Keluarga dengan anak penyandang Sindrom Down (ilustrasi) | Rodnae Productions Pexels

Keluarga

Anugerah di Balik Sindroma Down

Jika orang tua cepat bangkit, maka semakin cepat anak bisa mendapat penanganan.

Suara Olivia Maya Shitaresmi terdengar tegar saat bercerita kepada Republika mengenai suka dukanya sebagai orang tua dari anak penyandang Sindroma Down (DS). Selama 21 tahun lamanya hingga kini, dia tak patah semangat menemani putrinya, Duhita Ratri Anindyanari bersama dengan suaminya sepenuh hati.

Anak pertamanya itu lahir pada 1999 lalu. Saat itu belum ada informasi banyak mengenai DS. Tak ada kecurigaan apa pun saat perempuan yang akrab disapa Oliv itu mengandung Ratri selama sembilan bulan. Dia pun mengalami pengalaman-pengalaman kehamilan pada umumnya, seperti mengalami mual-mual di pagi hari atau lazim disebut morning sickness.

“Bahkan kami sudah tahu jenis kelaminnya perempuan pada saat kehamilan usia lima bulan. Dokter obgyn pun tidak menemukan sesuatu,” jelas Oliv kepada Republika.

Proses melahirkan Ratri pun dilakukan secara normal. Hanya pada saat lahir, bayi Ratri tak menangis dan akhirnya menangis kecil pada saat ditepuk oleh para perawat dan dokter. Tim dokter baru saat itu melihat keanehan pada bayi Ratri, namun Oliv belum mengetahui apa yang terjadi.

Pada saat usia 10 hari hingga 14 hari, tim dokter masih belum memberitahu Oliv tentang kondisi putrinya itu. Tim dokter hanya menyebut Ratri mengalami bilirubin tinggi dan memiliki gangguan jantung yang memaksa dia untuk pulang tanpa anaknya. Hingga pada akhirnya, tim dokter mengatakan, anaknya itu mengalami mongoloid.

Oliv pun sempat bertanya apa itu mongoloid. Dokter mengatakan mongoloid adalah sebuah kejadian atau kondisi di mana bayi akan mengalami keterlambatan fisik dan mental. Jadi orang tua harus mendampingi dia seumur hidupnya untuk kemandirian anak.

Karena tak puas dengan penjelasan dokter, dia pun meminta dokter untuk memulangkan Ratri. Dokter pun memberikan izin namun mereka memantau kondisi jantung serta memberikannya obat. Sembari itu, Oliv mengumpulkan berbagai informasi mengenai dokter-dokter anak sebagai opini kedua untuk kesehatan anaknya itu.

Dia lalu pergi ke dokter keluarga dan menjelaskan bagaimana kronologis dan kondisi dari bayinya tersebut. Mengetahui kondisi putrinya yang demikian, Oliv direkomendasikan untuk segera konsultasi ke dokter spesialis jantung anak dan melakukan pemeriksaan kromosom di UI Salemba.

Segeralah dia mengikuti saran dokter tersebut, termasuk melakukan pemeriksaan kromosom. Saat menunggu hasil pemeriksaan dan hendak bertemu ahli genetika yang merupakan salah satu profesor, dia yang semula tegar pun tak sanggup lagi membendung air matanya. ’’Saya hanya satu kali menangis waktu itu, pada saat saya hendak mengambil hasil pemeriksaan kromosom dan menemui dokter tersebut. Saya bergumam, saya ini kenapa, kok saya yang mengalami seperti ini,” kata Oliv.

Dia lalu mendapatkan penjelasan hasil pemeriksaan pada bayinya oleh profesor ahli genetika. Dari situ, Oliv baru mengetahui bahwa anaknya memiliki kelainan kromosom yaitu trisomy 21 primer.

Saat itu Oliv diberikan banyak penjelasan yang menenangkan hati. Dia pun dimotivasi oleh ahli genetika tersebut bahwa bayinya itu adalah bayi yang membutuhkan bantuan dan dukungan dari Oliv sebagai orang tuanya.

 “Saya dibilang tidak usah sedih, tidak usah menangis. Jangan terlalu terhanyut. Bagaimana pun, jika kita terhanyut, anak yang butuh penanganan sejak dini jadi tidak tertangani. Jika kita bangkit, maka semakin cepat anak bisa mendapat penanganan. Sebab, anak harus diberikan stimulasi dini,” jelas Oliv menirukan pesan sang profesor.

Itulah tantangan pertama yang didapatkannya selama dia merawat Ratri selama 21 tahun lamanya. Tantangan dari dalam, tak dimungkirinya menjadi tantangan yang berat yang harus diterimanya. “Tantangan internal itu yang berasal dari dalam, dari diri sendiri, dari keluarga. Di awal kita mendapatkan anak dengan DS, kita merasakan kesedihan, kekecewaan, dan kita marah kepada Tuhan, mengapa kok saya? Mengapa kami?” tutur Oliv.

Banyak dari kita yang merasa kecewa dengan Sang Khalik. Apalagi, sejauh ini kita merasa telah melakukan banyak hal baik dan menjauhi larangan Allah. Menurut Oliv, itu adalah tantangan pertama bagi orang tua saat mendapatkan anak dengan DS.

Oliv mengatakan, banyak pula dari teman-temannya yang merupakan orang tua dari anak penyandang DS mengalami tekanan yang amat berat. Tak sedikit dari mereka yang kalut saat pertama memiliki anak penyandang DS, mengalami penolakan, dan juga takut sehingga tidak mau menyentuh.

Pada akhirnya, kata Oliv, kita semua harus menerima pada saat mendapatkan jalan hidup yang demikian. Hal pertama yang harus dilakukan pasangan pada saat mendapatkan bayi dengan DS adalah melakukan penerimaan terhadap bayi tersebut.

“Kita menerima bayi ini yang menjadi bagian dan buah cinta kita dengan pasangan. Pasti semua yang terjadi atas izin Allah. Kita tidak tahu hikmah apa yang kita dapatkan pada saat Allah memberikan titipan ini. Meski anak-anak kita tidak sempurna di mata kita, tapi di mata Allah semua makhluk ciptaan-Nya adalah makhluk yang sempurna,” kata dia.

Hal yang termasuk tantangan internal adalah bagaimana menjelaskan kondisi anak dengan DS kepada kakak atau adik kandungnya. Pada anak yang lahir terlebih dahulu atau anak yang lebih besar dari anak DS, pasti merasa adiknya memiliki kondisi yang berbeda dengan dia. Adik dari anak DS pun perlu diberikan pengertian. Pada umur yang telah cukup, orang tua bisa menjelaskan tentang kondisi kakaknya yang DS yang berbeda dengan dirinya.

Belum lagi, masih ada tantangan internal lainnya yaitu bagaimana menjelaskan kondisi anak DS kepada keluarga besar dari suami maupun istri. “Bagaimana memberitahukan mereka secara umum, secara lebih mudah apa sih down syndrome itu. Itu adalah tantangan yang besar di awal-awal pertama kita memiliki anak DS,” jelas dia.

 

 

Meski anak-anak kita tidak sempurna di mata kita, tapi di mata Allah semua makhluk ciptaan-Nya adalah makhluk yang sempurna.

Olivia Maya Shitaresmi 
 

 

 

Pentingnya Saling Berbagi

Bagaimana cara meredam pemikiran-pemikiran yang terlalu jauh dan kekhawatiran yang berlebihan pun menjadi tantangan tersendiri bagi orang tua dari anak penyandang Sindroma Down (DS)?

Olivia Maya Shitaresmi, orang tua seorang penyandang DS, yang sempat mengalaminya pun mencoba berusaha meminimalisasi pemikiran yang mengkhawatirkan tersebut, yaitu dengan berbagi bersama orang lain.

Orang tua anak penyandang DS membutuhkan teman-teman yang mendukung. Dengan bergabung ke komunitas dan memperbanyak teman yang juga memiliki anak DS, maka orang tua anak penyandang DS tak lagi merasa sendiri dan bisa berbagi cerita.

Tak hanya tantangan internal, tantangan eksternal atau dari luar pun dihadapi oleh Oliv di antaranya adalah penerimaan anak-anak DS di tengah-tengah masyarakat.  “Tidak mungkin kita terus menjaga anak untuk di rumah terus kan, tentunya kita akan membawa dia keluar. Tantangannya adalah bagaimana kita siap untuk membawa anak ini keluar dengan tatapan-tatapan atau pandangan dari orang-orang yang kita kenal terhadap anak kita,” jelas Oliv.

Dia meyakini, hal ini adalah salah satu proses yang harus dijalani para orang tua anak penyandang DS. Penting bagi mereka untuk percaya bahwa semua orang tua anak penyandang DS adalah orang-orang yang mampu menghadapi dan melewati jalan dari Allah tersebut.

Oliv yang merupakan Ketua Umum Yayasan Persatuan Orang Tua Anak Dengan Down Syndrom (POTADS) juga terus menggaungkan melalui yayasannya bahwa individu dengan DS bukanlah individu yang aneh. Mereka juga ciptaan Allah dan mereka juga anak-anak yang mampu serta bisa berprestasi.

Pada prosesnya, Ratri harus mengalami operasi bedah jantung besar pada usia delapan bulan karena kebocoran jantung pada Ratri tak kunjung menutup. Hal itu yang membuat Ratri sulit sekali menaikkan berat badan karena bayi Ratri kesulitan mengisap ASI. Semakin cepat operasi dilakukan, maka semakin cepat Ratri berkembang.

Bayi Ratri yang berusia tiga bulan pun telah mengikuti banyak terapi di klinik khusus tumbuh kembang. Beberapa terapi di antaranya adalah fisioterapi untuk motorik kasar seperti bagaimana membolak-balikkan badan, bagaimana bangun dari tidur, atau posisi-posisi lainnya seperti merayap, merangkak, sampai berlari.

“Terapi-terapi lain tetap diikuti seperti terapi wicara, terapi okupasi motorik halus seperti meronce, memegang pensil, mewarnai, mencapit, menjimit, dan lain-lain. Dan hal-hal lain yang harus dijalani untuk stimulasi dini dan kemandirian Ratri,” ungkap dia.

Alasan kuat bagi Ratri dan suami untuk terus bertahan dan semangat membimbing Ratri adalah keduanya adalah orang tua bagi Ratri. Mereka menyadari, biar bagaimana pun, Ratri adalah buah cinta mereka.

Dia mengatakan, Tuhan tak pernah mencoba manusia di luar kemampuan manusia itu sendiri. Setelah menjalani tahun demi tahun bersama dengan Ratri, Oliv menyadari, Tuhan menitipkan Ratri kepadanya karena banyak hal yang masih harus diperbaiki darinya.

“Mungkin saya kurang sabar, jadi saya harus belajar sabar. Saya mengambil hikmahnya seperti itu. Pada akhirnya kita percaya ada hikmah lainnya yang Tuhan berikan. Setelah mendapatkan Ratri, di awal kehidupan memang berat. Tapi setidaknya itu tidak ingin kami jadikan beban, kami jalani dengan keikhlasan, sehingga menjadi ringan,” jelas dia.

Hubungan Oliv dengan suaminya pun menjadi lebih dekat dan terus bersama menjadi satu tim untuk mendampingi Ratri agar lebih mandiri lagi dan lebih baik lagi. Dengan adanya Ratri pun, dia belajar untuk menghargai dan mensyukuri setiap perkembangan yang terjadi pada Ratri sekecil apa pun.

“Akhirnya kami melewati fase-fase tersebut, dari mulai bisa berjalan, menulis, membaca, memahami bacaan, dia bahkan bisa berbagai hal yang bahkan kita tidak pernah sangka dan kira. Sekarang dia senang melukis yang akhirnya menjadi sebuah cerita baru lagi,” kata dia.

Oliv bahkan bisa menulis buku yang menceritakan tentang Ratri dan teman-temannya serta  pengalaman-pengalaman bersama dengan para orang tua anak dengan DS. Oliv juga menjadi lebih mengenal teman-teman di POTADS yang tak kalah gigih atau bahkan lebih gigih dari dia. Keberadaan Ratri dengan menyandang DS di keluarganya memberikan kebahagiaan dan kehangatan. “Dia adalah matahari di keluarga kami,” jelas dia.

photo
Keluarga dengan anak penyandang Sindrom Down (ilustrasi) - (Robin Worrall Unsplash)

 

Cerita Kromosom Nomor 21

Sindroma Down (DS) adalah sebuah kelainan bawaan yang didapat dari sejak lahir. Hal itu disebabkan kelainan pada kromosom nomor 21. Kelainan ini menyebabkan kelainan wajah yang berbeda, kecacatan intelektual, dan keterlambatan pengembangan.

“Kadang-kadang disertai juga dengan kelainan lain seperti penyakit jantung, dan kelainan kelamahan otot, tiroid, dan lain-lain,” jelas ahli sitogenetika klinik, Dr dr Lidya Pratanu.

Kromosom itu sendiri adalah benang berwarna dalam inti sel. Semua sel yang berinti memiliki anak inti atau nukleolus yang berisi kromosom. Kromosom berisi molekul-molekul DNA yang teranyam dan tertenun yang berisi, yang kemudian akan membentuk gen.

Pada kromosom 21 sendiri, ada sekitar 200 hingga 300 gen. Karena ukurannya yang tak terlalu kecil yaitu sekitar 1400 nanometer, sehingga kita bisa melihat dan memeriksa kromosom di bawah mikroskop. Dari situ, kita bisa melihat seseorang memiliki trisomi 21 atau tidak. Sementara DNA sendiri berukuran 2 nanometer atau 1/700 dari ukuran kromosom. Sehingga, diagnosis DS sendiri cukup melalui pemeriksaan kromosom.

Dia menjelaskan, untuk memeriksa kromosom, maka para peneliti mengambil sel darah putih dari pasien. Sebab, sel darah putih adalah sel darah yang memiliki inti dan sel darah merah.

Kromosom manusia sendiri terdiri atas 23 pasang sehingga memiliki jumlah total 46 kromosom. Sebanyak 22 pasang kromosom adalah autosom, termasuk kromosom 21, dan satu pasang kromosom seks yaitu X dan Y. Jika perempuan, satu pasang kromosom itu adalah XX dan jika laki-laki, satu pasang itu adalah XY.

“Jika seseorang adalah penyandang DS, maka kromosom yang ditemukan bukan 46 melainkan 47. Kelebihan satu kromosom itu ada di kromosom 21. Oleh sebab itu, DS sering disebut trisomy 21,” jelas dia.

Bahkan, sekitar 97 persen anak-anak penyandang DS memiliki tiga kromosom ke-21. Dia menyebut ini adalah kromosom genetik yang berarti faktor genetik menjadi penyebabnya. Namun, bukan berarti ini adalah faktor keturunan.

Untuk mendeteksi dan memeriksa permasalahan pada kromosom, bisa dilihat dari pemeriksaan kromosom atau kariotipe. Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan standar untuk memastikan seorang anak menyandang DS atau tidak. Pemeriksaan kromosom ini bisa dilakukan pascalahir dan sebelum bayi dilahirkan.

Dalam kromosom 21 ada ratusan gen yang bertanggung jawab atas fungsi-fungsi tubuh. Jika terdapat kelainan di sana, maka seseorang penyandang DS biasanya memiliki kelainan bawaan lainnya seperti kelainan pada mata. Pada umumnya, anak-anak DS mengalami rabun jauh sehingga harus menggunakan kacamata. Sering pula ditemukan anak dengan DS mengalami juling. Saat mulai beranjak dewasa, dia dapat mengalami katarak.

“Anak dengan DS juga mudah mengalami kurang dengar. Sering pula mengalami penumpukan cairan di dalam telinga bagian tengah. Karena itu, orang tua harus cukup rajin membersihkan telinga anak,” jelas dia.

Satu kelainan yang cukup penting adalah kelainan jantung. Sebanyak 40-45 persen anak-anak DS mengalami kelainan jantung. Kelainan lainnya antara lain kelainan kulit yang cenderung menebal saat mulai remaja, dan mudah mengalami infeksi kulit terutama di lipatan-lipatan.

Dia mengatakan, para orang tua yang memiliki anak penyandang DS merupakan orang tua yang spesial yang memiliki anak yang juga spesial. Sebab, 50 persen kehamilan dengan DS mengalami keguguran, baik pada trimester satu maupun trimester tiga. “Kalau bisa bertahan, it is a blessing. Bahwa dia masih bisa bertahan dengan trisomy 21,” jelas dia.

Mengetahui kelainan kromosom pada bayi yang tengah dikandung, menurut dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi Ardiansjah Dara Sjahruddin, bisa dideteksi sedini mungkin. Pada trimester pertama pun, calon orang tua bisa memeriksakan diri mengenai kemungkinan kelainan kromosom pada bayi.

“Sekarang sudah ada tes yang cukup akurat untuk mendeteksi ini. Tes yang pertama adalah NIPT atau Non-Invansive Prenatal Test. Pemeriksaan ini bisa dilakukan pada trimester pertama yaitu pada 10 minggu atau sekitar 2,5 bulan,” jelas Dara dalam ajang peringatan hari Down Syndrome.

Tes NIPT dilakukan dengan cara mengambil darah dari ibu yang mengandung, lalu dikirim ke lab untuk diperiksa. Hasilnya sendiri bisa diketahui pada 10 hari mendatang.

Tes ini biasanya diperuntukkan kepada para orang tua yang mengandung dengan risiko tinggi. Misalnya pada orang tua dengan usia lebih dari 35 tahun, yang memiliki risiko besar anak menyandang DS. Tentunya, pemeriksaan tes ini direkomendasikan oleh dokter kandungan sesuai dengan kebutuhan.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat