikhlasan dan jerih payah para pendiri, kiai, pengurus, dan guru-guru yang berjuang di dalamnya. Semua itu layak diapresiasi dan disyukuri.

Momentum 60 tahun ini, juga selayaknya sebagai evaluasi diri dengan pemetaan berbagai persoalan, yang diharapkan mampu menggali peluang yang bisa diambil oleh Darunnajah. Pada saat yang sama juga dapat merespon tantangan zaman. 

Peluang dan tantangan

Sebagai lembaga besar yang berada di Ibu Kota, Pondok Pesantren Darunnajah memiliki banyak peluang yang dapat diraih. Umur 60 tahun telah menunjukkan prestasi bahwa lembaga ini dapat bertahan dan menggali potensi untuk peningkatan kualitas pengelolaannya. Di antara peluangnya adalah terbuka kesempatan bagi lembaga ini untuk menjadi institusi pendidikan Islam percontohan berbasiskan pesantren di Ibu Kota, yang bergerak tidak hanya di bidang pendidikan, tapi juga sebagai lembaga Islam secara luas (dakwah, pendidikan, sosial, wakaf, dan lain-lain). Darunnajah diharapkan mampu memberikan peran pada bidang yang lebih luas, sehingga dapat memberikan lebih banyak kontribusi untuk kesejahteraan umat.  

Peluang lain yang bisa dicapai oleh Darunnajah adalah kesempatan menjadi model lembaga pendidikan Islam berstandar internasional. Penerapan kurikulum gabungan antara Tarbiyatul Muallimin al-Islamiyyah (TMI) dan pemerintah, memiliki daya tarik bagi masyarakat Ibu Kota dan negara tetangga untuk menitipkan putra putrinya belajar di tempat ini. Model pendidikan ini telah dibuktikan oleh Darunnajah yang berhasil menginspirasi banyak pesantren untuk menerapkan formulasi pendidikan tersebut di tempatnya masing-masing.

Namun demikian, Darunnajah  tidaklah cukup pada level pendidikan berskala nasional. Perlu kiranya Darunnajah terus mengembangkan kualitas pengelolaan dalam mendidik kader pemimpin umat berskala global, tidak hanya di dalam negeri, tapi juga bagi para calon pemimpin yang siap berkiprah di dunia internasional.     

 
Darunnajah yang ada sekarang itu adalah berkah dari doa para orang tua.
KH ABDUL MANAF MUKHAYAR dalam buku biografinya.
 

 

Selain itu, momentum 60 tahun merupakan kesempatan emas bagi Darunnajah yang berpeluang dalam pendirian Universitas berbasis pesantren di Ibu Kota. Saat ini, lembaga telah memiliki tiga sekolah tinggi yang sudah berjalan; Sekolah Tinggi Agama Islam Darunnajah (STAIDA)  Jakarta, Sekolah Tinggi Agama Islam Darunnajah (STAIDA) Bogor, dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Jakarta. Penambahan program studi yang relevan dan menyatukan ketiganya, menjadi embrio universitas harapan umat di Ibu Kota.

Masyarakat perkotaan sangat mendambakan nilai-nilai spiritualitas, karena mereka terlalu sibuk dengan kehidupan metropolitan. Mereka mendambakan lembaga pendidikan tinggi yang menjadi oase keislaman dan keilmuan dan termanifestasi dalam sistem pendidikan. Pendidikan tinggi semacam itu menjadi wadah kaderisasi umat dan bangsa. Mereka menimba ilmu ilmu di tingkat perguruan tinggi dan membiasakan diri berperangai mulia, sebagaimana dicontohkan para nabi, rasul, sahabat, tabi'in, ulama, dan auliya'.

Mereka akan menekuni berbagai bidang keilmuan dan keterampilan sebagai profesional dengan hati yang penuh dengan keimanan dan ketakwaan. Situasi ini membuka peluang besar bagi Darunnajah untuk mengambil peran dengan terwujudnya universitas Islam berbasiskan pesantren di tengah Ibu Kota.   

Darunnajah yang telah berumur lebih dari setengah abad juga memiliki berbagai tantangan. Sebagai lembaga yang sudah mapan, tidak berarti berada di zona aman dari segala kondisi yang ada. Di era milenium ketiga ini, Darunnajah dituntut mampu merespons perkembangan zaman yang kondisinya cepat berubah. Prinsip dan nilai lembaga yang selalu menjadi pijakan adalah modal sekaligus pondasi menatap masa depan. Dengan demikian, lembaga tetap kokoh pada pendiriannya meski diterpa badai perubahan dengan adanya artificial intelligence, digitalisasi, dan internet of thing (IOT). 

photo
KH Abdul Manaf Mukhayyar pendiri Pesantren Darunnajah di Jakarta. - (DOK DARUNNAJAH)

Di antara tantangan Darunnajah yang harus dipersiapkan adalah penyesuaian penerapan pola asuh bagi para santri. Mereka adalah anak-anak yang terlahir di mana dunia telah dijejali dengan berbagai kemajuan teknologi. Akses informasi yang begitu mudah menjadikan mereka mampu menangkap banyak pengetahuan berkaitan dengan problem yang ada di sekitarnya.

Interaksi sosial terbangun tidak hanya secara fisik, tapi juga virtual. Terlebih dalam situasi pandemi Covid-19 saat ini. Semua orang lebih banyak berinteraksi secara virtual melalui berbagai aplikasi. Hal ini tentu menjadi persoalan sosial yang wajib dijawab oleh Darunnajah. Proses pendidikan dalam pembentukan karakter santri, yang bisa menghadapi persoalan pada zamannya menjadi isu penting yang harus dipersiapkan. Mereka akan menghadapi tantangan yang boleh jadi berbeda dengan apa yang mereka dapatkan ketika berada di pesantren.

Selain itu, pendidikan dan kepengasuhan juga menuntut pendekatan-pendekatan baru yang sesuai dengan kondisi para santri dari generasi milenial hingga generasi Z. Mereka adalah anggota masyarakat metropolitan yang banyak dipengaruhi gaya hidup kota. Berpikirnya cenderung instan dan cepat, sehingga sering kali melupakan proses.

Para santri perlu didekati dengan penanaman nilai-nilai perjuangan dan akhlak mulia dalam menjalani kehidupan. Mereka dikenalkan secara langsung problematika yang mereka jalani, dan diberikan kesempatan untuk mencari solusi bagi dirinya. Proses pendidikan ini dapat dikatakan berhasil, jika para santri nanti telah menamatkan studi, mampu memberikan manfaat bagi masyarakat, dan berkiprah dalam perjuangan untuk umat dan bangsa.

Saat ini kita berada di era masyarakat 5.0. Ini adalah konsep masyarakat yang berpusat pada manusia dan teknologi. Aktivitas setiap individu saat ini banyak bergantung pada kecanggihan teknologi yang terus berkembang setiap saat. Keadaan ini menuntut Darunnajah untuk secara serius senantiasa mengembangkan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM).

Era ini akan berkonsentrasi pada kemampuan manusia dalam mengelola berbagai aspek kehidupan. Di lingkungan pesantren, kemampuan manusia sebagai pengelola menjadi sentral karena jiwa pendidik yang ada pada dirinya. Santri menjalani kehidupan sebagai pemimpin dan dipimpin dalam komunitasnya. Mereka juga menjadi manager yang memiliki amanah menjalankan tugas keorganisasian di berbagai bidang, dan guru yang mengajarkan kebaikan kepada teman-temannya.  

Mereka berperan sebagai penggerak dan ujung tombak lembaga untuk mengembangkan semua potensi. Mereka dituntut memiliki keseimbangan soft skill dan hard skill, yang mampu menerapkan aspek-aspek penting kompetensi Abad ke-21 yang dikenal dengan 4K; kritis, kreatif, kolaboratif, dan komunikatif. Pada saat yang sama, orang ini juga memiliki komitmen untuk  selalu berkontribusi dalam mengawal serta melestarikan nilai-nilai kelembagaan.

Di samping itu, Darunnajah juga perlu sekiranya mengawal penerapan pola kaderisasi yang menjadi salah satu pancajangkanya. Program ini direncanakan, dijalankan, dan dievaluasi sebagai ukuran keberhasilan. Para pengambil kebijakan (stake holders) juga menjadikan standar kompetensi sumber daya manusia (SDM) bagi setiap individu sebagai prasyarat menjadi pengelola dan pendidik di bawah lingkungan Yayasan Darunnajah. Hal ini sebagai upaya serius lembaga dalam merespon tantangan zaman.     

Tantangan Darunnajah ke depan juga menyangkut eksistensi kelembagaan. Lembaga pendidikan yang mampu bertahan hingga ribuan tahun memiliki nilai dan tradisi. Idealisme para pengelola yang mampu menjaga nilai-nilai dan budaya yang menjadi identitas, agar dilestarikan dengan serius.

Selain itu, lembaga ini juga dapat merespon perubahan (disrupsi) zaman yang terjadi. Di antara contoh lembaga yang berhasil bertahan hingga saat ini adalah Universitas al-Qarawiyyin di Maroko (berdiri tahun 859 M), Universitas al-Azhar di Mesir (berdiri tahun 988 M), Universitas Oxford (berdiri tahun 1096 M) dan Cambridge di Inggris (berdiri tahun 1209 M).

Semua lembaga ini tentu memiliki idealisme, nilai, dan identitas yang menjadi tradisi dan budaya. Para pengelola terus mengawal nilai-nilai tersebut dan berhasil mengolah aktivitas program pendidikan dalam rangka menjawab tantangan perubahan (disrupsi). Dari sini, lembaga pendidikan menghasilkan para alumni yang berkompeten dalam bidangnya. Mereka secara suka rela menyebarkan misi dan visi lembaga di masyarakat di mana dia berkiprah.

Secara umum institusi-institusi itu asal pendiriannya merujuk pada tradisi masyarakat agama tertentu. Universitas al-Qarawiyyin dan al-Azhar merujuk kepada masyarakat Muslim, sementara Universitas Oxford dan Cambridge bermula dari komunitas Kristen. Pada titik ini dapat diambil benang merah yang bisa dijadikan contoh bagi Darunnajah. Semua lembaga itu sama-sama institusi berbasiskan agama yang menjadi cara pandang dalam melihat realitas dan kebenaran.

photo
Wakil Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony J Blinken (ketiga kanan) bersalaman dengan pendiri Pesantren Darunnajah Mahrus Amin (ketiga kiri) sebelum pandemi Covid-19 Foto: Tahta Aidilla/Republika. - (Republika/ Tahta Aidilla)

Dalam hal pengelolaan lembaga, Universitas al-Azhar akan selalu menjadi contoh dalam pengelolaan dan pengembangan aset wakaf. Dengan begitu, harapannya Darunnajah dapat bertahan ribuan tahun dengan catatan terus menjaga nilai-nilai dan tradisi yang ada di dalamnya serta mampu merespons setiap perubahan yang terjadi pada masanya.   

Untuk menjaga eksistensi keberlangsungan Darunnajah hingga ratusan tahun ke depan, perlu adanya penelitian mendalam berkenaan dengan nilai-nilai inti lembaga (core values). Nilai-nilai itu terpancarkan pada empat panca; panca jiwa (keikhlasan, kesederhanaan, berdikari, ukhuwah Islamiyyah, kebebasan), pancabina (bertakwa kepada Allah Swt, berakhlak mulia, berbadan sehat, berwawasan luas, kreatif dan terampil), pancadharma (ibadah, ilmu yang berguna di masyarakat, kader umat, dakwah Islamiyyah, cinta Tanah Air dan berwawasan Nusantara), dan pancajangka (peningkatan pendidikan, pembangunan fisik, penggalian dana dan pengembangan, pengkaderan dan penempatan, dan pengabdian masyarakat).

Lembaga perlu secara serius menggali nilai kelembagaan sebagai kekayaan ruh perjuangan bagi para pengelola. Hal ini bisa ditelusuri dari ide-ide besar para pendiri KH Abdul Manaf Mukhayyar (1922-2005), KH. Drs. Mahrus Amin, dan KH. Kamaruzzaman. Mereka bertiga tentu sejak awal memiliki cita-cita dalam mendirikan Darunnajah dengan idealisme yang mereka miliki dan berusaha diterapkan di lembaga ini.

Nilai-nilai itu menjadi identitas yang dijaga dan tidak pernah berubah, meskipun para pengelolanya berganti-ganti. Dengan melestarikan nilai-nilai lembaga, para pengelola berpegang pada jiwa, nilai, dan tradisi yang menjadi pondasi dan akar eksistensi lembaga untuk dapat bertahan hingga ratusan hingga ribuan tahun. 

Demikian refleksi 60 tahun Pondok Pesantren Darunnajah. Semoga tulisan singkat ini dapat menjadi langkah awal untuk menelisik rahasia yang belum terungkap dari sisi nilai dan kualitas yang dimiliki Darunnnajah dan cabang-cabangnya. Para pengelola juga diharapkan memiliki pola pikir (mindset) tumbuh yang terus berusaha bergerak untuk memperbaiki dan mengembangkan aspek-aspek positif ke arah yang lebih baik. Insya Allah.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat