Opini
Kematian Hati Nurani
Waktunya kita menghidupkan kembali kecerdasan budi dan kejernihan nurani.
ABDUL MU'TI, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kematian. Kata itu begitu sering kita dengar, terutama saat pandemi Covid-19. Setiap membuka media sosial, tiada henti kita mendapat kabar tokoh, sejawat, dan kerabat wafat. Kematian terasa begitu dekat karena mereka yang mangkat, yang kita kenal akrab.
Banyak penyebab kematian. Namun, dalam kurun 15 bulan (Maret 2020-Juli 2021), kematian akibat Covid-19 merupakan yang tertinggi.
Berdasarkan data Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (17 Juli 2021), tercatat 2.832.755 kasus, 2.232.394 sembuh, dan 72.489 meninggal dunia. Inilah kematian pertama, di Alquran disebut mata, wafa, dan ajala.
Mati atau kematian adalah terlepasnya roh dari raga. Ketiga lafaz itu memiliki pengertian sama, walaupun titik tekan dan ruang lingkupnya berbeda. Mati, kejadian di mana roh dicabut dari raga. Ajal, batas waktu kehidupan. Wafat menekankan kesempurnaan dan akhir hayat.
“Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan pada hari kiamat disempurnakan pahalamu. Barang siapa yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh merekalah orang yang beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Qs. Ali Imran [3]: 185).
Mati atau kematian adalah terlepasnya roh dari raga. Ketiga lafaz itu memiliki pengertian sama, walaupun titik tekan dan ruang lingkupnya berbeda.
Selain kematian pertama, saat pandemi Covid-19 terjadi kematian kedua, yaitu kematian akal budi. Ini terjadi ketika manusia tidak lagi menggunakan nalar intelektual dan akal sebagai pemandu dan penentu kebenaran.
Secara etimologi, akal dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab: aql yang berarti al-hijr, al-nuha. Dalam Alquran, kata aql dan derivasinya disebutkan 49 kali, 48 kali dalam bentuk kata kerja, hanya sekali dalam bentuk kata benda.
Dalam berbagai konteks, aql yang berarti kecerdasan, meniscayakan manusia senantiasa memikirkan, mengkaji, dan menemukan pencerahan atas berbagai kejadian di alam semesta, peristiwa kehidupan, dan ajaran kebenaran.
Saat pandemi, kematian akal budi lebih banyak terjadi. Bukan karena rendahnya pendidikan, lemahnya pengetahuan, dan keterbelakangan teknologi. Akal budi mati saat manusia dikuasai nafsu jahat yang melahirkan primordialisme sempit, sektarianisme, dan permusuhan.
Fenomena matinya akal budi, antara lain ditulis Tom Nichols dalam The Death of Expertise: The Campaign Against Established Knowledge and Why It Matters (Oxford University Press, 2017) dan Franklin Foer dalam World Without Mind: Why Google, Amazon, Facebook and Apple Threaten Our Future (Vintage, 2017).
Akal budi mati saat manusia dikuasai nafsu jahat yang melahirkan primordialisme sempit, sektarianisme, dan permusuhan.
Kematian akal budi ditandai orang mencari informasi bukan untuk mencari kebenaran, melainkan pembenaran. Dalam hal agama, seseorang lebih memilih hadis lemah daripada yang kuat. Pertanda lainnya, banyaknya orang keminter: merasa diri tahu, padahal tidak tahu.
Mereka menyebarkan informasi salah, palsu, dan bohong. Modus dan motifnya beragam. Sebagian hanya iseng untuk mencari sensasi, narsisme, atau illiteracy. Tak sedikit, menjadikannya sebagai industri untuk mengais rezeki dan popularitas.
Kematian akal budi mewabah di dunia, termasuk di Indonesia. Namun, kondisi di Indonesia sangat memprihatinkan. Digital Civility Index yang dirilis Microsoft menunjukkan, rendahnya keadaban digital warganet negeri nusantara.
Selain membongkar privasi, penipuan, dan perundungan, dunia maya dibanjiri hoaks. Sumber Kementerian Kominfo menyebutkan, selama pandemi tersebar lebih dari 1.500 berita hoaks. Dengan data itu, mungkin saja Indonesia telah menjadi pusat hoaks.
Lebih menyedihkan adalah kematian hati nurani. Ini terjadi ketika hati nurani terkunci mati. Hati tidak lagi menjadi pembuka pintu kearifan, pemandu perilaku, dan penyuluh kebenaran. Alquran menggambarkannya dalam surah Al-Hajj [22]: 46.
"Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka memiliki hati yang dengan itu dapat memahami, atau mempunyai telinga yang dengan itu dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, melainkan hati yang di dalam dada."
Lebih menyedihkan adalah kematian hati nurani. Ini terjadi ketika hati nurani terkunci mati. Hati tidak lagi menjadi pembuka pintu kearifan, pemandu perilaku, dan penyuluh kebenaran.
Ketika hati nurani mati, manusia kehilangan sifat kemanusiaan yang utama, bahkan lebih nista dari binatang. Alquran (Al-A'raf [7]: 179) menyebut,mereka memiliki hati, mata, dan telinga, tetapi tidak berfungsi untuk mendengar, melihat, dan memahami kebenaran.
Karena hati nurani telah mati, musibah yang datang silih berganti tidak membuat manusia insaf dan muhasabah atas semua perbuatan maksiat spiritual, sosial, dan politik. Alih-alih mengulurkan tangan, mereka justru memakan harta dan hak kaum miskin.
Kematian dipahami sebatas angka. Sulit dipahami, bagaimana di tengah pandemi, beberapa pejabat negara dan menteri justru pergi ke luar negeri. Terus menumpuk modal, tak peduli ribuan manusia meninggal. Di mana simpati dan sense of crisis?
Kematian klinis adalah takdir Tuhan. Semua kita akan mati. Cepat atau lambat, hanya soal waktu. Namun, kematian akal budi dan hati nurani soal keadaban. Waktunya kita menghidupkan kembali kecerdasan budi dan kejernihan nurani. Mari berubah. Jika tidak, bisa jadi bangsa Indonesia tinggal sejarah.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.