Jamaah berdoa usai menunaikan ibadah Shalat Idul Adha di Masjid Agung Al-Barkah, Bekasi, Jawa Barat, Jumat (31/7/2021). Bagaimanakah hukum shalat Idul Adha di masjid saat pandemi Covid-19 sebagai uzur darurat? | Republika/Putra M. Akbar

Opini

Idul Adha di Masa Pandemi

Bagaimanakah hukum shalat Idul Adha di masjid saat pandemi Covid-19 sebagai uzur darurat?

 

MUKTI ALI QUSYAIRI; Ketua LBM PWNU DKI Jakarta dan Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat

Pandemi Covid-19 sudah memasuki usia kedua. Dua kali pula kita mengalami Idul Adha di masa pandemi Covid-19, tahun 2020 dan 2021.

Alih-alih berharap pandemi sudah berakhir, menjelang Idul Adha varian baru Delta Covid-19 muncul dengan kekuatan lebih dahsyat dan kuat. Keadaan lebih genting, krisis kesehatan lebih mendalam, dan Covid-19 yang dulu terasa jauh tapi sekarang terasa dekat dari lingkungan dan kehidupan kita: keluarga, ulama, guru, dan orang-orang yang kita cintai terpapar dan bahkan berjatuhan gugur menjadi syuhada.

Ada sebagian masyarakat Muslim yang bertanya tentang anjuran Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas —disapa dengan Gus Menteri—bahwa di masa pandemi Covid-19 saat ini agar seluruh umat Islam melaksanakan shalat Idul Adha di rumah masing-masing, tidak dilaksanakan di masjid secara berjamaah. Tujuannya jelas: memutus penyebaran Covid-19.

Shalat Idul Adha menurut Madzhab as-Syafii hukumnya adalah sunnah muakkadah, menurut Madzhab al-Malikiy juga hukumnya adalah sunnah, menurut Madzhab Imam Abu Hanifah hukumnya wajib. Menurut Madzhab Imam Ahmad bin Hambal hukumnya fardhu kifayah yang artinya jika di satu daerah sudah ada yang melaksanakan, maka yang lain tidak wajib melaksanakannya alias kewajibannya telah gugur.

Akan tetapi, pendapat paling kuat adalah yang menyatakan bahwa shalat Idul Adha adalah sunnah. Sebab, hanya shalat lima waktu, yaitu Subuh, Zhuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya saja yang wajib dilaksanakan bagi seluruh individu Muslim. Sedangkan shalat-shalat yang lain tidak wajib.

Di Indonesia, mayoritas Muslim yang bermadzhab as-Syafii, yang meyakini bahwa shalat Idul Adha adalah sunnah muakkadah, bukan wajib. Menurut al-Syekh Ibrahim al-Bajuri, seorang ulama Madzhab as-Syafii, di dalam kitab Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Syarhi Fath al-Qarib al-Mujib, menyatakan, shalat Idul Adha tidak disyaratkan dilaksanakan secara berjamaah.

 
Shalat Idul Adha dianjurkan dilaksanakan secara berjamaah, dan sah dilaksanakan secara munfarid (sendirian) di mana saja.
 
 

Shalat Idul Adha dianjurkan dilaksanakan secara berjamaah, dan sah dilaksanakan secara munfarid (sendirian) di mana saja, baik di rumah atau di pinggir jalan ketika dalam perjalanan (musafir), di lapangan, di sawah, atau di mana pun yang penting tempatnya suci.

Hanya saja, shalat Idul Adha jika dilaksanakan secara berjamaah maka disunnahkan untuk dilengkapi dengan ritual khutbah, Jika dilaksanakan secara munfarid (sendiri), maka tidak disunnahkan untuk dilengkapi dengan khutbah. 

Bahkan, menurut pendapat ulama yang layak dipegang pendapatnya (al-mu’tamad) bahwa bagi orang-orang yang sedang melaksanakan ibadah haji yang sedang tidak ada di Mina, tidak disunnahkan melaksanakan shalat Idul Adha secara berjamaah—dan menurut sebagian pendapat malah justru makruh—dan dianjurkan dilaksanakan sendirian. Sebab, kesibukannya dalam menjalankan berbagai aktivitas ritual ibadah Haji.

Al-Syekh Ibrahim al-Bajuri menyatakan bahwa, “wa fa’alaha fi al-masjid afdharu li-syarafihi illa li-‘udzrin” (dan melaksanakan shalat Idul Adha di masjid lebih utama (afdhal) karena mulianya masjid kecuali uzur). Ketika ada uzur dan kedaruratan, maka shalat Idul Adha di masjid tidak afdhal lagi.

 
Ketika ada uzur dan kedaruratan, maka shalat Idul Adha di masjid tidak afdhal lagi.
 
 

Di antara uzur itu dicontohkan sempitnya masjid sedangkan jamaahnya jauh melebihi kapasitas sehingga masjid tidak bisa menampung. Uzur yang nyata saat ini adalah Covid-19. Ketika ada uzur yang nyata Covid-19 sebagai penyakit pandemi, maka shalat jamaah Idul Adha di masjid sudah tidak afdhal lagi alias tidak mendapatkan nilai pahala keutamaan sama sekali.

Terlebih menjaga kesehatan dan menolak bahaya bagi diri sendiri maupun orang lain adalah tujuan syariat Islam, al-maqashid al-syari’ah, yaitu al-hifdzu al-nafs. Sedangkan, shalat Idul Adha adalah sunnah dan boleh dilaksanakan sendirian di rumah. Tentu saja ketika wajib dan sunnah berada di satu waktu, maka wajib harus diprioritaskan dan dimenangkan dari sunnah.

Di samping itu, hal ini tentu mengakibatkan dilema bagi seseorang dalam memilih dua hal, antara mengambil maslahat, yaitu kesunnahkan serta keutamaan jamaah di masjid dengan menolak bahaya penularan Covid-19. Problem dilematis semacam ini dijawab oleh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah (Kaidah-Kaidah Fikih) yang menyatakan bahwa daru al-mafasid muqaddamun ‘ala jalbi al-mashalih (menolak kerusakan diprioritaskan daripada mengambil kemaslahatan).

Karena Alquran dan hadis melarang umat manusia menjerumuskan diri ke dalam kerusakan dan tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain.

 
Alquran dan hadis melarang umat manusia menjerumuskan diri ke dalam kerusakan dan tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain.
 
 

Win-win solution-nya, yaitu melaksanakan shalat Idul Adha secara mandiri (munfarid) di rumah yang notabene menurut fikih Madzhab as-Syafii dan Madzhab al-Malikiy adalah sah dengan tetap mendapatkan pahala kesunahan shalat dan mendapatkan tambahan pahala dari kewajiban menjaga kesehatan dan tidak membahayakan diri sendiri maupun orang lain.

Dalam ushul fikih dikatakan bahwa wajib adalah yutsabu ‘ala fi’lihi wa yu’aqabu ‘ala tarkihi, pahala jika dikerjakan dan dosa jika ditinggalkan. Ini pun berlaku bagi kita dalam menjalankan kewajiban menjaga kesehatan.

Al-Syekh Ibrahim al-Bajuri pun mengingatkan dengan mengutip kata bijak bestari:

Lebaran bukan bagi seorang yang pakaiannya baru,

akan tetapi Lebaran bagi seorang yang ketaatannya bertambah.

Lebaran bukan bagi seorang yang memperindah dengan pakaian dan kendaraan,

akan tetapi Lebaran bagi seorang yang dosa-dosanya dimafaatkan.

Kata-kata bijak tersebut relevan ketika saat ini kita tidak dulu berbelanja baju baru di mal, bukan hanya karena memang Lebaran bukan untuk orang yang berbaju baru, tetapi juga karena Covid-19 dan menaati PKKM yang ditetapkan pemerintah.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat