Asma Nadia | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Belajar dari Kampung Sebelah

Semoga kian berkurang mereka yang tenang dengan mengabaikan kenyataan.

Oleh ASMA NADIA

OLEH ASMA NADIA

Akibat banjir bandang, sebuah penangkaran ular kehilangan puluhan ular yang kini berkeliaran entah ke mana. Persoalannya, dua perumahan padat penduduk, kompleks Pedada dan Sandaya, berada tak seberapa jauh.

Jelas sangat berbahaya jika hewan melata itu bergerak menuju dua perumahan tersebut. Ketika berita ini terdengar, kepala warga di kedua kompleks  langsung berpikir keras terkait tindakan yang harus dilakukan demi mengamankan warga.

Pihak berwenang di perumahan Pedada bergerak cepat menindaklanjuti kabar yang mereka terima. Mereka memastikan warga mendapatkan informasi hingga waspada terhadap banyaknya ular yang belum tertangkap.

Pendeknya, suasana di Perumahan Pedada mencekam. Semua pihak berjaga-jaga agar tak menjadi korban gigitan ular berbisa. Secara berkala, kepala warga di Pedada memberi tahu perkembangan setiap harinya melalui pelantang di masjid,

“Hari ini baru tiga ular yang tertangkap, masih ada 31 yang berkeliaran. Mohon warga waspada!”

Bagaimana di perumahan sebelah? Suasana di kompleks Sandaya sangat berbeda. Pemimpin setempat memilih tidak membesar-besarkan masalah agar warga tetap tenang dan terkendali.

 
“Kampung sebelah berlebihan, kita di sini buktinya santai saja,” cibir seorang warga Sandaya.
 
 

“Kita tidak boleh membuat masyarakat stres dan paranoid. Dibawa santai saja. Belum tentu puluhan ular itu masuk ke sini, toh?” Sikap tenang dan pola pikir sang pemimpin kompleks menulari jajarannya. Maka suasana di Sandaya berjalan seperti biasa.  

Pertama, tidak semua warga mendapatkan informasi terkini. Mereka yang tahu tidak menjadi panik, terbawa gaya sang pemimpin dan pengurus warga. Bisa ditebak yang muncul justru sikap acuh dan tidak sedikit bahkan yang menganggap enteng.

“Kampung sebelah berlebihan, kita di sini buktinya santai saja,” cibir seorang warga Sandaya. “Lagi yang namanya takdir kan sudah ditentukan. Kalau takdir kecatek ular, ya, kecatek saja. Gitu kok repot!” kilah warga lain yang diaminkan seisi kompleks.

Sepekan berlalu, berbagai peristiwa terjadi. Di perumahan Pedada yang peduli dan waspada, tiga ular tertangkap melalui jebakan yang dibuat warga. Dua ular terjepit celah pagar, setelah tak berhasil menembus pagar yang dibuat lebih rapat atas masukan pengurus kompleks. Bahaya yang diprediksi terjadi tapi berhasil diantisipasi.

Situasi berbeda terjadi di Sandaya. Warga mendapati tiga korban meninggal dipatuk ular, termasuk anak-anak yang bermain di luar rumah. Dua ular masuk ke rumah dan ditemukan di atas kasur serta di dalam kamar mandi.

 
Bahaya yang diprediksi terjadi tapi berhasil diantisipasi. Situasi berbeda terjadi di Sandaya.
 
 

Walau berhasil diusir, kini warga Sandaya sangat panik. Apalagi ular yang ditemukan berukuran besar dan mematikan.

Setiap hari bertambah rumah yang dimasuki ular atau warga yang terkena gigitannya. Perlu waktu sebelum mereka akhirnya meniru tindakan warga Kompleks Pendada yang sebelumnya mereka anggap berlebihan.

Pagar kini ditutup rapat. Pengumuman melalui pelantang di masjid dilakukan setiap hari. Warga  selalu menyiapkan kayu untuk berjaga jika keluar rumah.

Mereka akhirnya sadar, daripada merasa santai dan bahagia karena tidak mawas akan apa yang terjadi, lebih baik sesaat terjadi kepanikan, jika itu menimbulkan sikap waspada yang berujung pada situasi lebih aman dan melindungi warga. 

Perbincangan di antara mereka pun kini berubah arah. “Untuk apa kita bebas dari rasa takut yang semu?” cetus warga yang tercerahkan. “Paranoid memang bukan hal baik tetapi tidak takut pada ancaman nyata justru lebih buruk lagi.”

Sebagian warga mulai menyalahkan pemimpin mereka yang lalai dan mengambil keputusan yang salah. Perlu waktu untuk mengembalikan situasi seperti semula. Setelah dua bulan pencarian, seluruh ular yang lepas berhasil ditangkap.

 
Tak ada lagi korban. Sayangnya, akibat kesadaran warga yang terlambat, kompleks Sandaya telanjur kehilangan tiga nyawa.
 
 

Tak ada lagi korban. Sayangnya, akibat kesadaran warga yang terlambat, kompleks Sandaya telanjur kehilangan tiga nyawa. Uniknya, satu dua masih ada yang berkiblat pada sang pemimpin. Kematian yang terjadi tidak cukup membuat berbagai pihak sepenuhnya melakukan evaluasi.

Bukannya sadar, segelintir tetap nyinyir. “Namanya mati itu takdir!”

“Cuma tiga orang korbannya, kecil dibandingkan puluhan ular yang lepas.”

Astaga! Sungguh terlalu. Ketika simpati dan akal sehat sudah diangkat, peristiwa apa pun sulit menuntun terbentuknya kesadaran.

Kisah di atas tentu hanya fiksi. Meski realitasnya dengan mudah saat ini kita jumpai betapa masyarakat berada dalam dua zona berbeda. Masyarakat Pedada  yang peduli dan waspada, dan di sisi lain ada masyarakat Sadaya atau memilih santai dan enjoy aja.

Warga yang waspada selalu mengingatkan untuk berhati hati, memakai masker, dan menjaga prokes selama pandemi. Masyarakat yang lain, sebaliknya, justru melarang orang mengirim berita-berita seputar pandemi. “Jangan posting pandemi terus, bikin stres.“

Semoga kian berkurang mereka yang tenang dengan mengabaikan kenyataan. Atau lebih buruk lagi, setelah Indonesia menjadi salah satu episentrum pandemi, dengan santai membandingkan jumlah korban di Indonesia persentasenya masih jauh dari Inggris yang penduduknya lebih sedikit, tapi korban jauh lebih banyak.

Ke mana nurani pergi? Sementara, dulu saya mengira pendidikan tinggi akan berbanding lurus dengan budi pekerti dan empati kepada sesama yang lebih mumpuni.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat