Petani mengayak gabah di Kampung Ciharashas, Kelurahan Mulyaharja, Kota Bogor, Jawa Barat, Sabtu (26/6/2021). KRKP mengingatkan agar penurunan harga gabah mulai diantisipasi pemerintah dan pemangku kepentingan. | ANTARA FOTO/Arif Firmansyah

Ekonomi

Waspada Anomali Harga Gabah

KRKP mengingatkan agar penurunan harga gabah mulai diantisipasi pemerintah dan pemangku kepentingan.

JAKARTA -- Harga gabah baik di tingkat petani maupun penggilingan mengalami penurunan sepanjang Juli 2021. Penurunan harga tersebut terjadi di luar tren di mana biasa terjadi kenaikan lantaran persawahan masih dalam proses musim tanam.

Ketua Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah mengatakan, secara umum dapat dinilai terjadi anomali terhadap harga gabah saat ini. "Dengan hitungan normal seharusnya saat ini belum panen. Artinya jumlah gabah itu sedikit, tapi situasi sekarang harga bisa turun," kata Said kepada Republika, Selasa (3/8).

Said mengatakan, pada musim gadu saat ini biasanya harga gabah jauh lebih tinggi dari pada musim rendeng. Itu karena total hasil panen yang diperoleh lebih kecil sekitar 15 persen sehingga meningkatkan harga.

Ia menilai terdapat sejumlah penyebab yang membuat harga gabah saat ini bergerak di luar kebiasaan. Salah satu pemicu turunnya harga gabah akibat penurunan konsumsi imbas pelemahan daya beli selama pandemi Covid-19. 

Pelemahan permintaan itu diikuti pula oleh hasil panen padi pada musim panen pertama tahun ini yang optimal sehingga pasokan beras cukup besar. Hal itu ikut memicu dibatalkannya wacana impor pemerintah pada Maret lalu. 

photo
Buruh tani memanen padi di Nambangan Lor Kota Madiun, Jawa Timur, Selasa (13/7/2021). Petani di wilayah tersebut saat ini memasuki musim panen raya padi yang hasilnya dijual dengan harga antara Rp 3.800 hingga Rp 4.000 per kilogram tergantung kualitas dan kondisi gabah kering. - (ANTARA FOTO/SISWOWIDODO)

"Di sebagian wilayah, contoh seperti di Subang dan Indramayu, Jawa Barat dan Klaten, Jawa Tengah juga ada yang sudah panen karena mereka tanam lebih maju. Tapi ini tidak semua wilayah secara merata," ujar Said.

KRKP mengingatkan agar penurunan harga gabah mulai diantisipasi pemerintah dan para pemangku kepentingan. Sebab, jika harga gabah kering panen (GKP) turun hingga di bawah harga acuan pemerintah yang sebesar Rp 4.200 per kg akan menimbulkan masalah di tingkat petani. "Saya kira ini harus diantisipasi karena kalau turun terus nanti jadi repot," kata dia.

Mengacu data BPS, GKP pada Juli 2021 dihargai Rp 4.311 per kilogram. Jumlah itu anjlok hingga 5,17 persen dari bulan sebelumnya Rp 4.546 per kg. Adapun GKG dihargai Rp 4.874 per kg, turun 1,81 persen dari bulan Juni yang Rp 4.964 per kg.

Tak hanya di tingkat petani, penurunan gabah lantas terjadi di tingkat penggilingan. GKP tercatat dihargai Rp 4.408 per kg, turun 5,11 persen dari Rp 4.645 per kg. Begitu pula dengan GKG sebesar Rp 5.002 per kg, menurun 1,64 persen dari bulan sebelumnya Rp 5.085 per kg.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Kementerian Pertanian RI (kementerianpertanian)

Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah menugaskan Perum Bulog untuk terus melakukan penyerapan gabah di tingkat petani. Hal itu untuk menjaga stabilitas harga gabah disaat terjadinya penurunan harga.

Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Oke Nurwan, mengatakan, penugasan penyerapan gabah oleh Bulog sesuai dengan harga pembelian pemerintah (HPP) yang ditetapkan melalui Permendag Nomor 24 Tahun 2020. "Kemendag memantau di harga beras, sementara untuk hulu sudah penugasan ke Bulog untuk memastikan harga di tingkat petani terjaga," kata Oke kepada Republika, Selasa (3/8).

Pemerintah juga telah menugaskan Bulog untuk menyalurkan KPSH Beras Medium dan Beras Bantuan Sosial PPKM. Tersalurkannya stok beras dari gudang Bulog diharapkan mempercepat penyerapan gabah di petani sehingga harga gabah di petani dapat kembali pada kondisi normal

Oke mengatakan, penurunan harga belakangan berdampak pada turunnya Nilai Tukar Petani (NTP) yang dicatat oleh BPS sebesar 0,11 persen. Itu karena indeks harga yang diterima petani lebih rendah dari indeks harga yang dibayarkan.

Ketua Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi) Sutarto Alimoeso menyebut, situasi perberasan tahun ini memang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Ia menjelaskan, hasil produksi pada panen raya pertama Maret-April tahun ini memberikan surplus hingga sekitar 3,8 juta ton.

 
Ada usaha-usaha pemerintah melalui berbagai bantuan untuk percepat tanam, iklim juga mendukung sehingga petani terus menanam.
SUTARTO ALIMOESO, Ketua Perpadi
 

Surplus tersebut cukup besar sehingga menambah persediaan gabah untuk produksi bulan-bulan selanjutnya. "Tahun ini musimnya relatif tidak berat, justru cenderung hujan," kata Sutarto kepada Republika, Selasa (3/8).

Sutarto menilai langkah Kementerian Pertanian yang mempercepat musim tanam kedua juga membantu dalam percepatan hasil produksi beras. Sepanjang Juli lalu, sudah terdapat panen gabah di sejumlah sentra perberasan. Hal itu lantaran musim tanam langsung dilakukan pascapanen raya Maret-April lalu.

"Ada usaha-usaha pemerintah melalui berbagai bantuan untuk percepat tanam, iklim juga mendukung sehingga petani terus menanam," kata Sutarto.

Menurut Sutarto, pada tahun-tahun sebelumnya pada Juli-Agustus biasanya sudah terdapat panen raya kedua yang cukup besar. Namun hasil panen pada musim pertama tidak banyak sehingga harga tetap tinggi. Hal itu menjadi perbedaan dengan kondisi yang terjadi pada tahun ini.

photo
Petani memanen padi di area persawahan Bontomarannu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Sabtu (26/6/2021). Serapan hasil panen gabah petani di wilayah Sulselbar hingga pertengahan Juni 2021 mencapai 224.563 ton atau 74,11 persen dari target 303 ribu ton hingga akhir tahun 2021. - (ANTARA FOTO/Arnas Padda)

Hingga akhir tahun 2021, Sutarto menilai masa paceklik beras pasti akan ada di mana luas panen padi dibawah kebutuhan bulanan. Namun, lantaran produksi yang cukup optimal, paceklik yang dihadapi tidak akan berat.

Kementerian Pertanian (Kementan), menjelaskan, penurunan harga gabah yang terjadi selama Juli merupakan akumulasi dari berbagai faktor produksi sejak musim tanam akhir tahun 2020. Direktur Serealia, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementan, Ismail Wahab, mengatakan, pada musim tanam pertama lalu yang dimulai biasanya masif dimulai November, dipercepat menjadi Oktober 2020. 

Itu karena kondisi iklim La Nina di mana terdapat persediaan air yang cukup untuk mempercepat penanaman. "Sehingga hasil panen dari mulai Januari itu sudah banyak, yang biasanya pada bulan-bulan itu sering bermasalah karena masih masa pertanaman," kata Ismail kepada Republika, Selasa (3/8).

Ismail mengatakan, hingga saat ini, curah hujan masih terdapat di sejumlah sentra perberasan sehingga mendukung kegiatan pertanaman padi sehingga terus menghasilkan produksi beras hingga saat ini.

Di sisi lain, ia mengakui permintaan terhadap beras tengah menurun akibat pembatasan aktivitas masyarakat saat ini. Kendati tengah mengalami penurunan, Ismail menilai rata-rata harga gabah saat ini masih cukup baik bagi petani karena masih di atas harga acuan pemerintah sebesar Rp 4.200 per kg untuk GKP.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat